Elina Ciptadi Co-Founder Kawal Covid-19

Data Valid Adalah Kunci, Covid-19 di Indonesia Masih Belum Terkendali

Selasa, 03/08/2021 15:00 WIB
Elina Ciptadi (Foto: ABC.net)

Elina Ciptadi (Foto: ABC.net)

law-justice.co - Elina Ciptadi masih ingat betul, awal tahun 2020 dunia sudah dihebohkan dengan satu virus yang bisa menular cepat dari satu orang ke orang lainnya. Skala penyebarannya sudah lintas negara sehingga WHO kemudian mengesahkannya sabagai pandemi global.

Virus yang kemudian kita kenal dengan Corona atau Covid-19 itu, begitu mengguncang China. Beberapa negara di eropa sudah mulai waspada. Di Asia, Vietnam adalah salah satu negara yang paling mewanti-wanti tentang bahaya pandemi Covid-19.

Namun kewaspadaan itu belum menular ke Indonesia, meski kasus pertama sudah diumumkan pada 3 Maret 2020. Sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap Covid-19 sebagai virus biasa, layaknya ifluenza. Bahkan pejabat pemerintah cenderung membangun narasi-narasi  yang menggampangkan.

Sadar bahwa pandemi ini berpotensi menyebar cepat di Indonesia, Elina Ciptadi menggagas sebuah lembaga bernama Kawal Covid-19. Awalnya, mereka terdiri dari orang-orang yang gemar mengamati data. Sebagian besar adalah bekas relawan Kawal Pemilu yang sudah terbentuk sejak tahun 2014.

“Kami sudah mengamati data Covid itu sejak bulan Januari 2020. Awalnya iseng, karena datanya tersedia,” kata Elina dalam sebuah percapakan dengan Law-Justice.

Awalnya, Elina dan kawan-kawan menilai ada yang tidak beres dengan sikap pemerintah Indonesia dalam menanggulangi pandemi. Pola komunikasi yang dibangun cenderung menyepelekan dan tidak mengedukasi masyarakat untuk waspada terhadap Pandemi Covid-19.

Hasilnya, secara berangsur-angsur ketahuan bahwa wabah ini telah menyebar dengan cepat di dalam negeri. Terjadi peningkatan jumlah kasus yang tinggi, namun jumlah testing masih sangat sedikit.

“Kami dulu sama sekali tidak berpikir bahwa pemerintah akan seperti itu dalam menyikapi pandemi. Namun akhirnya kami merasa bahwa harus ikut serta mengedukasi masyarakat,” ujar Elina.  

Karena sebagian besar terdiri dari orang-orang yang terbiasa dengan data, Elina dan kawan-kawan memutuskan bahwa Kawal Covid-19 akan fokus untuk menyajikan tabulasi data-data penting seputar Covid-19. Menurut mereka, pemerintah saat itu belum menyajikan data-data yang tepat terkait Covid-19.

“Padahal data adalah kunci untuk lahirnya kebijakan yang tepat. Masyarakat berhak terhadap data tersebut. Kalau datanya tepat, publik akan bisa mengukur sendiri seperti apa harusnya tingkat kewaspadaan kita terhadap Covid-19,” kata Elina.

Kini sudah memasuki tahun kedua, Kawal Covid-19 masih konsisten menyajikan data-data penyeimbang seputar Covid-19. Bukan hanya data tentang penambahan kasus dan jumlah orang meninggal dunia, Kawal Covid-19 juga menyajikan data-data penting seperti jumlah testing, tracing, positivity rate, hinggap pencapaian vaksinasi.

Saat ini, Elina  berkesimpulan bahwa pandemi Covid-19 di Indonesia belum terkendali. Mengacu pada data-data, Indonesia masih jauh di bawah standar pengendalian Covid-19 yang sudah dirumuskan oleh WHO.

Berikut petikan wawancara Law-Justice dengan Coordinator-Founder Kawal Covid-19 Elina Ciptadi pada Senin (2/8/2021).

Bagaimana Anda melihat pola komunikasi pejabat pemerintah saat ini, terkait penganggulangan Covid-19?
Sudah ada perbaikan, terutama jika dibandingkan dengan eranya Menkes Terawan. Tapi belum cukup baik. Mindset Sense of Crisis pejabat kita belum cukup baik. Secara sporadis kita masih lihat beberapa pejabat di daerah mengajak masyarakatnya untuk Nobar, padahal ada risiko pelanggaran Prokes.

Publik harus diberi tahu kondisi yang sebenarnya. Kondisi saat ini jangan dipupuri seolah-olah mengajak masyarakat agar tidak panik. Jangan bilang situasi ini terkendali. Itu adalah narasi yang menggampangkan, membuat publik jadi tidak waspada.

Ketika pemerintah tidak memberikan data yang sebenarnya sesuai fakta, masyarakat akhirnya jadi berpikiran bahwa enggak akan kena Covid.

Kalau memang kondisi terkendali dan tidak berbahaya, kenapa ada pembatasan seperti sekarang ini?

Ada pemerintah daerah yang bilang bahwa banyak pasien yang di-Covid-kan. Ada dinas kesehatan yang ternyata menseleksi pasien meninggal karena Covid-19, seolah-olah yang punya komorbid bukan meninggal karena Covid.

Padahal, orang yang punya komorbid seperti diabetes, jantung, darah tinggi, kalau dia tidak kena infeksi, kondisinya akan terkendali. Tidak kemudian dia bisa meninggal tiba-tiba.

Apa pentingnya setiap daerah harus jujur dan memberikan data yang tepat terkait kasus Covid-19?
Angka kematian yang kecil itu akan membuat orang berpikir bahwa wabah ini tidak berbahaya. Hal itu membuat skala penanganan wabah menjadi lebih parah.

Kalau daerah-daerah berusaha menutupi agar mereka tidak dicap zona merah, padahal kasus di sana sangat parah, bantuan dari pusat tidak akan datang. Jangan salahkan pemerintah pusat kalau tidak kirim oksigen dan bantuan medis.

Hal-hal seperti itu hanya akan memperburuk situasi.

Di daerah, testing-nya sangat kurang. Tracing-nya jelek. Positivity rate-nya bisa 50 persen. Satu dari dua orang yang dites adalah positif. Itu kan berarti sangat tinggi.

Orang-orang itu sudah sakit duluan, sudah ke puskesmas, baru dites. Di titik ini, kasus-kasus berat menjadi sangat banyak. Mereka baru ketahuan ketika sudah sakit. Padahal selama beberapa hari mereka tidak Isoman dan pasti virus menyebar kemana-mana.

Bagaimana kita mau menang melawan wabah yang menular sebelum bergejala, ketika attitude dari pemerintah kita seperti itu. Enggak mau dibilang zona merah.  

Kita tidak akan pernah menang melawan pandemi, karena virus tidak peduli dengan politik, tidak peduli ekonomi, tidak peduli hari libur.

Selama ini bagaimana Kawal Covid-19 mendapatkan data yang valid seputar pandemi?
Setiap daerah punya situs data Covid masing-masing. Kami kumpulin datanya setiap hari, kami bandingkan dengan data pusat. Beberapa hari ini mulai sinkron.

Sebelumnya, ada ketimpangan yang cukup besar antara data pusat dan daerah. Misalnya, pemerintah mengumumkan ada 700 orang yang meninggal, tapi data di daerah-daerah ternyata ada 1200 orang. Yang dipangkas itu bukan lagi 1 atau dua orang. Belum lagi kita bicara data dari kabupaten/kota ke tingkat provinsi.

Kami juga mengamati rasio tes. Targetnya 400 ribu tes perhari. Sementara yang tercatat itu masih 170 ribu. Paling tinggi pernah 250 ribu. Tidak pernah konsisten ada peningkatan ke arah 400 ribu per hari.

Ada perbaikan dibanding tahun lalu, tapi apakah perbaikan itu cukup untuk menanggulangi pandemi? Kami bilang belum. Positivity rate kita masih tinggi, 20-an persen. Satu dari 5 orang yang dites itu masih positif.

Testing dalam skala nasional kita masih jauh dari standar WHO. Cuma DKI Jakarta dan beberapa provinsi lainnya yang sudah memenuhi syarat minimal WHO. Itu pun belum sampai pada syarat kecukupan.

DKI Jakarta saja tingkat positivity rate masih 10 persen. Di daerah-daerah masih 50 persen.

Enggak ada cara instan untuk menangani pandem ini. Mau enggak mau kita harus testing, tracing, treatment, vaksinasi, dan tetap jaga Prokes.

Sampai sekarang Kawal Covid-19 masih melihat ada upaya penyembunyian data kasus Covid?
Data pusat sekarang kan sudah tidak lewat Dinkes lagi. Sekarang kelihatan bahwa daerah-daerah yang kami anggap datanya tidak valid, ternyata tinggi kasusnya.

Kami tidak tahu pasti apakah ada praktik terstruktur untuk menyembunyikan data kasus. Tapi yang pasti, testing di daerah itu sangat mencolok dibandingkan dengan di Jakarta. Banyak di daerah yang tidak melakukan testing dalam jumlah yang cukup.

Sementara kalau positivity rate nya 50 persen, kemungkinan ada lebih banyak orang yang positif tapi belum dites. Peningkatan tes harus dilakukan di daerah-daerah.

Sementara standar WHO meminta 30 orang kontak erat itu dites dan dikarantina. Di Indoensia paling cuma 3 orang. Kadang cuma satu orang, kadang tidak ada yang di tracing. Masak 1 orang positif cuma melacak 1 orang, sementara di rumahnya saja udah ada berapa orang.

Apa kendala utama Kawal Covid-19 dalam mengumpulkan data?
Datanya memang terbatas. Data tes per Provinsi itu enggak ada. Padahal efektivitas penanggulangan pandemi itu tergantung data tes.

Kedua, tidak ada data kematian probable, orang yang meninggal dengan gejala konsisten Covid, seperti sesak nafas, batuk-batuk, dll. WHO bilang kematian seperti itu harus masuk data probable.

Pemerintah pusat tidak menampilkan data probable ini. Padahal kami tahu ada beberapa provinsi yang mencantumkan angka probable di situs daerah masing-masing.

Apa pentingnya data probable?
Itu menunjukkan seberapa banyak orang yang meninggal tapi tidak sempat ditolong. Mereka tidak sempat dites atau hasil tes belum keluar, sudah meninggal dunia dengan gejala Covid.

Itu indikasi Faskes kita sudah kolaps atau belum. Itu indikasi apakah daerah bisa mengeluarkan hasil tes dengan cepat atau tidak. Hasil tes PCR itu harusnya paling lama 24 jam.

Di Indonesia masih sangat lama. Ada yang seminggu baru keluar. Ada juga, hanya untuk tes saja, dia ngantri 5 hari. Belum nunggu hasilnya keluar.

Yang ada, hasil tes keluar orang udah selesai Isoman. Iya kalau butuhnya cuma Isoman, kalau butuhnya UGD bagaimana?

Sekali lagi, kalau kita tidak punya data yang akurat, kebijakannya enggak akan tepat sasaran.

Yang kita butuhkan sekarang adalah data tes, data kontak erat, dan data probable.  Supaya kita tahu skala wabahnya itu sebesar apa.

Pemerintah sudah berada di jalur yang benar dalam penanganan pandemi Covid-19?
Kami tidak ingin spekulatif. Kalau lihat data, pandemi ini jelas belum terkendali.

Disebut terkendali itu jika kita bisa menjaga angka positivity rate di bawah 5 persen setidaknya 3 minggu berturut-turut. Kita belum pernah mencapai positivity rate di bawah 5 persen. Boro-boro 3 minggu. Sehari aja belum pernah.

Tes masih belum memadai. Yang kami lihat sekarang pusat wabahnya itu tidak lagi di DKI Jakarta, tapi di provinsi lain.

Apakah PPKM Darurat selama sebulan ini efektif?
Kalau menurut saya efektif. Buktinya DKI Jakarta sudah mulai turun kasusnya.  Di DKI kan bukan cuma PPKM darurat, tapi ada upaya testing yang massif.

Itu yang tidak diikuti oleh daerah-daerah lainnya.  Kalau cuma PPKM doang tanpa testing, begitu dibuka akan melonjak lagi.

Penanganan di DKI pun tidak bagus-bagus amat. Tapi datanya itu mendukung bahwa ada perbaikan. Daerah harus meniru DKI dalam menggenjot testing.

Kebijakan seperti apa yang harus diambil oleh pemerintah?
Di titik ini memang enggak ada pilihan yang gampang. Karena wabah sudah menular di seluruh Indonesia. Kita punya Faskes yang terbatas, kita punya masyarakat yang abai yang Prokes. Kita enggak punya cukup vaksin. Jadi pilihan apapun yang diambil itu pasti sulit.

Tapi kita harus berusaha membuat sistem yang benar. Kalau pemerintah memberikan data yang benar sesuai fakta, orang akan menimbang sendiri. Masyarakat harus diedukasi dengan benar bagaimana mereka harus bertindak.

Yang terjadi sekarang ini, semua dibebankan kepada masyarakat agar patuh terhadap 3M. Tapi hak warga atas informasi yang benar sudah dipenuhi belum? Akses informasi itu sudah memadai belum?

Kami percaya bahwa jika data tentang Covid ini disampaikan dengan sebenar-benarnya, masyarakat akan sadar seperti apa mereka harus bertindak dalam beraktivitas.

(Januardi Husin\Patia)

Share:




Berita Terkait

Komentar