Sengkarut Uang Negara di LPEI

Babak Baru Korupsi LPEI, Para Cukong Berebut Uang Rakyat

Sabtu, 31/07/2021 10:03 WIB
Kantor LPEI atau Indonesia Eximbank (Foto:Ghivary Apriman/Law-Justice.co)

Kantor LPEI atau Indonesia Eximbank (Foto:Ghivary Apriman/Law-Justice.co)

law-justice.co - Siapa sangka, Kejaksaan Agung benar-benar menyelidiki dugaan korupsi yang terjadi di LPEI akibat kinerja perusahaan pembiayaan ekspor itu yang terus merugi. Naiknya perkara tersebut ke meja hukum menandakan bahwa uang rakyat telah menjadi bancakan segelintir orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini berdampak pada meningkatnya kredit macet/non performing loan (NPL) pada 2019 sebesar 23,39%.

Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kini menghadapi kasus hukum di kejaksaan agung terkait kerugian yang dialami lembaga itu sebesar Rp 4,7 triliun pada tahun 2019. Kejagung mencium aroma korupsi terkait pemberian kredit kepada 9 debitur yang saat ini ternyata macet.

Pada 30 Juni lalu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan bahwa pihaknya telah resmi menaikkan status perkara itu ke penyidikan dengan berkas bernomor Nomor Print-13/F.2/Fd.2/06/2021 tertanggal 24 Juni 2021. Kejagung sejauh ini telah memeriksa 6 saksi, yakni:

1. Mantan Kepala Kantor Wilayah LPEI Surakarta inisial AS, diperiksa terkait fasilitas pembiayaan kepada PT Kemilau Kemas Timur

2. Senior Manager Operation TNT Indonesia Head Office inisial MS, diperiksa terkait pengiriman SBW melalui TNT

3. Manager Operation Fedex/TNT Semarang inisial EW, diperiksa terkait pengiriman SBW melalui TNT

4. Kepala Divisi UKM pada LPEI Tahun 2015 inisial FS, diperiksa terkait pemberian fasilitas kredit kepada PT Jasa Mulia Indonesia (JMI) dan PT Mulia Walet Indonesia.

5. Kepala Divisi Analisa Resiko Bisnis II pada LPEI inisial DAP, diperiksa terkait pemberian fasilitas kredit kepada PT JMI

6. Kepala Divisi Restrukturisasi Aset II pada LPEI inisial YTP, diperiksa terkait penanganan debitur yang macet.

"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri guna menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi," kata Leonard.

Kejagung menduga LPEI telah memberikan fasilitas kredit kepada beberapa perusahaan tanpa menggunakan prinsip kehati-hatian, tidak sesuai dengan Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tertanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI. Hal itu membuat terjadi peningkatan kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) sebesar 23,39 persen pada 31 Desember 2019.

Setidaknya ada 9 perusahaan yang dianggap bermasalah oleh Kejagung: Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT Cipta Srigati Lestari, PT Lautan Harmoni Sejahtera, PT Kemilau Harapan Prima, dan PT Kemilau Kemas Timur.


Kantor LPEI atau Indonesia Eximbank (Foto:Ghivary Apriman/Law-Justice.co)

Sejumlah perusahaan yang menjadi debitur LPEI itu terindikasi bermasalah. Duniatex Group, misalnya, perusahaan tekstil terbesar di Indonesia ini menjadi beban karena kegagalan mereka membayar utang pembiayaan yang telah dikucurkan oleh LPEI.

Total pembiayaan yang kepada Duniatex Group senilai Rp 3,04 triliun yang tersebar kepada anak-anak perusahaannya seperti PT Delta Dunia Textile (DDT) Rp 1,2 triliun, Delta Merlin Sandang Textile (DMST) Rp 1,5 triliun, PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) Rp 54 miliar, dan PT Delta Dunia Sandang Textile (DDST) Rp 289 miliar kepada.

Law-Justice sudah menghubungi Sekretaris Perusahaan Duniatex, Detri Hakim, untuk meminta keterangan terkait penyidikan terhadap perusahaannya dalam kasus kredit macet LPEI. Namun, pesan pendek dan panggilan ke nomornya tak kunjung direspons.

Selain Duniatex, ada lagi perusahaan milik taipan Johan Darsono bernama PT Mount Dreams Indonesia (MDI). Pada 2018 lalu, pabrik kertas berbasis ekspor ini dinyatakan masuk belenggu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh Pengadilan Niaga Surabaya karena beban utang yang menggunung. Salah satu utangnya yang terbesar didapat dari LPEI.

Perusahaan Pengemplang Dana LPEI

Dikutip dari pemberitaan, PT MDI tercatat memiliki utang ke LPEI sebesar Rp 548,26 miliar dari total utang Rp2,09 triliun yang tersebar ke 12 kreditur separatis dan 9 kreditur konkuren. Utang terhadap LPEI masuk ke dalam lingkup kreditur separatis dan merupakan utang terbesar kedua setelah PT Bank Negara Indonesia Tbk sebanyak Rp583,14 miliar.

Dari lamannya, MDI berdiri pada 2009 memiliki pabrik seluas 15 hektar dengan dioperasikan oleh tenaga kerja lebih dari 500 orang.

Pabrik itu memiliki lebih dari 10.000 metrik per bulan kapasitas produksi kertas dengan aktif menyatakan mengembangkan dan menjual produk-produk berkualitas tinggi di pasar domestik dan ekspor dengan kisaran penawaran mencapai 125-150 gsm medium dan kertas kraft untuk kotak kemasan industri.

Perusahaan saat ini mengoperasikan dua mesin kertas dengan produksi 100% kertas serat bergelombang daur ulang dengan kapasitas gabungan mencapai 120.000 ton per tahun.

Kejagung juga mengungkapkan bahwa debitur-debitur yang ada di Group Wallet yaitu PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulya Walet Indonesia, dan PT Borneo Walet Indonesia dikategorikan Collectibility 5 (macet) sehingga mengalami gagal bayar sebesar Rp 683 miliar.

"Pembiayaan kepada para debitur tersebut sesuai dengan laporan sistem informasi manajemen resiko dalam posisi collectibility 5 (macet) per tanggal 31 Desember 2019. LPEI di dalam penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional kepada para debitur diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet/NPL pada tahun 2019 sebesar 23,39 persen," ujar Leonard.


Gedung Jampidus Kejaksaan Agung (Foto: Helmi Fandi/Law-Justice.co).


Saat dimintai konfirmasi lebih jauh tentang progres penanganan perkara LPEI, Kejaksaan agung melalui Direktur Penyidikan yang baru dilantik pada Kamis (29/7) lalu, Supardi, memastikan penindakan perkara akan terus berlangsung.

Dia mengaku belum bisa memberikan informasi apapun karena baru dilantik sebagai direktur penyidikan, menggantikan Febrie Adriansyah yang dimutasi menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

"Masih proses. Insyaallah bagus. Tapi kan saya baru duduk. Saya pahami dulu semua case," ujarnya kepada Law-Justice.

Menanggapi kasus itu, anggota komisi hukum DPR RI, Arsul Sani, mengatakan Komisi III akan meminta penjelasan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin terkait dugaan kasus korupsi LPEI. Ia meminta lembaga Adhyaksa tidak mengulur-ulur penyidikan kasus tersebut karena alasan peralihan tugas pejabat di Eselon II.

Dia menegaskan, perpindahan penanganan kasus tak menjadi alasan mandeknya pengungkapan perkara, mengingat kasus ini banyak melibatkan perusahaan kakap yang membutuhkan kerja serius dari penegak hukum.

"Prinsipnya, terjadinya mutasi pejabat di Kejagung tidak boleh kemudian membuat sebuah kasus berhenti atau berjalan di tempat proses penyidikannya," kata Arsul.

Aliran Suntikan PMN Rp 5 Triliun?

Laporan keuangan LPEI tahun 2019 menunjukkan bahwa lembaga pembiayaan ekspor itu merugi Rp 4,7 triliun karena adanya pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang meningkat sebesar 807,74 persen sehingga berimbas pada rendahnya keuntungan yang didapat perusahaan.

Salah satu faktor utama yang menyebabkan meningkatnya CKPN karena banyak debitur yang macet dalam pembayaran utang. Beban utang LPEI sangat tinggi pada tahun 2019, yakni Rp 22,88 triliun. Rasio NPL Bruto sebesar 23,39 persen, meningkat tajam dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 13,73 persen.

Angka tersebut sangat tinggi apabila dibandingkan bank-bank BUMN yang hanya berkisar antara 2-5 persen. Selain itu, nilai aset-aset LPEI juga menurun 10 persen menjadi Rp 108,7 triliun pada 2019, dibandingkan 2018 senilai Rp 120,1 triliun.

Bobroknya kinerja LPEI setidaknya sejak tahun 2015 tidak membuat Kementerian Keuangan berpikir dua kali untuk memberi suntikan dana Penyertaan Modal Negara (PMN). Tahun 2020, LPEI bahkan mendapatkan PMN sebesar Rp 5 triliun yang diambil melalui skema Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Program PEN diatur dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease (Covid-19). Program ini menjadi salah satu strategi utama pemerintah untuk menjaga ekonomi dalam negeri, khususnya bagi dunia usaha seperti Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).

Adapun tugas utama LPEI adalah memberi efek pengganda dalam membangkitkan kembali perekonomian dengan mendorong kinerja ekspor Indonesia melalui pembiayaan ekspor nasional, penjaminan, dan asuransi guna menurunkan tekanan pada defisit neraca perdagangan. Selama periode 2010 2020, alokasi PMN terhadap LPEI mencapai Rp 18,7 triliun (NK APBN).

PMN Rp 5 triliun yang diterima LPEI tahun lalu terbagi ke untuk beberapa jenis pembiayaan, 50 persen di antaranya atau Rp2,5 triliun digunakan untuk melaksanakan penugasan khusus pemerintah atas sektor yang memiliki potensi ekspor, yaitu industri tertentu, UMKM berbasis ekspor, penerbangan, dan industri lainnya.

Meski terlihat mengemban tugas mulia, nyatanya LPEI sebagai lembaga pembiayaan memiliki kinerja kurang baik pada tahun-tahun sebelum terjadinya wabah. Mengutip laporan keuangan LPEI, penurunan kinerja lembaga ini tergambar dalam beberapa rasio keuangan serta statistik kinerja ekspor yang belum meningkat signifikan. Padahal pemerintah tak pernah putus memberikan dukungan penyertaan modal untuk bank ekspor ini.

Apabila dilihat lebih jauh, selama mendapat mandat untuk mendorong program ekspor nasional melalui penugasan umum dan penugasan khusus ekspor (PKE), alokasi PMN telah meningkatkan kemampuan pembiayaan LPEI dari Rp40,49 triliun pada 2013 menjadi Rp65,78 triliun pada 2020. Meskipun kegiatan pembiayaan jauh lebih besar porsinya dibandingkan penjaminan dan asuransi, ketiga aktivitas pembiayaan dari LPEI mengalami tren penurunan pertumbuhan.


Perkembangan pembiayaan LPEI 2013-2020 (Sumber: Laporan Keuangan LPEI).


Sementara itu, tujuan alokasi PMN bagi LPEI untuk meningkatkan kinerja ekspor nasional bagi UKM ekspor nyatanya belum menunjukkan peningkatan yang maksimal. Pusat Kajian Anggaran DPR bahkan membuat laporan bahwa pembiayaan untuk UMKM dari LPEI sangat rendah, yakni baru 638 debitur.

Padahal bila dilihat dari jumlahnya, UMKM di Indonesia bisa mencapai 64 juta. Sektor usaha pembiayaan masih terkonsentrasi pada sektor industri. Tahun 2020 pembiayaan usaha industri mencapai 2.473 kontrak, namun di sektor lainnya, seperti pertanian, hanya berjumlah 439 kontrak (Statistik LKKI OJK, 2020).

Pembiayaan yang merupakan tugas utama LPEI ternyata mengalami kinerja yang buruk, terlihat pada nilai NPL-nya meningkat. Pada tahun 2019 NPL gross LPEI mencapai 23,39%. Hal tersebut menunjukkan bahwa dari total pembiayaan LPEI pada tahun 2019, 23,39% termasuk kredit macet atau tidak dapat ditagih sama sekali.

Berikutnya, kemampuan LPEI menghasilkan bunga bersih atas aset produktif juga menurun, terlihat dari nilai NIM dari 3,41% tahun 2013 menjadi 1,18% pada tahun 2019. Dalam menjalankan kegiatan pengelolaan, manajemen LPEI dinilai tidak efisien, hal ini terlihat dari nilai biaya operasional dan pendapatan operasional (BOPO) yang terus meningkat, bahkan mencapai 179,63% di tahun 2019.

Alokasi PMN pada LPEI juga belum mampu mendorong ekuitas LPEI terhadap perolehan laba, terlihat pada nilai ROE yang terus menurun bahkan mencapai -21,63% pada tahun 2019.

LPEI belum menunjukkan kinerja keuangan yang baik pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, dengan perannya yang diemban cukup strategis dalam mendukung peningkatan ekspor, maka LPEI masih perlu memperoleh dukungan PMN.

Riset kajian anggaran DPR itu lantas memberikan tiga rekomendasi, baik untuk pemerintah maupun LPEI sendiri:

1. Pemerintah harus melakukan pemantauan terhadap kegiatan serta perkembangan posisi permodalan dari lembaga keuangan tersebut agar tidak menimbulkan potensi risiko fiskal

2. LPEI harus terus melaksanakan analisis risiko berupa penilaian yang komprehensif sesuai ketentuan prinsip kehati-hatian, yang mencakup analisis terhadap kemampuan membayar debitur, dan analisis terhadap makroekonomi

3. LPEI harus lebih giat menciptakan eksportir baru khususnya bagi UMKM, mengingat jumlah UMKM berkontribusi sebesar 99 persen dari total usaha, namun hanya mencatat kontribusi ekspor sebesar 15,3 persen di tahun 2018.

Murni Kredit Macet atau Konspirasi Pembobolan?

Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati mengatakan, LPEI dapat menjadi lembaga strategis untuk mendorong ekspor UMKM jika saja lembaga itu tidak terpaku pada pembiayaan sektor industri semata.

“Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia EximBank membukukan rugi bersih sebesar Rp4,7 triliun pada 2019. Selain kerugian, LPEI juga mencatatkan penurunan aset hampir 10 persen menjadi Rp108,7 triliun pada 2019,” kata Anis kepada Law-Justice, Senin (26/7/2021) lalu.

Ia juga mengungkapkan adanya 14 temuan BPK yang menilai kinerja pemberian fasilitas pembiayaan LPEI belum maksimal, terutama pemantauan pada debitur-debitur yang berpotensi bermasalah.

“Saya kira LPEI harus menindaklanjuti temuan-temuan BPK ini,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.

Dalam kondisi terus menerus memburuk, Anis menilai perlu adanya langkah strategis dari manajemen LPEI di tengah semakin ketatnya likuiditas dan semakin besarnya defisit pendapatan pemerintah pada tahun 2019.

Ia juga menyinggung soal tingginya Non Performing Financing (NPF) di LPEI. Berdasarkan data per 31 Desember 2019, NPF bruto LPEI sudah mencapai 23,39 persen, meningkat tajam dibandingkan tahun 2018 yang sebesar 13,73 persen.

Angka tersebut sangat tinggi apabila dibandingkan dengan bank-bank BUMN yang hanya berkisar antara 2-5 persen.

"Tingginya NPF ini seharusnya menjadi catatan tersendiri, terutama apabila LPEI akan dilibatkan dalam program stimulus perekonomian dalam rangka menangani wabah Covid,” tukasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI dari fraksi PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno mengatakan, komisinya akan mendalami ihwal masalah kredit macet LPEI yang diduga terindikasi adanya praktik korupsi.

"Tentu informasi tersebut akan kami dalami dengan melakukan klarifikasi kepada LPEI. Biasanya kredit bermasalah memang menjadi hantu menakutkan saat ekonomi mengalami perlambatan," ujar dia kepada Law-Justice.


Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno. (Foto: dpr.go.id).


Menurut Hendrawan, hal serupa sebenarnya juga tengah dialami bank-bank milik BUMN. Dalam kondisi pandemi, bank Himbara yang saat ini banyak memberikan relaksasi juga ikut tiarap.

"Hal yang sama juga dihadapi oleh bank-bank himbara, NPL meningkat. Yang perlu dilihat apakah semua disebabkan kondisi makro eksternal yang memburuk atau ada modus yang mengindikasikan konspirasi pembobolan," katanya.

LPEI Dukung Langkah Kejagung

LPEI yang seharusnya menjadi dewa penolong bagi perusahaan-perusahaan yang akan melakukan ekspansi usaha ekspor dan impor kini harus tertatih karena dugaan kasus korupsi dan tingginya angka kredit macet dari debitur yang bernilai triliunan. Hal ini membuat LPEI kelimpungan dan dianggap beberapa kalangan menganggu jalannya roda usaha LPEI dan menimbulkan predikat rugi pada buku neraca keuangan perusahaan.

Kejaksaan Agung sendiri hinggi terus melakukan pendalaman yang sudah dalam tahap penyidikan dan pemanggilan beberapa pejabat baik dari LPEI, Bea Cukai dan perusahaan untuk mengungkap dugaan korupsi di tubuh lembaga tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Coorporate Secretary LPEI Agus Windiarto mengatakan kalau lembaga ini akan mengikuti sesuai dengan proses dan ketentuan hukum yang berlaku. Agus juga memastikan kalau LPEI akan kooperatip selama Kejaksaan Agung melakukan proses penyidikan yang sedang berlangsung.

"Hal ini merupakan salah satu tanggung jawab dari kami dalam menerapkan tata kelola perusahaan yang baik," kata Agus saat dikonfirmasi Law-Justice.

Agus juga menuturkan kalau LPEI berkomitmen untuk terus melakukan perbaikan dan meningkatkan kapasitas usaha untuk mendukung sektor berorientasi ekspor sesuai dengan mandat.

"Kami menghargai perhatian dan dukungan media kepada LPEI dalam menjalankan mandatnya dan membantu pemulihan ekonomi nasional," tuturnya.

Pada awal 2021, setelah mendapatkan suntinkan dana dari Kementerian Keuangan sebesar Rp 5 Triliun. LPEI juga kembali mendapatkan suntikan dana pinjaman dari Bank BCA sebesar Rp 3 Triliun.

Fasilitas kredit tersebut merupakan time loan facility senilai Rp 3 triliun dengan tenor 2 tahun yang terdiri dari time loan non-revolving 1 Rp1,5 triliun dan time loan non-revolving 2 Rp500 miliar dengan tenor 2 tahun dan tambahan time loan non-revolving 3 senilai Rp 1 triliun dengan tenor 2 tahun.

Ketika dikonfirmasi lebih lanjut mengenai dana pinjaman tersebut, Agus menyatakan bila suntikan dana tersebut untuk mendukung keperluan pembiayaan dan kegiatan bisnis LPEI seperti pembiayaan, penjaminan dan asuransi yang pada akhirnya diharapkan bisa mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.

"LPEI terus bersinergi dengan perbankan di dalam negeri, LPEI juga mendapatkan kepercayaan dan dukungan penuh dari lembaga keuangan di dalam negeri untuk menjalankan mandat guna mendorong kinerja ekspor nasional," ungkapnya.

Hal tersebut juga menjadi peluang bagi LPEI untuk menyalurkan pembiayaan dengan lebih baik kepada para pengusaha di dalam negeri di tengah pandemi Covid-19.

Untuk Apa Kemenkeu Suntik Dana LPEI?

Sementara itu, Kementerian Keuangan memberikan penjelasan terkait suntikan dana yang diberikan kepada LPEI sebesar Rp 5 triliun tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2020.

Rincian tersebut terlampir Rp 4 triliun untuk meningkatkan kapasitas usaha LPEI, sedangkan Rp 1 triliun untuk melaksanakan penugasan khusus. Suntikan tersebut juga ditujukan untuk memaksimalkan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk bisa bangkit dari Pandemi Covid-19.

Direktur Kekayaan Negara Dipisahkan Kementerian Keuangan, Meirijal Nur menjelaskan bila realisasi PEN itu dilakukan salah satunya melalui skema Special Mission Vehicles atau SMV, dengan cara menempatkan modal ke perusahaan BUMN hingga lembaga.

"Jadi, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Bank Exim Indonesia tercatat sebagai salah satu yang mendapatkan suntikan modal tersebut," ucap Meirijal kepada Law-Justice.

Terkait dengan kerugian dari LPEI yang hampir mencapai Rp 5 triliun, Meirijal juga mengatakan bahwa penyertaan modal di LPEI tersebut dilakukan sesuai dengan pertimbangan tugasnya sebagai penjaminan korporasi.


Gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu.go.id).


"LPEI melaksanakan tugas penjaminan korporasi. Memang kondisinya saat ini secara keuangan LPEI sedang kurang bagus juga, maka dari itu kita memberikan tambahan PMN supaya membuka dia melaksanakan tugas penjaminan," katanya.

Terkait dengan penyidikan yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan Agung pada LPEI, Kementerian Keuangan enggan untuk memberikan komentar lebih lanjut tentang adanya dugaan korupsi di lembaga pembiayaan ekspor tersebut.

Pengamat Ekonomi Senior Didik J Rachbini memberikan kritik keras kepada LPEI, karena belakangan ini lembaga tersebut cenderung merugi. Hal tersebut ditambah dengan aset LPEI yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan Himbara. Didik mengatakan kalau Aset LPEI hanya mencapai Rp 100 triliun. Sedangkan, aset Himbara kata Didik bisa mencapai 40 kali lipat dari aset LPEI untuk itu ia menyarankan kalau pembiayaan ekspor dikelola oleh Bank Himbara.

"Lembaga inikan cenderung mengalami kerugian, jadi lebih baik dikelola oleh Himbara saja ditambah efektifitas ekspor keluar tidak begitu efektif," kata Didik saat dihubungi Law-Justice.

Didik menuturkan bila pemerintah perlu untuk mempertimbangkan untuk membubarkan LPEI. Seperti diketahui, pemerintah menyuntik dana yang cukup besar untuk Lembaga ini.

Hal tersebut harus dibayar mahal karena setelah disuntik dana yang besar lembaga ini kerap merugi ditambah saat ini Kejagung sedang melakukan penyidikan terhadap lembaga tersebut karena adanya dugaan korupsi.

"Bisa juga lembaga ini diintregasikan dengan lembaga lain supaya dapat menekan kerugian," tuturnya.

Terkait dengan penyidikan yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan Agung, Didik menegaskan kalau kasus ini harus terus dikawal oleh berbagai pihak. Hal tersebut juga jadi pembenahan untuk LPEI supaya bisa lebih efektif dalam melakukan kegiatan ekspor sehingga meminimalisir terjadinya kerugian.

"Harus terus dikawal, ditambah sebelumnya lembaga ini kerap kali menjadi sorotan," tegasnya.

Kinerja LPEI Ditangan James Rompas

Seperti diketahui kalau Ketua Dewan Direktur sekaligus Direktur Eksekutif LPEI Daniel James Rompas sudah menjabat di posisi tersebut selama hampir dua tahun sejak ditunjuk oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menteri Keuangan Sri Mulyani mempunyai harapan yang besar kepada LPEI supaya dapat terus menggenjot bagi peningkatan ekspor nasional.

Dengan ditunjuknya Daniel, Sri Mulyani berharap bila LPEI dapat lebih berperan sebagai partner bagi lembaga keuangan lain, berperan sebagai credit enhancer, fasilitator, akselerator, agregator maupun sebagai arranger.


D. James Rompas (paling kanan) bankir senior yang kini memimpin LPEI (Foto: Antara).


"Prinsip tersebut tentu dengan tetap mengedepankan prinsip Good Corporate Governance, manajemen risiko yang baik dan kehati-hatian, efisien dan efektif serta dengan didukung oleh corporate culture yang transparan, akuntabel dan kompetitif," ungkap Sri beberapa waktu lalu.

Harapan tersebut diperkuat dengan rekam jejak Daniel James Rompas sebagai Bankir Senior yang sudah malang melintang di dunia perbankan.

Nama Daniel mulai dikenal ketika ia mulai menjabat sebagai Direktur di Bank Niaga (Sebelum berubah menjadi Bank CIMB Niaga) sejak tahun 1999 hingga pada tahun 2006.

Puncaknya ia terpilih menjadi Wakil Direktur Utama Bank CIMB Niaga pada Tahun 2006 hingga Tahun 2016. Saat itu, Daniel bertandem dengan Bankir Senior Arwin Rasyid.

Seperti diketahui kalau keduanya pernah memakai jasa Advokat dari Firma Hukum OC Kaligis & Associates yakni Yagari Bhastara Guntur atau akrab disapa Gary. Seperti diketahui Garry beberapa waktu lalu telah di OTT oleh KPK karena kasus suap yang terjadi di PTUN Medan.

Law-Justice sudah meminta konfirmasi kepada James Rompas soal strategi usaha dan kasus yang dialami LPEI namun belum mendapatkan konfirmasi dan jawaban.


Kontribusi Laporan: Januardi Husin, Alfin Pulungan, Ghivary Apriman

(Tim Liputan Investigasi\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar