Dedi Ahmad, Advokat & Majelis Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)

Menelisik Pemilihan Anggota BPK dengan Kajian dan Yurisprudensi Hukum

Kamis, 22/07/2021 09:14 WIB
Kantor Pusat BPK di Jakarta (Ist)

Kantor Pusat BPK di Jakarta (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Pada September tahun 2021 ini, Komisi XI DPR RI kembali akan melaksanakan pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Proses seleksi sedang berlangsung saat ini, termasuk memberikan kesempatan kepada publik luas untuk memberi informasi dan masukan terhadap rekam jejak nama-nama calon.

BPK sebagai lembaga tinggi negara dalam melaksanakan tugas dan kewenangan dengan dilandasi tiga prinsip: independensi, integritas, profesionalisme. Di antara tiga prinsip itu, independensi BPK kerap mendapat sorotan tajam , terutama karena proses rekrutmen pejabat BPK yang dipilih oleh lembaga DPR. Sebagai lembaga politik, tentu saja proses pemilihan pejabat BPK bernuansa politis, yang pasti ada usaha lobi-lobi dan tekanan dari jaringan kekuasaan.

Akibatnya banyak calon anggota BPK dari internal BPK yang kompeten dan kapabel tapi gagal terpilih hanya karena tidak punya akses dan jaringan politik di DPR RI. Sebab itu tidak usah heran dalam beberapa periode terakhir, kursi anggota BPK banyak diduduki oleh para mantan politisi partai. Dalam periode kali ini saja, lima dari sembilan pimpinan BPK adalah mantan politisi Senayan.

Tapi secara hukum dan aturan UU BPK, tidak ada yang dilanggar oleh mantan politisi Senayan tersebut. Mereka berhak untuk mencalonkan diri menjadi anggota BPK RI. Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana kalau yang melanggar aturan pencalonan anggota BPK itu adalah internal pejabat karier di birokrasi pemerintahan.

Pelanggaran Aturan

Berdasarkan keputusan rapat internal Komisi XI DPR pada 24 Juni 2021 telah diputuskan dan ditetapkan sebanyak 16 nama Calon Anggota BPK RI yang akan mengikuti pelaksanaan fit and proper test. Dari 16 nama calon, Anggota Komisi XI DPR tidak teliti terhadap rekam jejak administratif terhadap dua nama calon.

Seharusnya sebelum menetapkan nama calon anggota BPK, seharusnya Komisi XI memperhatikan curriculum vitae (CV) calon. Sehingga dapat diklasifikasi calon mana yang telah memenuhi persyaratan formil dan yang tidak memenuhi.

Adapun persyaratan formil calon anggota BPK yang sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Pasal 13 huruf j. Untuk dapat dipilih sebagai anggota BPK, calon harus memenuhi 11 syarat. Tentu, apabila calon yang mendaftar tidak memenuhi salah satu syarat saja seharusnya Komisi XI dapat dan harus menolak pencalonannya.

Berdasarkan informasi dari Koalisi #SaveBPK terdapat dua nama yang tidak memenuhi salah satu syarat, yaitu pada syarat ke-10 yang berbunyi: "paling singkat telah 2 (dua) tahun meninggalkan jabatan sebagai pejabat di lingkungan pengelola keuangan negara."

Kedua nama tersebut adalah Nyoman Adhi Suryadnyana dan Harry Z. Soeratin. Diketahui, berdasarkan CV Nyoman Adhi Suryadnyana pada periode 3-10-2017 sampai 20-12-2019 yang bersangkutan adalah Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Manado (Kepala Satker Eselon III), yang jelas dan terbukti adalah pengelola keuangan negara (KPA). Jadi jika dihitung mundur sejak 20-12-2019 sampai dengan Juli 2021, ia belum dua tahun meninggalkan jabatannya sebagai pejabat KPA.

Nama calon lainnya,  Harry Z. Soeratin pada Juli 2020 lalu dilantik oleh Menteri Keuangan sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK), yang pasti merupakan jabatan KPA.

Sebagaimana ketentuan Pasal 13 huruf j UU Nomor 15 Tahun 2006 seharusnya Komisi XI tidak mengikutkan kedua nama tersebut dalam proses fit and proper test. Sebab, kedua calon telah gugur demi hukum karena tidak memenuhi salah satu syarat dari 11 syarat yang ditetapkan undang-undang. Apabila tetap memaksakan, sudah barang tentu Komisi XI terindikasi melanggar UU dan putusan itu bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Adanya Yurisprudensi Hukum

Kasus seperti di atas sama seperti kejadian pada pemilihan anggota BPK tahun 2009. Diketahui saat itu Komisi XI telah memilih dua anggota BPK yaitu Dharma Bhakti dan Gunawan Sidauruk. Namun keterpilihan dua calon tersebut dibatalkan oleh Sidang Paripurna DPR setelah mendapatkan pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung.

Melalui surat Nomor 118/KMA/IX/2009 Mahkamah Agung memberi pertimbangan agar perlu dikaji apakah kedua calon yang berasal dari pejabat di lingkungan BPK sendiri berpotensi terjadinya conflict of interest sebagaimana jiwa dari Pasal 13 huruf j tersebut.

Dalam Pendapat Hukum Mahkamah Agung Nomor 118/KMA/IX/2009 Tanggal 24 September 2009 Tentang  Pasal 13 huruf j UU Nomor 15 Tahun 2006, ditinjau secara legalistic-formal, maka Calon Anggota BPK yang menjabat dilingkungan Pengelola  Keuangan Negara termasuk kedua calon yang dipermasalahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI  tanggal 14 September 2009, harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 13 huruf J,  Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tersebut. 

Ditinjau dari segi ratio-legis dan filosofis yaitu setiap ketentuan UU mempunyai tujuan. Pasal 13 huruf  j UU No.15 Tahun 2006 menentukan bahwa calon Anggota BPK telah meninggalkan jabatan di  lingkungan Pengelola Keuangan Negara selama 2 tahun. Hal dimaksudkan sebagai ratio-legis dan  filosofis agar tidak terjadi conflict of interest pada saat ia terpilih sebagai Anggota BPK yang  mempunyai potensi untuk melaksanakan wewenangnya atas hasil pekerjaannya di bidang  pengelolaan keuangan sewaktu ia menjabat

Mahkamah Agung memberi pertimbangan hukum bahwa tidak mungkin anggota BPK akan melakukan  tugas wewenangnya terhadap lembaga BPK sendiri, sehingga calon anggota BPK yang berasal dari  lingkungan BPK tidak akan ada conflict of interest apabila kelak terpilih sebagai anggota BPK.

Mahkamah Agung menyatakan bahwa DPR yang menentukan pilihan yang akan dipakai dasar  menentukan calon terpilih sesuai wewenangnya. Namun Mahkamah menyerahkan kepada DPR yang menentukan pilihan yang akan dipakai sebagai dasar menentukan calon terpilih sesuai wewenangnya. Pada akhirnya, DPR memutuskan kedua calon terpilih dibatalkan karena tidak memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 13 huruf J UU Nomor 15 Tahun 2006.

Atas pertimbangan yurisprudensi hukum tersebut, sudah seharusnya anggota Komisi XI DPR RI membatalkan pencalonan kedua nama yang belum memenuhi syarat aturan UU BPK itu. Sebab bisa menjadi masalah dan preseden tidak baik seperti yang terjadi pada pemilihan anggota BPK pada tahun 2009 lalu.

Kalau sampai Komisi XI DPR RI tetap ngotot untuk memasukkan kedua nama calon tersebut padahal jelas bermasalah secara aturan UU, maka publik pasti akan bertanya-tanya ada apa Komisi XI tetap ngotot dan mau pasang badan untuk dua calon tersebut. Semoga anggota Komisi XI DPR RI bisa mendengar dan memenuhi harapan publik agar anggota BPK yang terpilih adalah figur yang bersih, kompeten, kapabel, berintegritas dan proses terpilihnya tidak cacat hukum.

Kritik serupa juga diajukan kepada dua calon tersebut, Nyoman Adhi dan Harry Soeratin, sebagai pejabat publik seharusnya keduanya menjaga integritasnya dan mematuhi aturan hukum UU BPK. Sebab keduanya sudah tahu belum ada dua tahun menjadi pejabat KPA tetapi dengan sengaja memaksakan diri untuk menjadi calon anggota BPK. Ironis, baru menjadi calon anggota BPK saja sudah berani melanggar UU, lantas bagaimana lagi kalau nanti terpilih?!.

(Farid Fathur\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar