Cacat Formil, Dewan Guru Besar Minta Statuta UI Kembali ke PP Lama

Selasa, 27/07/2021 14:41 WIB
Dewan Guru Besar UI nilai PP baru yang mengubah Statuta UI cacat formil (Foto: Diolah Law-Justice).

Dewan Guru Besar UI nilai PP baru yang mengubah Statuta UI cacat formil (Foto: Diolah Law-Justice).

Jakarta, law-justice.co - Polemik soal rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro yang menjabat sebagai Komisaris BRI terus bergulir hingga saat ini. Apalagi setelah Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengubah ketentuan Statuta UI.

Namun, terakit hal itu, Dewan Guru Besar (DGB) UI meminta Presiden Jokowi untuk tidak memberlakukan Peraturan Pemerintah No. 75 Tahun 2021 yang mengubah ketentuan Statuta UI lantaran ada cacat formil dalam penyusunannya. Diketahui, dalam Statuta UI yang baru diubah, rektor-wakil rektor dibolehkan menjabat sebagai komisaris di perusahaan BUMN, meski tidak boleh merangkap jabatan direksi.

"Dalam rangka menjaga martabat dan wibawa UI, DGB UI memohon kepada Presiden melalui Kementerian terkait untuk tidak memberlakukan PP 75/2021, dan kembali pada Statuta UI berdasarkan PP 68/2013," tulis keterangan yang ditandatangani Ketua DGB UI Harkristuti Harkrisnowo, yang merupakan mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham itu, Senin (26/7/2021).

Pasalnya, lanjut pernyataan tersebut, "DGB UI dalam rapat pleno 23 Juli 2021 telah memutuskan secara bulat bahwa PP 75/2021 memiliki cacat formil".

Keterangan tertulis itu telah dikonfirmasi ke salah satu anggota DGB UI, Sudarsono, yang namanya tertera sebagai salah satu guru besar yang menyetujui pernyataan itu.
Cacat formil itu terkait dengan prosedur penyusunan PP yang tak sesuai perundangan.

"DGB UI memiliki sejumlah dokumen kronologis yang pada intinya telah terjadi penyimpangan prosedur dan tidak dipenuhinya asas keterbukaan dalam penyusunan PP 75/2021 sebagaimana diatur dalam UU 12/2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan."

Diketahui, cacat formil dalam perundangan sendiri biasanya merujuk pada ketidakpatuhan terhadap prosedur penyusunan seperti yang tercantum dalam UU 12 Tahun 2011.

DGB UI pun menuturkan kejanggalan proses penyusunan PP tersebut. Mulanya, tiga perwakilan DGB UI mengikuti rentetan rapat proses penyusunan revisi PP (RPP) Statuta UI, yang terakhir dihelat pada 30 September 2020 di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

Menurut kesaksian DGB UI, proses penyusunan tersebut diikuti oleh tiga organ universitas, yakni Rektor UI, Majelis Wali Amanat (MWA) UI, dan Senat Akademik (SA) UI. Dari pihak pemerintah, ada Kementerian Hukum dan HAM serta Sekretariat Negara. Tiba-tiba, pada 19 Juli 2021, DBG UI mendapat salinan PP soal Statuta UI yang baru.

"DGB UI berkesimpulan bahwa penerbitan [PP] tersebut tanpa mengikuti proses pembahasan RPP, baik di internal UI bersama 3 organ lainnya, yaitu Rektor, MWA, dan SA, maupun rapat-rapat di Kemenristekdikti, di KemKumham dan di Sekretariat Negara, antara bulan Oktober 2020 sampai terbitnya PP Juli 2021," tutur pernyataan itu.

Berdasarkan UU Penyusunan Peraturan Perundangan, pembuatan PP setidaknya mesti melalui tahapan perencanaan daftar judul dan pokok materi untuk jangka waktu setahun. Selain itu, perencanaan penyusunan PP itu ditetapkan lebih dahulu dengan Keputusan Presiden.

Selain memutuskan keberadaan cacat formil PP, rapat pleno DGB UI itu juga mengungkap delapan poin dalam daftar inventarisasi masalah Statuta UI yang baru itu.
Pertama, aturan rektor berhak memberhentikan jabatan lektor kepala dan guru besar, termasuk jabatan fungsional peneliti, Lektor Kepala dan Guru Besar.

Kedua, perubahan larangan rangkap jabatan rektor, dari sebelumnya `pejabat pada BUMN/BUMD` menjadi `Direksi pada BUMN/BUMD`.

Ketiga, penghapusan ketentuan pemilihan Rektor oleh MWA dilakukan oleh panitia yang berasal dari kelompok stakeholder UI dengan persyaratan tertentu, menjadi menyerahkan sepenuhnya pada MWA.

Keempat, penghapusan kewajiban Rektor untuk menyerahkan laporan kerja tahunan. Kelima, penghapusan mandat empat organ dalam menyusun ART. Keenam, penghapusan syarat non-anggota partai politik untuk menjadi anggota MWA.

Ketujuh, penghapusan kewenangan DGB memberikan masukan kepada rektor tentang Rencana Program Jangka Panjang, Rencana Strategis dan Rencana Akademik.

Kedelapan, pengurangan kewajiban UI mengalokasikan dana pada mahasiswa tidak mampu.

Atas dasar masalah-masalah di atas serta cacat formil itu, DGB UI meminta pertemuan baru untuk menyusun Statuta UI.

"Dalam rangka menjamin good university governance, menindaklanjuti surat tertanggal 24 Juli 2021 kepada tiga organ UI, DGB UI meminta segera diadakan pertemuan bersama untuk mempersiapkan penyusunan Statuta UI yang baru," tutur pernyataan itu.

"Termasuk yang akan dibahas dalam Statuta UI yang baru adalah kemungkinan pengalihan kewenangan antar organ, yang tentu harus dibicarakan secara bersama di antara empat organ UI," tandas DGB UI.

Sebelumnya, perubahan Statuta UI ramai diperbincangkan publik karena polemik rangkap jabatan Rektor UI Ari Kuncoro yang sebelumnya menjabat Wakil Komisaris Utama BRI.

Tak lama setelah konflik ramai diperbincangkan, Presiden Jokowi menerbitkan PP No. 75 Tahun 2021, dimana dalam aturan tersebut rektor UI diizinkan menjabat komisaris di BUMN atau perusahaan swasta.

Keputusan itu banyak menuai kritik. Meskipun, Kemendikbudristek menegaskan aturan pada Statuta UI yang baru tidak berlaku surut bagi rektor yang menjabat. Ari kemudian mundur dari jabatannya di BRI.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar