Moeldoko Terapi Dendritik Terawan, Epidemiolog: Merugikan Pemerintah

Minggu, 01/08/2021 15:40 WIB
Moeldoko mengikuti terapi sel dendritik dengan dokter Terawan (Net)

Moeldoko mengikuti terapi sel dendritik dengan dokter Terawan (Net)

Jakarta, law-justice.co - Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengikuti terapi sel dendritik, Jumat (30/7). Moeldoko menuai kritik karena hingga kini terapi ini tak mendapatkan izin untuk melanjutkan uji klinis oleh BPOM.


Ahli epidemiologi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, adalah salah satu yang ikut menanggapi hal ini. Menurutnya, keputusan Moeldoko disuntik sel dendritik yang dulunya disebutb vaksin Nusantara adalah hak individu, tetapi disayangkan karena hal ini bisa memberi dampak kurang baik kepada masyarakat.
“Kita harus sadar sebagai masyarakat lebih pakai nalar kritis. Bahwa sebetulnya pejabat ada tanggung jawab moral, ya itu harapan kita. Tapi juga ada hak ini invidunya memilih, itu kita hargai saja. Namun, yang jelas dalam situasi ini semua pejabat publik hendaknya mengikuti apa yang menjadi pakem prosedur ilmiah,” kata Dicky dikutip dari Kumparan, Minggu (1/8/2021).


Menurut dia, sikap Moeldoko ini malah merugikan pemerintah. Sebab, pemerintah sendiri yang tak `merestui` terapi sel dendritik yang diinisiasi eks Menkes Terawan Agus Putranto ini.


“Karena kalau itu tidak dipakai ya akan merugikan dari sisi pemerintah juga, karena mencerminkan atau mewakili pemerintah. Enggak bisa tidak. Sulit, kecuali warga biasa. Dan ini kan satu sikap yang untuk membangun trust publik, [untuk] mematuhi setiap strategi yang terbukti secara science,” imbuh dia.


Selain itu, Dicky berpendapat terapi sel dendritik masih berbahaya untuk bisa disuntikkan kepada publik. Bahkan melanggar etika. “Ya kalau saya sebagai peneliti, menurut saya kalau belum selesai tahapannya ya berbahaya, jelas. Kecuali yang bersangkutan menjadi salah satu uji, relawan, ya itu beda lagi. Pasti sudah tahu konsekuensinya. Tapi kalau diberikan ke luar itu melanggar etika riset. Indonesia kan punya aturan riset,” terang dia.


Setelah tak mendapat restu BPOM, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kepala Staf AD Jenderal TNI Andika Perkasa, dan Kepala BPOM Penny K. Lukito telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) terkait penelitian sel dendritik pada Senin (19/4).

MoU ini menyepakati penelitian berbasis sel dendritik di RSPAD Gatot Subroto untuk pengobatan COVID-19, bukan lanjutan uji klinis fase II penelitian vaksin Nusantara.


Penelitian juga bersifat autologus. Artinya, penelitian hanya dipergunakan untuk diri pasien sendiri sehingga tidak dapat dikomersialkan dan tidak diperlukan persetujuan izin edar.


Sehingga, Moeldoko memang bisa saja disuntik sebagai pasien yang menerima perawatan COVID-19. Kendati demikian, Dicky berpendapat tetap harus ada penjelasan yang terbuka kepada publik bagaimana pengawasan dan pengaturan terkait hal itu. “Itu juga ada aturannya, menentukan etika, batasan-batasannya dan ini yang ini yang harus diketahui dan disampaikan terbuka,” tambah dia.


Oleh sebab itu, Dicky menyayangkan kalau masih ada pejabat yang mau mengikuti terapi sel dendritik ini. Menurut dia, ini bisa menjadi sebuah kampanye negatif untuk masyarakat Indonesia. “Mau testimoni banyak, kalau tidak ada riset, jurnal yang direview, itu tidak memenuhi kriteria. Itu bahaya ketika belum terpenuhi kemudian dikonsumsi publik, apalagi ini tokoh-tokoh masyarakat atau pejabat publik,” ujar dia.

“Ini akan memberikan pendidikan yang buruk ke publik, sebetulnya ke dunia juga. Seperti terkesan tidak mematuhi. Kita punya prosedur itu banyak, tapi kok terkesan tidak mematuhi. Ini kan jadi kampanye negatif,” tandasnya.

 

Apa itu Terapi Sel Dendritik?

 

Vaksin Nusantara untuk Covid-19 atau yang nama resminya Vaksin Sel Dendritik untuk SARS-CoV-2 sebenarnya dikembangkan dari teknik terapi kanker. Ketua tim Laboratorium Professor Nidom Foundation (PNF), C.A. Nidom, menjelaskan bedanya vaksin ini dari vaksin konvensional terletak pada motor aktivitasnya.

Secara umum, vaksin disuntikkan ke seseorang dengan antigen (virus inaktif atau subunit protein). Kemudian, tubuh dibiarkan melakukan proses pembentukan antibodi.


Dalam hal vaksin Covid-19, yang digunakan adalah virus SARS-CoV-2 yang telah dilemahkan atau komponen genetik dari protein pakunya--protein yang berperan mencengkeram sel korban yang hendak diinfeksi. Teknik ini yang digunakan vaksin Sinovac, AstraZeneca, Pfizer, Moderna, dan lainnya.

Vaksin Nusantara berbeda. Vaksin ini berbasis sel dendritik yang disebut Nidom sebagai pabrik antibodi. Diadopsi dari terapi kanker, sel dendritik bisa dipanen dari darah seseorang, tapi bisa diambil juga dari sumsum tulang.

Website National Center for Biotechnology Information, Amerika Serikat, menyebut sumbernya berbeda yakni pada saluran pernapasan dan juga lambung. Sel dendritik disebutkan mampu menangkap antigen-antigen asing yang masuk ke tubuh, lalu bergerak ke area T Sel dari organ limfoid untuk menemukan klon yang tepat dan memulai respons imunitas.

Nah, proses pembuatan vaksin yang memakai sel dendritik dimulai dari memanen dan mengisolasi sel dendritik itu. Pemisahannya dari darah, misalnya, dilakukan di laboratorium alias di luar tubuh (in vitro).

Pada terapi kanker, sel dipicu dengan protein kanker. Setelah mulai matang atau mengalami diferensiasi, sel dendritik disuntikkan kembali kepada orang yang mempunyai darah dan kanker tersebut.

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar