Ekonomi RI Tumbuh 7,07 Persen, Tapi Kok Tak Terasa oleh Rakyat?

Jum'at, 06/08/2021 13:40 WIB
Ilustrasi (Merdeka)

Ilustrasi (Merdeka)

Jakarta, law-justice.co - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7,07 persen secara tahunan (year on year/yoy). Capaian ini menjadi titik balik bagi Indonesia keluar dari resesi ekonomi, setelah mengalami kontraksi 4 kali berturut-turut sejak kuartal II-2020.

Data BPS, pertumbuhan itu ditopang oleh beberapa komponen utama, di antaranya konsumsi rumah tangga (RT) dan investasi yang topangannya mencapai 84,9 persen.

Untuk konsumsi RT tumbuh 5,93 persen atau telah mencapai rata-rata pertumbuhan konsumsi sebelum pandemi covid-19. Adapun investasi tumbuh 7,54 persen.

Namun, pertumbuhan itu semua ternyata tidak dirasakan oleh masyarakat luas dan sektor riil. Bahkan, belum mampu menciptakan banyak peluang kerja bagi masyarakat.

Pada Februari 2021, BPS mencatat penyerapan tenaga kerja di sektor akomodasi dan makanan minuman hanya 6,99 persen, jasa lainnya 4,85 persen, transportasi 4,05 persen. Sementara penyerapan tenaga kerja terbesar yakni di sektor pertanian malah yang paling rendah, yaitu 0,38 persen.

Seperti dilansir dari CNNIndonesia, Jumat (6/8/2021), Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, itu sangat wajar terjadi. Pasalnya, penyumbang terbesar dari pertumbuhan di level 7,07 persen itu datang dari faktor teknikal.

Artinya, kata dia, capaian ditopang oleh basis hitungan (baseline) yang rendah. Perbandingannya yang digunakan untuk menghitung ekonomi kuartal II 2021 kemarin adalah ekonomi kuartal II 2020 yang minus 5,32 persen.

Tauhid pun menyebut bahwa pertumbuhan hanya di atas kertas dan bersifat semu. Sedangkan masyarakat dan pelaku usaha belum menikmati pertumbuhan ekonomi RI.

Ia menuturkan, pertumbuhan tidak ujug-ujug pulih dalam satu kuartal. Sejak covid-19 masuk RI pada Maret 2020, ekonomi telah bergelut dengan kontraksi dan pertumbuhan naik secara berkala sejak ekonomi amblas pada kuartal II 2020.

Dia kemudian memberi contoh pertumbuhan sektor transportasi yang melejit. Hal itu bukan berarti maskapai, angkutan darat, dan laut sudah tumbuh.

Mereka hingga kini masih kembang-kempis berusaha bertahan dari dampak pandemi.

"Substansi kenaikan masih semu. Angka pertumbuhan tinggi tapi sebenarnya riil tidak sebesar yang dirasakan oleh masyarakat," katanya, Kamis (5/8).

Tauhid melanjutkan melihat realisasi bantuan sosial (bansos) yang masih rendah, ia menilai bantuan sosial pemerintah terhadap konsumsi masyarakat tak begitu besar. Konsumsi masyarakat yang terjadi sepanjang April-Juni 2021 kemarin justru lebih banyak terjadi karena pelonggaran kegiatan ekonomi.

Dan karena pelonggaran itu, ada `ongkos` yang harus dibayar dari realisasi pertumbuhan, yakni, meningkatnya kasus infeksi corona dan korban meninggal akibat pandemi itu.

Menurut Tauhid, ganjaran dari pertumbuhan tersebut tidak sebanding dengan duka akibat kehilangan keluarga dan kolega. Pasalnya, Per Kamis (5/8), korban meninggal akibat covid-19 sebanyak 102.375 orang.

Dia mengaku memilih pertumbuhan ekonomi tercatat landai, sementara sisi kesehatan dan sosial terjaga.

"Tidak bisa manfaat ekonomi ini hanya dirasakan sebagian orang sementara pandemi dirasakan merata. Jutaan orang pernah menderita dan ratusan ribu keluarga ditinggalkan," papar dia.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyebut wajar bila pelaku usaha dan warga masih merasakan tekanan ekonomi, pasalnya pemulihan tidak merata dan hanya di segelintir sektor saja.

Tak hanya itu, terkait pemulihan pun ia khawatirkan tidak berkelanjutan dikarenakan akar penekan ekonomi selama ini, pandemi covid-19, belum teratasi.

Terlebih lagi, hingga kini vaksinasi Covid-19 juga masih berjalan lamban. Data Kementerian Kesehatan, baru 10,53 persen masyarakat yang sudah menerima vaksin lengkap dua dosis per 2 Agustus 2021.

Bahkan, dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, hanya DKI Jakarta dan Bali saja yang vaksinasinya sudah berjalan maksimal. Maka tak heran begitu varian Delta masuk RI, penanganan covid harus mulai dari nol lagi.

Demi memotong rantai penyebaran Corona, pemerintah memberlakukukan kebijakan PPKM darurat dan level 4. Kebijakan itu langsung berdampak ke ekonomi.

Sepanjang PPKM Darurat dan level 4 diterapkan, banyak pelaku usaha menjerit karena tak kuat lagi menghadapi tekanan ekonomi akibat kebijakan itu.

Dari pelaku usaha besar hingga PKL nyaring bersuara, mulai dari mengibarkan bendera putih tanda menyerah, menulis surat terbuka kepada Presiden Jokowi, merebus batu, bahkan pencobaan bunuh diri sempat dilakukan supaya kebijakan itu dihentikan

"Ini menciptakan ketidakpastian dari segi ekonomi dan masyarakat terutama yang sangat bergantung dengan aktivitas masyarakat di luar," kata Faisal.

Menurutnya, rumus penanganan pemerintah RI minim efektivitas. Rem dan gas akan membuat PPKM terus diterapkan ketika angka positif melonjak.

Penanggulangan setengah-setengah ini malah akan lebih mengancam ekonomi dalam jangka panjang. Di saat negara lain sudah selesai dengan pandemi dan mulai bicara pemulihan, Indonesia masih bergulat dengan pengetatan mobilitas.

Karena realita itu, ia mengingatkan pemerintah untuk tidak larut dalam euforia dulu dengan capaian ekonomi kuartal II lalu. Faisal mengatakan tantangan ke depan bakal jauh lebih berat.

Prediksinya, pertumbuhan kuartal III bakal turun ke kisaran 3 persen-4 persen secara tahunan. Faisal khawatir keterlambatan Indonesia menangani pandemi akan membuat RI diserang dua `penyakit` sekaligus, yaitu, gelombang kedua pandemi dan kebijakan pemulihan ekonomi global.

Dari sisi global misalnya, penyakit bisa datang dari AS. Apalagi, The Fed yang sudah mulai ancang-ancang menarik stimulus besar-besaran pada akhir tahun ini.

Dengan sinyal itu, ekonomi dalam negeri berpotensi menghadapi tekanan besar akibat pelarian modal asing yang terjadi secara besar-besaran dari pasar keuangan RI.

Kalau sudah berdampak ke arus modal, volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bakal tinggi dan pasar saham bisa lesu mengingat pendanaan masih didominasi investor asing.

"Yang jelas kuartal II ini kan sudah lewat, yang kita hadapi ke depan lebih buruk karena masuk gelombang kedua jadi jangan euforia," ujarnya.

Ia mengatakan, bila ingin selamat, pemerintah harus segera mengejar target vaksinasi dan gencar melakukan 3T atau testing, tracing, dan treatment.

Sepaham, Tauhid juga mengingatkan pemerintah untuk mempertahankan basis konsumsi dengan memperluas bansos serta membenahi sisi kesehatan yang masih banyak masalah.

Dia menilai sulit 3T bisa berhasil bila masyarakat masih harus bayar untuk tes PCR/antigen sementara akses ke tes gratis pemerintah masih terbatas. Bila sisi kesehatan belum tertangani, sisi ekonomi pun bakal terancam.

"Tantangan ke depan ketidakpastian masih tinggi karena pandemi belum tahu sampai kapan, sementara PPKM level berlangsung relatif panjang," tutupnya.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar