Usul Tembak Mati `Kartel Kremasi`, Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Dikecam

Rabu, 21/07/2021 11:33 WIB
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi (breakingnews)

Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi (breakingnews)

Jakarta, law-justice.co - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi untuk mencabut usulannya yang meminta Kapolda Metro Jaya menembak mati para kartel kremasi jenazah Covid-19.

"Prasetio Edi Marsudi selaku Ketua DPRD DKI Jakarta harus mencabut pernyataannya yang meminta Kapolda untuk menembak mati pelaku kartel kremasi karena membahayakan HAM," kata Kepala Advokasi dan pengacara LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora dalam keterangan tertulis, Rabu (21/7).

Diberitakan sejumlah media, Prasetio sebelumnya mengaku telah meminta Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran agar menindak tegas orang-orang yang terkait dengan kartel kremasi jenazah di masa pandemi.

Menurut Pras pelaku kartel kremasi lebih jahat dari pelaku narkoba bahkan koruptor, karena menaikkan tarif kremasi di masa pandemi. Kalau perlu, kata Pras, polisi menembak mati pelaku kartel kremasi.

Sebaliknya, LBH Jakarta mendorong agar Edy menggunakan kewenangannya sebagai Ketua DPRD untuk mengawasi kinerja Gubernur dan jajarannya terkait proses kremasi jenazah.

Misalnya, DPRD DKI dapat mendesak agar pemerintah daerah (Pemda) membuat krematorium darurat untuk proses pemakaman warga sehingga tak tergantung pada swasta.

Nelson menilai pernyataan Edi tersebut mencerminkan ketidaktahuan Ketua DPRD tentang prinsip-prinsip penegakan hukum dan hak asasi manusia. Menurutnya, Edi sama dengan mendukung tindakan berlebihan (eksesif) dari kepolisian.

"Yang selama ini sering terjadi berupa penembakan, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing) dan penganiayaan terhadap tersangka tindak pidana," ucap Nelson.

Pernyataan Edy soal kartel kremasi jenazah Covid, lanjut Nelson, tak sejalan dengan prinsip-prinsip HAM yang menjamin hak atas hidup seseorang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Nelson merujuk pada ketentuan yang termaktub dalam Pasal 28A Undang-undang Dasar RI 1945 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, dan International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Selain itu, kata dia, aparat kepolisian tak dapat menggunakan senjata api secara sembarangan. Prosedurnya, diatur dalam Pasal 47 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Nelson menjelaskan bahwa penggunaan senjata api hanya dapat digunakan untuk melindungi nyawa manusia dan pada saat-saat tertentu. Misalnya, menghadapi keadaan luar biasa, membela diri dari ancaman kematian atau luka berat, membela orang lain, mencegah kejahatan berat yang mengancam jiwa orang, dan lainnya.

"Menembak mati pelaku kartel bukanlah solusi yang tepat bagi penegakan hukum di masa pandemi," ujarnya.

"Yang harus dilakukan oleh Kepolisian adalah mencari pelaku kartel (kremasi jenazah Covid) dan melakukan pendekatan persuasif agar tidak memanfaatkan situasi, karena belum ada pasal yang dapat menjerat pelaku kartel," tambah dia.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar