Proses Banding, Terpidana Kasus Penipuan ini Meninggal Akibat Covid

Selasa, 20/07/2021 20:35 WIB
Terpidana Kasus Penipuan tanah Arifin Widjaja akhirnya meninggal sebelum ajukan banding (Tribun)

Terpidana Kasus Penipuan tanah Arifin Widjaja akhirnya meninggal sebelum ajukan banding (Tribun)

Jakarta, law-justice.co - Terpidana kasus dugaan penipuan jual beli tanah senilai Rp 11 miliar, Arifin Widjaja alias Pepen, dinyatakan meninggal dunia pada Jumat (16/7). Ia meninggal akibat COVID-19 setelah sempat menjalani perawatan kesehatan di RS Pusat Pertamina, Jakarta Selatan.


Kuasa hukum Arifin Widjaja, Tutur H. Onggowijaya mengatakan, Arifin telah menjalani perawatan di rumah sakit sejak tanggal 7 Juli 2021. Ia dirujuk ke rumah sakit setelah sebelumnya sempat mengeluh demam.


Saat diperiksa oleh pihak Rutan Kelas I Kabupaten Tangerang tempat ia menjalani hukuman, Arifin dinyatakan terpapar COVID-19.


Onggo menyesalkan sikap dan keputusan dari pihak rutan terhadap kliennya. Padahal menurut Onggo, dia dan tim kuasa hukum telah mengajukan proses penangguhan, merujuk pada usia Arifin yang terbilang uzur. "Kami sangat menyesalkan Pak Arifin yang telah berusia lanjut ditahan dan akhirnya meninggal karena terpapar COVID-19 di dalam rutan. Segala upaya meminta penangguhan maupun pengalihan tahanan dengan mempertimbangkan sisi kemanusiaan telah kami lakukan dan tidak dikabulkan padahal yang bersangkutan memiliki banyak riwayat penyakit lainnya," ujar Onggo dalam keterangan tertulisnya, Selasa (20/7/2021).

Tak hanya sekali pihaknya mengajukan penangguhan penahanan. Selain faktor usia, tingginya potensi penularan COVID-19 di rutan jadi alasan timnya mengajukan penangguhan. "Kami pernah meminta kepada pengadilan dan kejaksaan agar Pak Arifin dialihkan penahanannya menjadi tahanan kota atau tahanan rumah. Karena selain ia berusia lanjut 70 tahun, kami juga mengkhawatirkan Pak Arifin terpapar COVID-19 dan ternyata hal itu menjadi kenyataan," ucap Onggo.


Agar peristiwa kliennya ini tak lagi terulang kepada warga binaan lainnya, Onggo meminta agar benar-benar memperhatikan sisi kemanusiaan. Penerapan restorative justice dengan sungguh-sungguh, dinilai Onggo jelas sangat masuk akal untuk dilakukan bila melihat keadaan Indonesia saat ini yang tengah berada dalam situasi darurat pandemi.


Dengan meninggalnya Arifin, kini perkara yang tengah berada di tingkat banding seluruhnya akan dihapus. "Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak dan para penegak hukum yang menangani perkara ini karena pada akhirnya semua akan kita pertanggung jawabkan di hadapan Tuhan nantinya," ungkap Onggo.


"Dan karena Arifin Widjaja meninggal dunia saat perkaranya masih dalam proses banding di Pengadilan Tinggi Banten, maka menurut undang-undang kewenangan menuntut pidana menjadi hapus. Pihak keluarga juga telah ikhlas dan memaafkan semua pihak terkait dalam perkara ini," lanjut dia.


Kasus yang Menjerat Arifin Widjaja


Kasus yang membelit Arifin Widjaja berawal dari transaksi tanah sekitar 53 hektar di daerah Kohod, Kabupaten Tangerang, pada Februari 2017. Pembeli tanah yang diketahui bernama Hengki Lohanda membeli tanah tersebut dari Arifin dengan membayar DP 30% atau sekitar Rp 11,9 Miliar.

Onggo mengatakan, kliennya hanya dua kali bertemu dengan Hengki. Pertama kali di restoran kawasan Jakarta Barat untuk menyepakati harga transaksi tanah, dan kedua kalinya saat penandatanganan PPJB di kantor notaris.


Sebelum transaksi, Hengki melalui mediator bernama Syam mensyaratkan bahwa untuk pembayaran 30% dari harga transaksi harus ada Nomor NIB dari ke-22 bidang tanah tersebut. Dan permasalahan timbul karena ternyata nomor yang tercantum dalam akta PPJB bukan nomor NIB tetapi adalah nomor urut hasil pencatatan peta bidang tanah yang diurus oleh Syam.


Melalui fakta persidangan terungkap bahwa notaris pernah menawarkan agar untuk NIB diurus oleh notaris, namun Hengki menolak dan lebih memilih pengurusan NIB dilakukan oleh Syam.


Kliennya pun, menurut Onggo, sama sekali tidak tahu menahu soal NIB. Ia juga mempercayakan kepada Syam sebagai mediator untuk mengurusnya bahkan telah mengeluarkan uang sebesar Rp 250 juta untuk keperluan biaya pengukuran ulang tanah.

Berdasarkan permasalahan NIB inilah Arifin dituduh melakukan penipuan dan memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik. "Di persidangan semua saksi mengatakan Pak Arifin tidak pernah menyuruh siapa pun memasukkan kata NIB apalagi nomor NIB yang tidak benar, oleh karenanya Pak Arifin dinyatakan oleh pengadilan tidak terbukti memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik," beber Onggo.


"Perkara ini pertama kali dilaporkan Hengki Lohanda ke Polda Metro Jaya 5 April 2017 dan penyidikan telah dihentikan (SP3) berdasarkan putusan Praperadilan 2018, anehnya Pak Arifin dilaporkan lagi di tahun yang sama dengan objek dan bukti yang sama, sehingga beliau terjerat kasus hukum ini dan meninggal dunia," sambungnya.


Ia sangat menyesalkan kematian kliennya saat menjalani hukuman. Ia mengatakan, seharusnya dalam perkara Arifin dapat diterapkan restorative justice, karena Arifin telah mengembalikan Rp 11,9 miliar sebelum berkasnya dinyatakan lengkap oleh kejaksaan.

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar