Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Ketika KPK Dipertanyakan Eksistensinya

Senin, 09/08/2021 05:57 WIB
H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Dalam kesempatan menggelar rapat kerja bersama Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (8/6/2021) yang lalu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Tjahjo Kumolo sempat menjawab pertanyaan anggota terkait rencana pembubaran lembaga negara.

Saat menjawab pertanyaan wartawan, ia mengakui memang sudah ada daftar lembaga yang siap dibubarkannya. Namun, atas satu lain hal pemerintah memutuskan untuk menunda pembubarannya."Kami ajukan ke DPR usulan badan atau lembaga yang mungkin bisa dihapuskan tapi dibahas bersama dengan DPR. Karena ada kementerian yang badannya sampai tiga. Ini kementerian tapi diawasi tiga badan," jelasnya.

Pembubaran lembaga dimaksudkan untuk upaya perampingan birokrasi pemerintahan secara menyeluruh sekaligus sarana untuk melakukan efisiensi kerja dan penghematan operasional pemerintahan  yang akhir akhir ini begitu banyak menyedot anggaran belanja negara.

Berdasarkan catatan, sejak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai kepala negara  yaitu  terhitung sejak periode 2014 hingga 2020, setidaknya sudah ada 37 lembaga yang dibubarkan eksistensinya.

Ditengah ramai pembicaraan soal pembubaran lembaga negara ini muncul aspirasi untuk membubarkan kelembagaan yang selama ini dianggap sangat berjasa dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Lembaga itu bernama Komisi Pemberantasan Korupsi alias  KPK.

Mengapa muncul wacana  untuk membubarkan lembaga KPK pada hal selama ini lembaga itu sudah dikenal sangat berjasa dalam pemberantasan korupsi di Indonesia ?. Ditengah kondisi masih merajalelanya korupsi, tepatkah membubarkan KPK ?. Ke depannya sebaiknya bagaimana ?

Wacana Pembubaran KPK

KPK dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Berdasar literatur Hukum Tata Negara, terbentuknya kelembagaan negara di Indonesia dibagi menjadi 3 kategori yaitu Lembaga yang dibentuk atas perintah UUD 1945; .Lembaga yang dibentuk atas perintah Undang-Undang; dan  Lembaga negara yang dibentuk atas perintah Keputusan Presiden Republik Indonesia.

Lembaga KPK adalah lembaga yang masuk dalam kategori kedua, sama seperti halnya Komnas HAM, KPI, KPPU, KKR, Bawaslu dan lembaga-lembaga dan yang lain lainnya.Lembaga di kategori kedua dan ketiga ini sangat rentan untuk dibubarkan, karena cukup melalui pengujian judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).  Atau DPR dan pemerintah bisa juga mengeluarkan produk hukum berupa perubahan Undang-Undang, atau mengeluarkan Perppu yang isinya pembubaran lembaganya.

KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

Sejauh ini sudah sering dinyatakan  bahwa lahirnya KPK dikarenakan kelembagaan yang menangani pemberantasan korupsi saat ini yaitu Kejaksaan dan Kepolisian dinilai kurang berdaya sehingga diperlukan lembaga khusus yang mempunyai kewenangan lebih dalam memberantas korupsi di Indonesia.

Namun setelah kurang lebih 20 tahun usianya, KPK bukannya malah makin baik kinerjanya melainkan cenderung semakin menurun saja. Penurunan kinerja KPK seiring dengan gencarnya upaya yang dilakukan oleh kelompok kelompok tertentu yang memang ingin melemahkannya.

Deretan panjang  upaya untuk melemahkan KPK memang sudah terjadi sejak lama yaitu mulai  dari revisi undang-undang KPK, kontroversi kepemimpinan Firli Bahuri serta perubahan status kepegawaian independen menjadi ASN (Aparatul Sipil  Negara).

Terakhir, tidak lulusnya 75 pegawai KPK dalam tes wawasan kebangsaan untuk beralih status menjadi ASN yang menuai polemik karena sarat kontroversi dalam pelaksanannya.Sebab, puluhan pegawai tersebut merupakan penyidik senior dan berintegritas, seperti di antaranya Novel Baswedan dan kawan kawannya.

Publik membaca bahwa ketidaklulusan sejumlah pegawai KPK saat mengikuti tes wawasan kebangsaan  (TWK) telah dirancang sebagai bagian untuk menghabisi dan membunuh KPK,yang selama ini telah menjadi momok bagi koruptor dalam menjalankan aksinya.

Kondisi KPK yang semakin tidak berdaya pada akhirnya memantik para pengamat dan pakar untuk angkat suara. Mereka berpendapat bahwa dengan kondisi KPK yang seperti ini sebaiknya lembaga anti rasuah dibubarkan saja.

Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menggaungkan usul membubarkan KPK. Menurut Zainal, KPK dengan UU KPK yang baru ini sudah sekarat, hanya berdenyut karena peran satu dua orang yang masih konsisten memberantas korupsi. Zainal memprediksi KPK akan benar-benar tamat  saat seluruh pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) sesuai amanat UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

"Kalau semua sudah diratakan menjadi ASN, sederhananya, enggak ada lagi penyidik independen. Adanya penyidik PPNS yang pengawasannya dipegang Polri, Korwas. KPK khatam," ujar Zainal dalam sebuah acara diskusi daring yang diselenggarakan LP3ES, Senin (19/4/2021).

"Makanya saya berani membangun narasi bubarkan saja KPK yang sekarang dan lebih baik membangun KPK yang baru," tutur pria yang akrab disapa Uceng ini menutup komentarnya.

Senada dengan Uceng,  Pengamat politik Ray Rangkuti menilai sebaiknya KPK  ditiadakan setelah Undang-Undang (UU) KPK hasil revisi disahkan berlakunya.Karena tujuh poin perubahan dalam UU KPK hasil revisi itu tidak ada yang lebih mendorong penguatan lembaga KPK.

"Dengan desain seperti saat ini, sebaiknya KPK ditiadakan. Tujuh poin hasil UU ini, tak ada yang lebih mendorong KPK untuk lebih kuat dalam menegakkan hukum bagi para koruptor," ujar Ray Rangkuti..

Inti Persoalan

Tuntutan pembubaran KPK sebagai buntut semakin lemahnya kinerja lembaga anti rasuah ini kiranya bisa dipahami adanya. Dengan usulan pembubaran KPK selanjutnya ada yang mengusulkan supaya dibentuk KPK yang baru untuk menggantikan KPK yang lama. Tapi ada juga yang mengusulkan pembubaran KPK tanpa adanya usulan untuk pembentukan kelembagaan baru yang menangani korupsi di Indonesia.

Apapun bentuk lembaga yang akan dibentuk nantinya jika KPK benar  benar benar dibubarkan tapi menurut hemat saja inti persoalan terletak pada status atau eksistensi daripada lembaga penegak hukum pemberantas korupsi itu dalam struktur ketatanegaraan kita.

Posisi atau eksistensi KPK dalam struktur ketatanegaraan  menurut hemat saya  mempengaruhi kinerja KPK dalam menjalankan peran dan fungsinya. Selama ini sering muncul perdebatan tentang  dimana sebenarnya posisi KPK itu dijajaran struktur ketatanegaraan kita.

Ternyata  perdebatan terkait polemik posisi KPK itu telah mengemuka  11 tahun silam di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu termuat dalam pertimbangan putusan nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 yang dimohonkan oleh Mulyana W Kusumah. Pada 2006 silam, MK telah menempatkan posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan sebagai lembaga yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman (yudikatif) melalui putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006.

Pendapat MK  ini  senada dengan keterangan ahli dari Universitas Padjadjaran (Unpadj) yaitu Prof Dr Komariah Emong Sapardjaja. Menurut Komariah, keberadaan KPK, yang secara tegas diatur dalam UU KPK, adalah sebagai bentuk politik hukum pemberantasan korupsi di tanah air kita.

KPK adalah independent agency, yang sering diklasifikasikan sebagai komisi negara. Komisi negara independen adalah organ negara (state organ) yang diidealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, namun justru mempunyai fungsi `campur sari` ketiganya.

Setelah menguraikan perbandingan dengan negara-negara lain dan pendapat-pendapat sejumlah sarjana tentang ciri-ciri komisi negara independen, ahli berpendapat bahwa KPK memenuhi ciri-ciri atau kriteria demikian sehingga keberadaan KPK bukan hanya tidak berada di luar sistem ketatanegaraan melainkan justru secara yuridis ditempatkan dalam sistem ketatanegaraan," kata Komariah menutup uraiannya.

Tetapi anehnya Keputusan MK yang telah menempatkan KPK sebagai lembaga independent ini dianulirnya sendiri melalui  Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 dan 40/PUU-XV/2017.  Dalam keputusan ini MK memutus bahwa KPK dapat dijadikan obyek angket oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena KPK itu sendiri merupakan bagian dari lembaga eksekutif.

Terhadap keputusan tersebut banyak yang  kemudian menyesalkannya  karena adanya putusan ini dianggap akan  mengacaukan struktur ketatanegaraan Indonesia. Karena dengan logika itu, maka secara ketatanegaraan, KPK seolah-olah dan secara nyata berada dibawah eksekutif. Padahal selama ini KPK banyak menangkap oknum eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif.

Memang ada dua pandangan menyikapi masalah ini, yang pertama menganggap bahwa KPK merupakan bagian dari lembaga eksekutif dengan asumsi bahwa praktik di beberapa negara, lembaga yang menyelenggarakan fungsi penyidikan dan penuntutan dapat dikategorikan sebagai bagian dari eksekutif. Pandangan kedua menyatakan bahwa KPK merupakan lembaga negara independen dan bukan bagian dari eksekutif.

Lantas mana yang benar? Pertama, KPK merupakan lembaga negara independen sehingga ia tidak berada dibawah kekuasaan dan pengaruh lembaga manapun dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dapat kita rujuk dalam yurisprudensi putusan-putusan MK sebelumnya, yaitu Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, 19/PUU-V/2007, 37-39/PUU-VIII/2010, dan Nomor 5/PUU-IX/2011 yang pada intinya menegaskan bahwa KPK merupakan lembaga independen yang bukan berada di dalam ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Empat putusan tersebut juga disinggung oleh empat hakim MK yang menyatakan disssenting opinion atau pendapat berbeda dalam sidang putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 dan 40/PUU-XV/2017 beberapa waktu yang lalu.

Kedua, dalam teori lembaga negara kontemporer, kedudukan lembaga negara independen (termasuk KPK) ialah sejajar dengan lembaga Trias Politica yang terdiri dari eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Meminjam istilah Yves Manny dan Andrew Knapp ia menempatkan lembaga negara independen sebagai cabang kekuasaan keempat atau The Fourth Branch Of Government.

Pendapat tersebut beresonansi dengan konsep The New Separation yang dibawa oleh Brucke Ackerman yang pada intinya menganggap bahwa lembaga independen itu kedudukannya sejajar dengan lembaga eksekutif , yudikatif dan legislatif.

Ketiga, dalam penjelasan UU 30/2002 tentang KPK, juga sangat jelas ditegaskan bahwa KPK memang dibentuk sebagai badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Sejauh ini eksistensi kelembagaan KPK memang sangat berpengaruh pada kinerjanya sehingga selama tidak jelas jenis kelaminnya maka akan menjadi tidak jelas pula kinerja yang dijalankannya.

Bagaimana ke depannya ?

Saat ini KPK sudah terang terangan ditempatkan dalam rumpun eksekutif sehingga sangat sulit membayangkan independensinya. Meskipun dalam berbagai kesempatan dinyatakan bahwa KPK adalah lembaga independent yang tidak tunduk pada lembaga apapun dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tapi prakteknya sudah hampir pasti lain sulit merealisasikannya.

Logikanya bagaimana mungkin lembaga yang bertugas memberantas korupsi di semua cabang kekuasaan (baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif) lantas ditempatkan dibawah cabang yang menjadi objek pengawasan oleh KPK ?.

Bagaimana mungkin lembaga pengawas seperti KPK posisinya berada dibawah yang diawasi (dalam hal ini eksekutif) ?. Padahal jika merujuk sejarah, KPK lahir salah satunya untuk memberantas korupsi yang sangat akut yang menjangkit lembaga legislatif, yudikatif, bahkan eksekutif sekalipun ?.

Oleh karena jika KPK masih ingin dipertahankan, kiranya posisinya maka KPK perlu dikembalikan menjadi lembaga yang benar benar independent  dimana KPK bukan bagian dari eksekutif melainkan lembaga negara independen yang kedudukannya sejajar dengan lembaga Trias Politica.

Agar supaya menjadi kuat posisinya maka  ke depan perlu dipertimbangkan untuk memasukkan pengaturan KPK ke dalam Konstitusi negara. Adanya pengaturan KPK di dalam konstitusi, selain karena materi muatan konstitusi harus mengatur terkait eksistensi kelembagaan negara juga dimaksudkan sebagai langkah antisipasi dari upaya pelemahan KPK yang secara terus menerus digulirkan oleh pihak pihak yang tidak suka dengan keberadaan KPK.

Pengaturan tersebut juga otomatis akan menguatkan KPK sebagai lembaga negara pemberantas korupsi yang keberadaannya tidak hanya dijamin oleh Undang-undang melainkan juga dijamin oleh Konstitusi negara.

Tanpa posisi yang benar benar independent sebagaimana dikemukakan diatas, kiranya KPK memang sebaiknya dibubarkan saja karena tidak ada bedanya dengan kelembagaan penegak hukum yang sudah ada yaitu Kejaksaan dan Kepolisian yang juga berada di ranah eksekutif. Dasar pertimbangannya tentu saja demi  efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran negara.

Menurut hemat saya soal independensi ini begitu pentingnya sehingga mengalahkan soal wadah atau nama organisasinya. Apapun namanya entah itu Kejaksaan atau KPK asal diberikan kewenangan penuh dan bersifat independent maka akan benar benar moncer kinerjanya.

Belajar dari sejarah,peran Kejaksaan pernah mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Orde lama dibawah naungan Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950. Seperti ditulis oleh Daniel S Lev, saat itu t para Jaksa pernah memiliki peran yang sangat penting di saat masa jaya mereka di bawah Jaksa Agung Soeprapto pada tahun 1950-an.

Hal ini tidak lepas dari keberadaan UUDS 1950 yang secara tegas melarang intervensi pemerintah terhadap badan peradilan karena UU Nomor 1 Tahun 1951  tentang Undang-undang Darurat tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil,  secara tidak langsung menempatkan para jaksa bersama hakim sebagai pejabat pengadilan (yudikatif).

Hal ini membuat para Jaksa yang  saat itu tergabung dalam PERSAJA (Persatuan Jaksa-jaksa sekarang bernama PJI) berkeyakinan bahwa lembaga kejaksaan adalah bagian dari Kekuasaan Kehakiman yang harus dijamin independensinya oleh Negara. Pelembagaan Kejaksaan yang berada di dalam kekuasaan kehakiman saat itu menjadikan para Jaksa menikmati status mereka sebagai Magistraat yang memiliki independensi hampir sama dengan hakim dalam memutus perkara.

Saat itu dengan kewenangan yang kuat,  para jaksa selain tidak segan mengkritik kebijakan pemerintah, mereka juga berani mengusut perkara pidana yang melibatkan perwira tinggi militer dan pejabat tinggi sipil yang sedang berkuasa.

Hal ini terlihat misalnya  ketika Kejaksaan berani  menangkap dan menuntut Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo pada masa Perdana Menteri, Ali Sastroamidjojo di pengadilan atas dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukannya . Pada waktu itu, ada skema kemudahan kredit untuk para pengusaha melayu yang ternyata dijual kepada para pengusaha kaya keturunan Tionghoa.Saat itu Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo ditangkap penegak hukum, karena menerima suap dari seorang pengusaha dalam pengurusan visa.

Namun sayangnya masa kejayaan Kejaksaan ini secara berangsur harus terhenti saat  tahun 1959 pemerintah dan penguasa militer memutuskan memberhentikan Soeprapto karena dianggap menganggu stabilitas politik pemerintahan orde lama. Pada akhirnya Presiden Soekarno mengangkat  Jaksa Agung bernama Gatot Taroenamihardja, sosok ahli hukum yang dikenal jujur sebagai pengganti Soeprapto.

Namun karena Gatot ternyata meneruskan jejak Soeprapto untuk “berani menangkapi pejabat negara” , Gatot hanya menjabat dalam masa yang singkat saja. Langkah Kejaksaan di masa Gatot yang menangkap beberapa perwira tinggi militer yang melakukan tindak pidana korupsi  berbuntut pada pencopotan dirinya.  Pihak militer saat itu yang tidak terima dengan tindakan Kejaksaan melakukan serangan balik dengan menangkap dan  menahan Jaksa Agung Gatot karena dianggap mengganggu ketertiban umum dan jalannya pemerintahan yang sedang berkuasa.

Belajar dari langkah Kejaksaan yang dianggap terlalu sering mengganggu stabilitas politik di masa sebelumnya, maka pada tanggal 18 Februari 1960 pemerintah menempatkan posisi Jaksa Agung sebagai Menteri di bawah koordinasi Menteri Keamanan Nasional/Kepada Staf Angkatan Darat. Untuk mempermudah kontrol Presiden terhadap Kejaksaan, selang beberapa bulan, tepatnya pada tanggal 22 Juli 1960 pemerintah  melalui rapat kabinet menetapkan Kejaksaan sebagai Departemen tersendiri yang lepas dari Departemen Kehakiman.

Sejak saat itu hingga sekarang boleh dikatakan peran Kejaksaan menjadi redup dalam pemberantasan korupsi di Indonesia karena cenderung dikontrol oleh  top pejabat eksekutif yang menaunginya.

Dalam catatan sejarah pernah terjadi dimana Jaksa Agung, Soedjono C Atmonegoro pada masa presiden Habibie berkuasa, pernah mencoba berinisiatif menemui Presiden Habibie untuk secara serius menangani perkara mantan presiden Soeharto sang penguasa Orba.

Namun apa yang terjadi?  selang satu hari setelah pertemuannya dengan Presiden Habibie, Soejono C. Atmonegoro dicopot dari jabatannya. Mungkin Soedjono C. Atmonegoro adalah jaksa agung yang paling singkat menjabat, tak lebih dari empat bulan lamanya. Soedjono diganti  Andi Muhammad Ghalib, saat pria asal Madura tersebut bersiap memeriksa penguasa Orba.

Kala itu, tersebar kabar Soedjono sengaja diganti karena sudah melangkah terlalu jauh dalam meneliti yayasan Soeharto. "Hasil audit legal itu saya serahkan pukul 10.00 (15 Juni) kepada Pak Habibie, lalu pukul 15.00 saya dipanggil Habibie lagi dan saya diganti," kata Soedjono mengomentari pencopotan dirinya.

Berdasarkan fenomena tersebut diatas kiranya ada dua pilihan untuk efektifitas pemberantasan korupsi di Indonesia terkait dengan adanya kelembagaan negara yang menanganinya. Pertama KPK tetap dipertahankan tetapi peran dan fungsinya harus dikembalikan  seperti sebelum adanya revisi UU KPK dan menempatkan lembaga ini sebagai lembaga yang benar benar independent bukan di ranah eksekutif karena kalaut tidak akan dengan  mudah di intervensi oleh pemerintah yang sedang berkuasa.

Jika tidak maka KPK memang sebaiknya dibubarkan saja karena tidak ada bedanya dengan kelembagaan negara lainnya yang punya tugas memberantas korupsi yaitu Kejaksaan dan Kepolisian yang sudah duluan ada.

Jika KPK dibubarkan maka perannya bisa digantikan oleh Kejaksaan dengan cacatan lembaga ini diberikan kewenangan lebih seperti yang diatur dalam  UU Nomor 1 Tahun 1951  tentang Undang-undang Darurat tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil,  yang secara tidak langsung menempatkan para jaksa bersama hakim sebagai pejabat pengadilan yang bersifat independent.

Dibawah payung UUDS 1950 saat itu , secara tegas mengatur larangan bagi pemerintah untuk melakukan intervensi  terhadap badan peradilan karena karena dinilai menyalahi ketentuan yang ada. Oleh karena larangan inilah maka para penegak hukum dalam hal ini para Jaksa  saat itu berani menangkapi pejabat eksekutif dimasa orde lama berkuasa.

Kini dengan posisi KPK yang sudah nyata nyata ditempatkan di ranah eksekutif itu tentu menjadi dilema. Kalau dipertahankan tentu sudah hampir pasti tidak akan efektif kinerjanya karena sangat berpotensi di intervensi oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Tetapi kalau dibubarkan harus sudah siap lembaga penggantinya tentunya yang  benar benar bersifat indepent kedudukannya. Terhadap dua pilihan tersebut diatas kira kira menurut Anda bagaimana sebaiknya ?.

 

 

(Editor\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar