Batal Pergi karena Positif Covid, Bagaimana Nasib Uang Beli Tiket?

Sabtu, 03/07/2021 12:52 WIB
Maskapai Garuda Indonesia (Nikkei Asian Review)

Maskapai Garuda Indonesia (Nikkei Asian Review)

Jakarta, law-justice.co - Seseorang yang telah membeli tiket pesawat tak dijamin bisa berpegian dengan mulus di masa pandemi Covid-19. Pasalnya, seseorang bisa batal pergi jika diirnya dinyatakan positif Covid-19 saat dites jelang keberangkatan.

Namun, akibat hal ini sebuah masalah baru pun muncul. Hal itu terkait uang yang telah diserahkan kepada pihak maskapai untuk membeli tiket perjalanan. Apakah uang tersebut bisa dikembalikan atau refund. Jika ya, apakah dapat dikembalikan sutuhnya atau hanya sebagiannya saja?

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, apabila ditemukan penumpang dengan hasil tes positif Covid-19, maka yang bersangkutan tidak dapat melanjutkan perjalanan. Namun, calon penumpang tersebut dapat melakukan pengembalian dana atau refund tiket kepada pihak maskapai.

"Jika memang ada yang positif, mereka tetap diperlakukan dengan baik dan diberikan pemahaman bahwa mereka tidak bisa melanjutkan perjalanan dan mereka bisa mendapatkan refund seusai dengan harga yang dibayarkan," kata Budi pada Desember 2020 lalu.

Sementara, menurut pengamat penerbangan Jaringan Penerbangan Indonesia Gerry Soejatman, memprediksi kondisi refund tiket pesawat dengan membandingkannya sebelum dan sesudah pandemi. Dalam kondisi normal, yang di-refund itu mungkin satu persen dari tiket yang beredar,".

Adapun, Sekretaris Jenderal Astindo, Pauline Suharno menerangkan bagaimana kondisi travel agent saat ini dapat bertahan hidup karena yang paling terdampak untuk industri pariwisata saat ini, karena beragam tantangan harus dihadapi yaitu harus mengurus refund karena tidak ada penjualan.

Membahas hak dan kewajiban antara konsumen dan pelaku usaha jasa transportasi udara, perlu dilihat hubungan hukumnya terlebih dahulu dan merujuk pada Pasal 1457 KUHPerdata. Hubungan hukum yang terbentuk di antara para pihak terjadi karena penutupan perjanjian bertimbal balik dalam bentuk jual beli tiket, dimana maskapai mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan (dalam hal ini jasa untuk mengangkut konsumen melalui moda angkutannya) dan konsumen mengikatkan diri untuk membayar harga yang dijanjikan.

Dalam praktik, pembayaran tiket secara penuh selalu dipersyaratkan untuk dilakukan di depan sebelum tiket diterbitkan oleh Maskapai. Dengan demikian, dalam tahapan pembelian, konsumen telah memenuhi prestasinya untuk melakukan kewajiban pembayaran yang di sisi lain menimbulkan kewajiban secara berimbang bagi maskapai untuk melaksanakan pengangkutan sesuai dengan jadwal yang disepakati di dalam tiket.

Dari hubungan ini, dapat disimpulkan bahwa, konsumen bertindak sebagai Kreditur (pihak yang berhak atas pemenuhan suatu prestasi) dan Maskapai sebagai Debitur (pihak yang wajib melakukan kontraprestasi).

Sebelum terjadinya keadaan-keadaan yang menyebabkan tidak dapat dilaksanakan prestasi tersebut, seharusnya ada langkah-langkah pencegahan yang perlu dilakukan oleh setiap angkutan udara agar pada saat terjadinya kendala tersebut para konsumen yang telah membeli tiket tidak merasa kecewa dan dirugikan akibat pelayanan yang buruk dari pihak angkutan udara.

Berdasarkan Privity of Contract Theory, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, akan tetapi hal itu baru dapat dilakukan apabila diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual.
Shidarta.

Perjanjian dalam keadaan wabah Covid-19 sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan perjanjian yang ditetapkan dan disepakati oleh para pihak, sebab perjanjian tersebut mengikat para pihak, sehingga para pihak tunduk pada isi perjanjian

KUHPerdata sesuai dengan Pasal 1245 dikenal suatu kondisi yang disebut sebagai keadaan memaksa (Force Majeure) atau overmacht dalam bahasa Belanda, dimana Kreditur dapat dibebaskan dari kewajibannya untuk melakukan prestasi tanpa disertai kewajiban untuk melakukan penggantian biaya, rugi dan bunga dan kondisi ini akan menjadi alasan pembenar dan pemaaf.

Secara struktur, ketentuan ini termuat dalam Buku III KUHPerdata yang menganut sistem terbuka, yakni, implementasinya tidak mutlak, dapat disimpangi para pihak dan merupakan pelengkap dalam praktek. Terdapat elemen Force Majeure yang disebakan karena tidak memenuhi prestasi; Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur; dan Faktor penyebab itu tidak terduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.

Merujuk pada elemen Force Majeure tersebut, maka kasus pembatalan tiket pesawat oleh Maskapai di tengah pandemi Covid-19 sebagai implementasi kebijakan pemerintah, memenuhi karakteristik Force Majeure. Mengingat kebijakan ini dan terjadinya pandemi tidak terduga sebelumnya.
Meskipun demikian, pandangan apakah pandemi Covid-19 merupakan Force Majeure atau bukan, hingga saat ini masih menimbulkan perdebatan di kalangan praktisi dan akademisi meskipun Presiden telah menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional non alam. Jika pandemi Covid -19 dipandang sebagai Force Majeure, apakah benar Maskapai tidak bisa dimintai pertanggung jawaban untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga sesuai dengan Pasal 1245 KUHPerdata?

Mengenai hal ini, pemerintah telah mengatur kebijakan tersendiri berdasarkan Permenhub No. PM 185 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri (“PM 185/2015”). Merujuk pada PM 185/2015, terjadinya suatu Force Majeure dalam aktivitas penerbangan, berdampak pada pembatalan tiket. Konsekuensi ini sangat masuk akal, karena adanya Force Majeure secara langsung tentu akan menggagalkan pengangkutan sesuai dengan jadwal yang ditentukan (kontraprestasi Maskapai tidak bisa dipenuhi).
Atas kondisi ini, berdasarkan Pasal 10 ayat (1) PM 185/2015 telah ditegaskan bahwa Maskapai wajib mengembalikan biaya jasa angkutan udara yang telah dibayarkan oleh calon penumpang (refund tiket). Lebih lanjut ayat (3) Pasal ini mengatur bahwa jumlah Refund yang harus diberikan, dengan ketentuan:

Untuk penerbangan dengan kelompok pelayanan full service, dilakukan pemotongan biaya administrasi sebesar 20%;
Untuk penerbangan dengan kelompok pelayanan medium service, dilakukan pemotongan biaya administrasi sebesar 15%; dan

Untuk penerbangan dengan kelompok pelayanan no-frills, dilakukan pemotongan biaya administrasi sebesar 10%.”
Selain Refund atas biaya jasa angkutan, Refund juga harus diberikan atas Passenger Service Charge (PSC).

Mengenai jadwal pengembalian, selanjutnya ditemukan dalam Pasal 10 ayat (5) PM 185/2015, selambat-lambatnya yaitu: a) 15 hari kerja sejak pengajuan dalam hal tiket dibeli secara tunai; dan (b) 30 hari kerja sejak pengajuan dalam hal pembelian dengan kartu kredit. Sebagai alternatif refund tiket pesawat dalam bentuk voucher yang bisa digunakan untuk pemesanan kembali tiket maskapai untuk jadwal dan rute sesuai dengan pilihan Konsumen.
Pemerintah pun telah berpendapat bahwa alternatif ini tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga konsumen tidak mempunyai pilihan lain selain untuk menggunakan voucher yang ada mengingat pada akhirnya apabila voucher tidak digunakan akan dengan sendirinya menggugurkan hak Konsumen atas untuk pemenuhan kontraprestasi Maskapai pasca berakhirnya jangka waktu keberlakukan voucher.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar