Aktivis Gugat UU Minerba, Desak Hentikan Kriminalisasi Penolak Tambang

Senin, 09/08/2021 22:40 WIB
Beberapa aksi saat tuntut batalkan UU Minerba (Net)

Beberapa aksi saat tuntut batalkan UU Minerba (Net)

Jakarta, law-justice.co - Sejumlah aktivis lingkungan dan masyarakat sipil yang menggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) ke Mahkamah Konstitusi (MK) menyoroti tiga klaster, salah satunya soal potensi kriminalisasi aktivis.


Gugatan ini diajukan sejumlah organisasi hingga individu. Mereka adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Wlahi); Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur. Kemudian warga Banyuwangi, Jawa Timur, Nurul Aini yang berprofesi sebagai petani; dan nelayan Sungailiat, Bangka Belitung Yaman.

Kuasa hukum keempat pemohon dengan nomor perkara Perkara Nomor 37/PUU-XIX/2021 tersebut, Lasma Natalia dalam permohonan yang ia bacakan menyebut klaster pertama yang dipersoalkan adalah hilangnya frasa `dan/atau pemerintah daerah` dalam Pasal 4 ayat 2 UU Minerba.

Natalia menjelaskan dengan hilangnya frasa tersebut, UU Minerba telah merendahkan harga diri masyarakat di daerah. Menurut para pemohon, mereka kehilangan ruang partisipasi dalam menentukan masa depan wilayahnya.

"Akhirnya semua tergantung pada perhatian dan anugerah pemerintah pusat," kata Natalia dalam sidang yang disiarkan secara live di kanal Youtube MK, Senin (9/8/2021).

Natalia juga menyebut bahwa selain menghapus kewenangan Pemda, pasal tersebut merugikan para pemohon baik secara aktual maupun konstitusional.

Ia menilai pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 8 D ayat 1, 28 H ayat 1, 28 C ayat 2, 18 ayat 2, 18 A ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945.

"Selanjutnya harus dinyatakan inkonstitusional," kata Natalia dalam permohonannya pada sidang pendahulan tersebut.

Pada klaster kedua, para pemohon mempersoalkan tentang jaminan tidak adanya Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Jaminan tersebut tercantum dalam Pasal 17 ayat 2, 22 A, 31 ayat 2, dan 172 B ayat 2.

Natalia menyebut ketiadaan perubahan pada IUP, IUPK, dan WPR bertentangan dengan pemenuhan hak akses masyarakat terhadap lingkungan yang baik dan sehat.

Sebab, pasal tersebut menjamin suatu wilayah menjadi kawasan pertambangen meskipun daya tampung dan daya tampung lingkungan hidupnya tidak memadai.

Sehingga, lanjut Natalia, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 H ayat 1, 28 C ayat 2, dan 28 D ayat 1 UUD 1945.

"Segala masukan masyarakat terkait kawasan budidaya menjadi lokasi IUP, IUPK, dan WPR tidak dapat diakomodasi. Karena, pemanfaatan ruang telah mendapatkan jaminan oleh UU Minerba untuk tidak diubah," papar Natalia.

Sementara, pada klaster ketiga, para pemohon menyoroti keberadaan Pasal 162 UU Minerba. Pasal tersebut mempersoalkan tindakan yang dinilai merintangi atau mengganggu pertambangan.

Natalia menerangkan keberadaan pasal tersebut membuat masyarakat berada dalam ketidakpastian hukum. Sebab, tidak ada ukuran objektif dalam definisi mengganggu atau merintangi. Akhirnya, ukuran tersebut disandarkan pada penilaian korban, penyidik, dan penuntut umum.

"Pasal 162 telah nyata menyebabkan kerugian hak konstitusional pemohon 3 dan 4, termasuk kriminalisasi terhadap warga-warga yang melakukan penolakan terhadap tambang untuk menjaga lingkungan hidup," tutur Natalia.

Menanggapi permohonan tersebut, anggota hakim Mahkamah Konstitusi Suhartoyo mempersoalkan legal standing klaster pertama.

Menurut Hartoyo, gugatan yang berkaitan dengan hilangnya kewenangan pemerintah daerah dalam perizinan pertambangan mestinya diajukan oleh Pemerintah Daerah atau DPRD.

"Untuk perizinan kami ingatkan bahwa di sana adalah kewenangan-kewenangan daerah yang pure hanya bisa diwakili oleh Pemda. Ya tentunya kepala daerah dan DPRD," kata Hartoyo.

"Ketika itu memperjuangkan hak-hak pemerintah daerah ya legal standing-nya harus tetap menemui dua unsur itu," tambahnya.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar