Kerap Ada di Kasus Koruptor, Apa Dasar Hukum Justice Collaborator?

Sabtu, 17/07/2021 18:38 WIB
Ilustrasi Palu Hakim (Net)

Ilustrasi Palu Hakim (Net)

Jakarta, law-justice.co - Sering terucap dipersidangan seperti kasus E-KTP, Setya Novanto, Djoko Tjandra dan Kasus-kasus besar lainnya soal Justice Collaborator. Sebenarnya apa itu Justice Collator (JC)?

Terlepas dari kasus di atas, menarik kiranya kita memahami kembali apa sebenarnya yang dimaksud Justice Collaborator? 

Justice Collaborator adalah kesediaan yang merupakan inisiatif dari salah satu pelaku tindak pidana tertentu (yang bukan pelaku utama) untuk mengakui kejahatan dan membantu pengungkapan suatu tindak pidana tertentu dengan cara memberikan keterangan sebagai saksi.

Tindak pidana tertentu dan bersifat serius sebagaimana dimaksud seperti Tindak Pidana Korupsi, Terorisme, Narkotika, Pencucian Uang, Perdagangan Orang dan Tindak Pidana lain yang terorganisir serta dapat menimbulkan ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat.


Justice Collaborator merupakan instrumen penting untuk meringkus pelaku kelas kakap melalui kerjasama penegak hukum dengan pelaku kelas teri.


Pada dasarnya, terdapat tiga bentuk aturan yang mengatur tentang Justice Collaborator yakni:

  • SEMA No.4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu
  • Peraturan Bersama antara KPK, LPSK, Kepolisian, Kejaksaan, Menkumham
  • UU No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.


Di Indonesia syarat untuk menjadi Justice Collaboratorluar biasa sulit karena ada banyak hal yang harus dipenuhi. Sekalipun berat, kata Semendawai, tapi sebagian permohonan menjadi Justice Collaborator ada yang dikabulkan. Salah satu syarat yang sulit dipenuhi pelaku untuk mendapatkan status Justice Collaboratoradalahbila si pelaku bukan merupakan pelaku utama.

KPK yang menangani kasus dari tingkat penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. Menurutnya, dalam proses yang panjang tersebut bisa saja KPK melihat bahwa ada orang yang memenuhi syarat untuk menjadi Justice Collaborator, tetapi ketika di tingkat pengadilan kualitas perbuatan pelaku tersebut dinilai tidak bisa dijadikan Justice Collaborator.


Di Negara asal lahirnya Justice Collaborator, yakni Amerika Serikat tidak terjadi hal yang demikian. Sejak awal sudah ada plea bargain (kesepakatan) antara penuntut, tersangka yang akan menjadi Justice Collaborator dan hakim terkait dengan hukuman yang akan pelaku peroleh sebagai Justice Collaborator sehingga ada konsistensi dan kepastian hukum dalam hal ini.

Semua pihak pastinya berharap kerjasama penegak hukum dengan pelaku kelas teri dapat mengakibatkan tertangkapnya pelaku utama, sehingga organisasi kejahatan dapat berhenti beroperasi. Hal ini juga sesuai dengan tujuan Justice Collaborator itu sendiri, yakni untuk menangkap pelaku kelas kakap dengan bekerjasama dengan pelaku kelas teri.

Idealnya dalam suatu tindak pidana antara tersangka atau terdakwa dengan saksi atau alat bukti itu seharusnya berbeda. Namun yang jadi masalah adalah bila dalam suatu peristiwa sulit untuk mendapatkan saksi, bahkan tidak ada saksi maka pelaku kejahatan tidak bisa diseret ke pengadilan atau tidak bisa diproses.

Dalam praktik berhukum di Indonesia, yang selama ini dilakukan adalah menjadikan tersangka atau terdakwa lain sebagai saksi dalam status sebagai saksi mahkota. Namun, konsep saksi mahkota ini seringkali melanggar HAM karena seringkali mereka memberikan kesaksian karena terpaksa. Sedangkan Justice Collaborator harus atas kemauannya sendiri.

Kemudian, jika pelaku ingin memberikan kesaksian secara sukarela maka harus ada take and give atau benefit atas proses tersebut. Di antara benefit yang bisa diperoleh yakni mendapatkan hukuman yang lebih ringan dibanding pelaku lain yang tidak termasuk sebagai Justice Collaborator


Namun dalam kondisi Justice Collaborator berbohong,  si pelaku dianggap telah melakukan tindak pidana berupa memberikan keterangan palsu. Di samping itu, berbagai bentuk hak yang diterima pelaku sebagai Justice Collaborator harus dicabut.


Pengertian dan Dasar Hukum


Justice Collaborator atau pelapor tersangka adalah saksi yang juga sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Saksi seperti ini juga biasa disebut “saksi mahkota”, “saksi kolaborator”, dan “kolaborator hukum.”

Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur hubungan antara kesaksian justice collaborator dan hukuman yang diberikan. Pasal ini berbunyi

“Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat meringankan pidana yang akan dijatuhkan terhadapnya.”


Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tidak memberikan panduan untuk menentukan kapan seseorang dapat disebut sebagai pelaku yang bekerjasama; pihak yang menentukan bahwa seorang pelaku telah bekerjasama; ukuran kerja sama seseorang yang mengaku sebagai pelaku bekerjasama atau ukuran penghargaan yang akan diberikan.

Pada 2011 Mahkamah Agung mengeluarkan Sema (Surat Edaran Mahkamah Agung) tentang justice collaborator dan whistleblower yang diharapkan menjadi pegangan hakim dalam memutus perkara.

Sema No.4 Tahun 2011:

Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) adalah sebagai berikut:

a. Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan;

b. Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku- pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil suatu tindak pidana;

c. Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal hal penjatuhan pidana sebagai berikut:

i. menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau

ii. menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud. Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

d. Ketua Pengadilan di dalam mendistribusikan perkara memperhatikan hal-hal sebagai berikut: i. Memberikan perkara-perkara terkait yang diungkap Saksi Pelaku yang Bekerjasama kepada majelis yang sama sejauh memungkinkan; dan ii. Mendahulukan perkara-perkara lain yang diungkap oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Lalu, dalam Sema No.4/2011 tersebut justice collaborator disebutkan sebagai salah satu pelaku tindak pidana tertentu –bukan pelaku utama kejahatan- yang mengakui kejahatan yang dilakukannya, serta memberikan keterangannya sebagai saksi dalam proses peradilan. Ada pun whistle blower merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.

Tindak pidana tertentu yang dimaksud SEMA adalah tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir. Sehingga, tindak pidana tersebut telah menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat.

Salah satu acuan SEMA adalah Pasal 37 Ayat (2) dan Ayat (3) Konvensi PBB Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003. Ayat (2) pasal tersebut berbunyi, “Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan, memberikan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang diterapkan dalam konvensi ini.”

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah memberikan status justice collaborator terhadap sejumlah tersangka kasus korupsi. Mereka antara lain Agus Tjondro Prayitno (kasus suap pemilihan Deputi Senior Bank Indonesia) dan Mindo Rosalina Manulang dalam kasus suap pembangunan Wisma Atlet, proyek Hambalang, dan proyek pembangunan laboratorium pada Kementerian Pendidikan.

Walau Undang-Undang menyatakan keterangan justice colaborator menjadi pertimbangan hakim meringankan hukuman, dalam praktek di Indonesia tidak selalu demikian. Ini misalnya terjadi dalam kasus korupsi E-KTP dengan tersangka Andi Narogong yang juga berstatus sebagai justice collaborator. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tetap memvonis Andi delapan tahun, sesuai besarnya hukuman yang dituntut jaksa.

 

(Dilansir dari berbagai sumber)

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar