Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Pesta Diskon Hukuman Bagi Koruptor di Mahkamah Agung

Selasa, 13/07/2021 06:07 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Akhir akhir ini publik masih hangat membicarakan soal diskon hukuman bagi Jaksa Pinangki dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Pemotongan hukuman bagi seorang Jaksa yang terbukti melakukan tindakpidana ini dinilai aneh sehingga mencederai rasa keadilan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Sebagaimana diketahui, kasus ini terjadi ketika Pinangki berperan menjadi makelar kasus agar terpidana korupsi Djoko Tjandra bisa lolos dari hukuman penjara. Sebagai makelar kasus, Pinangki mengajukan fatwa ke Mahkamah Agung (MA).

Dalam dakwaannya, sejumlah nama juru kunci hukum di negeri ini turut terseret oleh Pinangki untuk memuluskan Fatwa MA mulai dari Jaksa Agung hingga Ketua MA.

Padahal, seperti  diketahui, saat itu status Djoko Tjandra masih buron di mancanegara. Usaha  Pinangki ini akhirnya terbongkar dan dia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.

Yang menjadi pertanyaan publik adalah mengapa Jaksa tidak melakukan banding atas pemotongan hukuman Pinangki pada hal yang bersangkutan pantas untuk dihukum berat karena perbuatannya.

Dalam kaitan tersebut, Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menduga ada upaya menutupi peran "king maker" dalam perkara yang bertalian dengan terpidana Djoko Tjandra.

Sosok "king maker" disebut-sebut membantu Pinangki dan seorang saksi bernama Rahmat menemui Djoko Tjandra untuk membahas pengurusan fatwa di MA.

Diskon hukuman untuk Jaksa Pinangki sebenarnya hanya salah satu peristiwa pemotongan hukuman yang akhir akhir ini memang sedang di obral oleh mereka yang punya kuasa memutuskan suatu perkara.

Selain pemotongan hukuman untuk Pinangki, kiranya publik juga harus tahu sedang terjadinya  obral diskon hukuman untuk para koruptor yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).

Seperti apa dan dinikmati oleh siapa saja obral diskon pengurangan hukuman yang dipersembahkan oleh MA ?, Lalu sebaiknya harus bagaimana ?. Selain parade diskon hukuman, kejutan kejutan apa yang ‘dipamerkan” oleh MA  sebagai pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia ?.

Para Penikmat Diskon

Memang bukan hanya Jaksa Pinangki saja yang sedang menikmati diskon hukuman atas vonis penjara yang dijatuhkan kepadanya. Ada puluhan koruptor yang saat ini sedang menikmati pesta diskon yang diberikan oleh MA.

Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2020, setidaknya ada 14 terpidana korupsi yang dikurangi masa hukumannya pada tingkat peninjauan kembali (PK).

Dalam hal ini seorang nara pidana memang diberikan kesempatan untuk mengajukan PK dengan syarat syarat tertentu sebagaimana diatur pada  Pasal 263 ayat (2) KUHAPidana.  

Dalam aturan tersebut disebutkan tiga syarat untuk dapat menempuh PK, yaitu 1) terdapat keadaan baru; 2) pertentangan antar putusan; dan 3) kekhilafan hakim yang mengadilinya. Peluang inilah rupanya yang di manfaatkan beramai ramai oleh para koruptor untuk mengurangi masa hukumannya.

Upaya mereka ternyata memang tidak sia sia karena banyak koruptor yang berhasil memenuhi keinginannya agar bisa cepat keluar dari penjara. Berikut ini daftar nama-nama narapidana yang permohonan PK-nya dikabulkan oleh Mahkamah Agung berdasarkan catatan ICW:

  1. Mantan Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud, terpidana kasus suap proyek infrastruktur, dari semula dihukum 6 tahun menjadi 4 tahun 6 bulan.
  2. Mantan Panitera PN Jakarta Utara Rohadi, terpidana kasus suap terkait penanganan perkara Saiful Jamil, dari semula dihukum 7 tahun menjadi 5 tahun.
  3. Mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyuni Maria, terpidana kasus revitalisasi pasar, dari semula dihukum 4 tahun 6 bulan menjadi 2 tahun.
  4. Mantan Wali Kota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi, terpidana kasus suap izin amdal, dari semula dihukum 6 tahun menjadi 4 tahun.
  5. Mantan anggota DPR Musa Zainudin, terpidana kasus suap proyek infrastruktur, dari semula dihukum 9 tahun menjadi 6 tahun.
  6. Mantan Direktur di Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman, terpidana kasus korupsi e-KTP, dari semula dihukum 15 tahun menjadi 12 tahun.
  7. Mantan pejabat Kemendagri Sugiharto, terpidana kasus korupsi e-KTP, dari semula dihukum 15 tahun menjadi 12 tahun.
  8. Mantan anggota DPR Anas Urbaningrum, terpidana kasus korupsi proyek Hambalang, semula dihukum 14 tahun menjadi 8 tahun.
  9. Mantan pejabat Direktorat Tanaman Pangan Kementan Hidayat Abdul Rahman, terpidana kasus pengadaan bantuan langsung benih unggul, dari semula dihukum 9 tahun menjadi 5 tahun.
  10. Mantan Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra, terpidana kasus suap pembangunan jalan, dari semula dihukum 5 tahun 6 bulan menjadi 4 tahun.
  11. Mantan Wali Kota Kendari Asrun, terpidana kasus suap pembangunan jalan, dari semula dihukum 5 tahun 6 bulan menjadi 4 tahun.
  12. Mantan Direktur PT Hakayo Kridanusa Sudarto, terpidana kasus korupsi alat KB di BKKBN, dari semula dihukum 10 tahun menjadi 5 tahun.
  13. Mantan Kepala Cabang Bank Syariah BUMN Cimahi Novi Harianti, terpidana kasus korupsi kredit usaha rakyat, dari semula dihukum 3 tahun menjadi 1 tahun.
  14. Mantan pegawai Bank Sumut Jefri Sitindaon, terpidana kasus pengadaan kendaraan dinas, dari semua dihukum 7 tahun menjadi 3 tahun.

Sementara itu  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sepanjang tahun 2019-2020 sudah ada 20 perkara yang ditangani KPK di mana hukuman terhadap para pelakunya dikurangi oleh MA.

Teranyar adalah mantan Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Musa Zainuddin, yang vonisnya menjadi 6 tahun penjara dari sebelumnya 9 tahun penjara.

Mereka yang mendapatkan pengurangan hukuman terdapat nama-nama besar diantaranya Pengacara OC Kaligis yang hukumannya dikurangi dari 10 tahun menjadi 7 tahun, mantan Ketua DPD Irman Gusman yang masa hukumannya menjadi 3 tahun dari sebelumnya 4 tahun 6 bulan penjara.Kemudian Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar yang memperoleh korting hukuman dari 8 tahun menjadi 7 tahun  penjara.

Kabarnya praktek pengurangan hukuman ini terjadi setelah  Hakim Agung Artidjo Alkostar resmi purnatugas dari MA. Kesempatan inilah rupanya yang langsung dimanfaatkan oleh  para terpidana korupsi untuk mengajukan PK agar dikurangi masa  hukumannya.

Perlu diketahui, Hakim Agung Artidjo pada 2018 yang lalu resmi mengakhiri masa pengabdiannya. Pada hal hakim agung Artidjo selama ini dikenal sebagai hakim yang sangat keras kepada koruptor sehingga sering membuat para koruptor mati kutu dibuatnya. Hakim yang memutus perkara tanpa kompromi sehingga membuat para koruptor tidak bisa bermain mata dengannya.

KPK menilai pengurangan hukuman alias sunat vonis bagi para pelaku korupsi di tingkat peninjauan kembali (PK) oleh Mahkamah Agung (MA) ini menimbulkan kesan buruk terhadap lembaga peradilan di Indonesia.

 "Sebagai garda terdepan bagi para pencari keadilan, KPK pastikan fenomena ini juga akan memberikan image buruk di hadapan masyarakat yang makin kritis terhadap putusan peradilan, yang pada gilirannya tingkat kepercayaan publik atas lembaga peradilan pun semakin tergerus," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri, Senin (21/9) seperti dikutip cnn.indonesia.

Pengurangan hukuman para koruptor bisa merupakan sinyal semakin suramnya upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.Tren ini bisa membuat kerja aparat penegak hukum yang telah bersusah payah membongkar praktik korupsi menjadi sia-sia. Selain itu bisa menimbulkan tiadanya efek jera bagi pelaku korupsi sehingga mereka bisa mengulangi lagi perbuatannya. Pada giliranya pengurangan masa hukuman terpidana korupsi pada tingkatan PK oleh MA bisa memperparah korupsi di Indonesia.

Tentu saja obral diskon hukuman untuk para koruptor ini tidak boleh dibiarkan merajalela. Karena kalau dibiarkan dikhawatirkan bisa dijadikan sarana aji mumpung bagi koruptor dan pengadilnya untuk melakukan kongkalingkong berdasarkan prinsip simbiosis mutualisma.

Berkaitan dengan adanya pesta diskon yang dilakukan oleh MA ini ICW pun menuntut tiga hal yaitu  Pertama, Ketua Mahkamah Agung perlu mengevaluasi hakim-hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan kepada pelaku korupsi.

Kedua, KPK diminta mengawasi persidangan PK di masa mendatang. Ketiga, Komisi Yudisial diminta untuk turut aktif terlibat dalam konteks pengawasan serta potensi pelanggaran kode etik hakim yang menyidangkan PK.

Pesan yang serupa juga datang dari KPK. Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango meminta MA konsisten dalam memutus kasus korupsi, apalagi hampir setiap perkara korupsi berlanjut ke upaya hukum banding, kasasi, hingga peninjauan kembali (PK).

Sementara itu menanggapi  diskon hukuman oleh hakim MA, Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Abdullah  sebagaimana dikutip media mengatakan, hakim MA dalam memutus perkara PK yang diajukan koruptor memiliki independensi yang tidak bisa dipengaruhi siapapun juga.

"Memutus perkara merupakan kewenangan hakim, sesuai dengan rasa keadilan majelis hakim yang bersangkutan. Hakim atau majelis hakim memiliki independensi yang tidak bisa dipengaruhi siapapun," ucapnya.

Selama ini kita memang mengenal posisi hakim apalagi hakim MA adalah sebuah jabatan yang sangat mulia. Sehingga untuk menjadi seorang hakim MA banyak sekali persyaratan dan prosedurnya. Termasuk  begitu banyaknya rambu-rambu yang harus dipedomani hakim dalam menjalankan profesinya

Tapi harus diakui meskipun banyak rambu rambunya  ternyata tidak serta merta menempatkan hakim dalam harkat dan martabatnya. Berbagai penyimpangan perilaku hakim yang menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan pada diri hakim, telah menyebabkan putusan hakim sebagai hasil “itijhad” dengan segenap kemampuannya seringkali  tidak sesuai dengan rasa keadilan yang dirasakan oleh masyarakat yang menilainya.

Diyakini putusan hakim yang tidak menggembirakan hati publik itu karena seorang hakim diberikan kewenangan yang maha luas yaitu sistem  pemidanaan yang diserahkan putusannya ke hati nurani hakim selain faktor bukti dan saksi yang tersedia.

Diantara tiga faktor tersebut, faktor hati nurani dianggap paling menentukan keputusan seorang hakim yang mengadili suatu perkara. Karena hakim selama ini dinilai sebagai wakil Tuhan di dunia sebagai penegak keadilan sehingga seorang hakim dianggap sebagai manusia “suci” yang di percaya suara hati nuraninya untuk memtus suatu perkara.

Sayangnya suara hati nurani itu disinyalir saat ini  sudah tercemar karena suara hati nurani telah disalahkangunakan sedemikian rupa sehingga banyak hakim yang memutuskan perkaranya tidak didasarkan pada suara hati nuraninya tetapi berdasarkan kekuatan uang, wani piro sebagai penentu utamanya.

Memang tidak semua hakim mempunyai sikap yang demikian tetapi rara rata perilaku itu sudah begitu terasa sehingga memunculkan mafia peradilan yang tercium melalui pemutusan suatu terkara yang menguntungkan terdakwa.

Alhasil banyak vonis vonis hakim  terhadap koruptor yang dinilai  tidak wajar sehingga mengusik rasa keadilan publik termasuk pengurangan hukuman besar besaran yang sekarang sedang dinikmati oleh para koruptor  yang memanfaatkan PK.

Pada akhirnya semua memang akan dikembalikan kepada manusia sebagai pelaksananya. Sebagai salah seorang warga bangsa kita hanya berharap hakim bisa mendengarkan suara hati nuraninya ketika sedang memutuskan suatu perkara. Termasuk saat mendiskon hukuman untuk para koruptor yang telah merugikan rakyat, bangsa dan negara.

Semangat anti korupsi harus tetap ada pada tiap lembaga peradilan di Indonesia termasuk  hakim hakim MA. Jangan sampai PK menjadi celah bagi koruptor  untuk ajang kongkalingkong bersama pengadilnya  guna memotong masa hukumannya mengamalkan prinsip simbiosis mutualisma.

Kejutan Lainnya

Sebenarnya bukan hanya soal diskon hukuman koruptor saja yang membuat masyarakat terkesima dengan MA. Ada beberapa kejadian atau peristiwa yang patut mendapatkan perhatian kita bersama terkait dengan kiprah MA dalam menjalankan peran dan fungsinya.

Beberapa waktu yang lalu publik dibuat heboh setelah Mahkamah Agung mengabulkan PK Fahmi Darmawansyah dalam kasus suap kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Wahid Husen. MA menyunat hukuman Fahmi dari 3 tahun 6 bulan penjara, menjadi 1 tahun 6 bulan penjara.

Yang menjadi fokus perhatian pada kasus ini adalah adanya pernyataan  dalam putusannya, dimana MA menilai Fahmi memberikan sejumlah barang kepada Wahid, salah satunya mobil Mitsubishi Triton seharga Rp 427 juta bukan untuk mendapatkan fasilitas khusus bagi dirinya. Melainkan, karena sifat kedermawanan Fahmi kepada Wahid selaku Kalapas tempatnya dipenjara..

Penggunaan terminology “kedermawanan “ dalam putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung  ini justru dinilai mengaburkan makna dari sifat kedermawanan itu sendiri yang aneh dan janggal terasa.

Pada hal seperti kita ketahui bersama pemberian hadiah kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri karena jabatannya adalah suatu perbuatan tercela.

Terlebih si pemberi memiliki kepentingan di balik pemberiannya. Dalam konteks hukum, pemberian itu masuk kategori suap dan masuk ranah pidana yang bisa berujung penjara.

Dalam hal ini argumentasi MA sama saja menormalisasi pemberian suap dan gratifikasi sebagai bentuk kedermawaan, dan itu adalah penyempitan akal sehat serta melawan logika.

Padahal berderma itu seyogyanya dilakukan kepada pihak yang membutuhkan dan tanpa kepentingan apa pun juga, bukan diberikan oleh terpidana untuk penyelenggara negara.Tetapi itulah yang terjadi, Keputusan hakim MA seolah olah memang harus dipandang benar meskipun publik tidak bisa menerimanya.

Selain soal dermawan, sejauh pengamatan saya MA belum  pernah memenangkan masyarakat dalam sengketa lahan yang melibatkan seorang pengembang/ pengusaha.

Sejauh ini berdasarkan data dan laporan yang masuk ke komisi hukum DPR, MA hampir belum pernah memenangkan masyarakat yang bersengketa dalam sektor penggunaan lahan diwilayahnya.

Patut dipertanyakan dimana keberpihakan hakim hakim MA dalam memutus perkara terkait dengan sengketa lahan ini yang melibatkan masyarakat atau warga.

Apakah tidak dimenangkanya masyarakat ini karena masyarakat memang harus kalah karena ketiadaan bukti atau karena ada apa apanya. Padahal harus dipahami bahwa MA dalam menjalankan administrasi, pengaturan dan pembiayaan kegiatan, dibiayai dengan uang rakyat melalui anggaran belanja negara.

Keberpihakan demi keadilan dankepastian hukum itu penting sesuai dengan prinsip prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum dan keadilan untuk seluruh warga bangsa dan bukan karena faktor faktor lainnya.

Selanjutnya pada akhir tahun lalu, MA juga pernah membuat kejutan dengan mengeluarkan Peraturan MA (Perma) nomor 5 tahun 2020 yang salah satu pasalnya mengatur soal larangan foto dan merekam dalam persidangan pada hal lembaga peradilan seharusnya terbuka.

Oleh karena itu kalau ada peradilan yang sifatnya terbuka tapi kemudian dilarang untuk mengambil gambar, memfoto, merekam dan sebagainya sangat aneh terasa. Berbeda halnya kalau peradilan itu tertutup karena perkara peradilan anak, yang bicara soal perempuan pemerkosaan dan sejenisnya.

Tetapi kalau  kalau peradilan itu peradilan umum biasa kemudian dinyatakan tertutup dimana kemudian ada larangan orang merekam atau mengambil gambar maka disitulah yang menjadi  substansi masalahnya. Diruang ruang seperti itu sangat potensi terjadi abuse of power , karena publik tidak bisa mengaksesnya.

Terkait dengan soal persidangan ini , kita juga masih ingat ketika sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengkritik Mahkamah Agung (MA) karena masih mengelar sidang uji materil peraturan di bawah undang-undang secara  tertutup alias tidak terbuka.

Hal tersebut telah memunculkan adanya kekhawatiran karena rawan adanya penyalahgunaan kewenangan yang ada padanya. Saat itu MA lantas merespon kritikan itu dengan memberikan penjelasan terkait gelaran sidang uji materil yang tidak menghadirkan saksi atau ahli secara langsung di depan hakim agung MA.

Menurut Abdullah Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah , meski tidak ada tatap muka hakim dan pihak yang berperkara, namun menurut nya, para pihak diberi keleluasaan untuk memberikan jawaban dan tanggapan dengan menyertakan keterangan ahli atau pendapat ahli.

"Disitulah yang dipersamakan dan dianggap sama dengan para pihak itu hadir. Toh para pihak yang hadir bisa menyampaikan pendapatnya?," katanya

"Tetapi faktanya di MA tidak ada pemanggilan pihak-pihak untuk mendengarkan apa sih alasannya (uji materi), fakta apa yang membenarkan dalil-dalil pemohon," ujar Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari dalam acara diskusi di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) seperti dikutip media.

 Menurut Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, dengan tertutupnya sidang uji materil di MA, maka masyarakat tidak bisa memantau proses persidangan.

Sementara itu Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Tama Satya Langkun meminta MA untuk mengoreksi diri dan melakukan perubahan untuk lebih terbuka kepada publik. Caranya yakni dengan membuat aturan agar MA membuka mekanisme sidang uji materil yang selama ini sudah dijalankannya.

Untuk diketahui, sejak tahun 2004, MA telah menangani sekurangnya 431 perkara uji materil peraturan di bawah undang-undang. Namun hingga kini banyak putusan MA dinilai tidak menjawab persoalan di masyarakat karena sidangnya tidak terbuka.

Begitulah beberapa kejadian/ peristiwa yang terjadi di MA sehingga patut dicermati karena ada indikasi potensi  penyimpangan di dalamnya.  Ke depan entah apalagi hal hal yang dirasakan aneh aneh terjadi disana.

Karena memang seperti kat pepatah tiada gading yang tak retak, meskipun kelembagaan MA selama ini dipersepsikan sebagai kumpulan orang orang terhormat tapi tidak tertutup kemungkinan banyak terjadi penyimpangan  disana.

Kita semua perlu menaruh kepedulian pada lembaga negara seperti MA karena lembaga itulah yang menjadi benteng terakhir para pencari keadilan di Indonesia. Kalau benteng keadilan itu ternyata sudah jebol kredibilitas dan integritasnya maka hukum dan keadilan akan hanya menjadi fatamorgana belaka.

Kiranya dibutuhkan adanya hakim hakim MA yang terjaga integritasnya dan konsisten sikap dan perilakunya dalam memperjuangkan hukum dan keadilan di Indonesia. Sebab seperti diungkapkan olehM.A.W. Maarten Feteris Presiden Hoge Raad,”apabila Mahkamah Agung tidak konsisten, jangan pernah berharap pengadilan dibawahnya bisa konsisten”.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar