Cegah Penggulingan, Perdana Menteri Malaysia Batalkan Rapat Parlemen

Senin, 02/08/2021 11:58 WIB
Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin. (scmp.com)

Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin. (scmp.com)

Jakarta, law-justice.co - Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin, dilaporkan membatalkan rapat khusus parlemen hari ini, Senin (2/8), guna menghindari upaya penggulingannya oleh oposisi.

Pemerintahan Muhyiddin semakin berada di ujung tanduk setelah berselisih dengan Raja Malaysia, Yang di-Pertuan Agong Sultan Abdullah Ahmad Shah, akibat pemberlakuan status darurat nasional pandemi Covid-19.

Seperti melansir cnnindonesia.com, ada banyak aparat kepolisian berjaga di sepanjang jalan menuju parlemen pada Senin pagi meski rapat khusus parlemen telah ditunda.

Oposisi pemerintah mengecam penundaan rapat parlemen hari ini dan menyebutnya sebagai langkah konyol pemerintah.

Media Malaysia, The Star, melaporkan pengerahan aparat dilakukan sebagai antisipasi pemerintah setelah sejumlah pejabat oposisi di parlemen, termasuk ketua koalisi oposisi pemerintah, Anwar Ibrahim, tetap berkeras datang ke gedung parlemen.

Sejumlah legislator oposisi bahkan dilaporkan telah berkumpul di Dataran Merdeka setelah dilarang memasuki gedung parlemen oleh polisi.

Sementara itu, pemerintahan Muhyiddin beralasan menunda sesi rapat parlemen hari ini setelah beberapa pejabat legislatif terinfeksi Covid-19.

Wakil Perdana Menteri Malaysia, Ismail Sabri Yaakob, pun membantah bahwa penundaan rapat disebabkan alasan politik. Ia berkeras penundaan rapat parlemen diputuskan berdasarkan pertimbangan kesehatan.

Kementerian Kesehatan Malaysia juga menganjurkan rapat parlemen dan pertemuan lainnya ditunda hingga dua pekan ke depan.

Menteri Kesehatan Malaysia, Noor Hisham Abdullah, mengatakan anjuran itu dibuat berdasarkan penilaian risiko kesehatan dan demi mencegah penularan Covid-19 di parlemen.

Kisruh penerapan status darurat ini sendiri terjadi ketika salah satu menteri Muhyiddin mengumumkan pemerintah tidak akan memperpanjang status darurat Covid-19 yang akan berakhir pada 1 Agustus mendatang.

Sementara itu, keputusan perpanjangan dan pencabutan status darurat adalah wewenang raja. Sultan Abdullah pun merasa tersinggung dan dalam pernyataannya menganggap belum memutuskan menyetujui atau tidak rencana pemerintah mencabut status darurat tersebut.

Raja Malaysia menerapkan status darurat Covid-19 sejak 12 Januari lalu setelah mendapat masukan dari Muhyiddin. Saat itu, Muhyiddin berpendapat status darurat diperlukan untuk meredam penularan virus corona.

Deklarasi status darurat memberikan Muhyiddin kewenangan untuk menangguhkan parlemen (reses). Dengan begitu, Muhyiddin dapat menerapkan kebijakan penanganan pandemi tanpa melalui persetujuan legislatif.

Di awal pandemi, kabinet Muhyiddin dinilai berhasil menekan penyebaran dan laju infeksi Covid-19, salah satunya dengan menerapkan penguncian wilayah (lockdown) pada Maret tahun lalu. Saat itu, laju infeksi harian corona dapat ditekan.

Namun, setelah menerapkan serangkaian pelonggaran, Malaysia kembali didera gelombang baru penularan Covid-19 akibat penyebaran varian Delta corona yang lebih menular.

Muhyiddin menerapkan lockdown lebih ketat pada 1 Juni hingga hari ini. Namun, terlepas dari lockdown dan status darurat, penularan Covid-19 Malaysia semakin buruk.

Situasi pandemi yang terus memburuk ini pun memicu amarah publik, terutama kelompok oposisi pemerintah di parlemen hingga membuat kepemimpinan Muhyiddin kembali terancam.

Partai politik terbesar di Negeri Jiran, UMNO, memutuskan menarik diri dan dukungan terhadap koalisi pemerintah, salah satu alasannya karena pemerintahan Muhyiddin dinilai gagal menangani pandemi virus corona. UMNO bahkan mendesak Muhyiddin mundur sebagai perdana menteri.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar