Cawe-cawe Dana Hibah KONI (II)

Jaringan Koruptor Penggerogot Dana Hibah KONI

Sabtu, 03/07/2021 11:30 WIB
Logo di Lobi Gedung KONI PUSAT (Sumber :Bisnisnews.id)

Logo di Lobi Gedung KONI PUSAT (Sumber :Bisnisnews.id)

law-justice.co - Anggaran hibah dana KONI berbuntut panjang, Komisi antirasuah pernah menangani perkara tersebut saat lembaga Kemenpora dipimpin oleh Imam Nahrawi. Sekarang, Kejaksaan Agung membuka kembali kasus ini dengan tahun anggaran yang berbeda. Penegak hukum didesak untuk serius menuntaskan korupsi dana hibah dan penggunaannya untuk kepentingan olahraga. Lantas, siapa saja dan kemana aliran uang hibah KONI ini mengalir?

Marciano Norman merasa gundah dengan munculnya kabar soal dugaan korupsi di internal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat. Kabar soal korupsi itu terjadi dua tahun sebelum Marciano didapuk sebagai Ketua KONI Pusat pada Agustus 2019 lalu. Marciano merasa, orang lain yang berbuat tapi dia yang terkena getahnya. Marciano mengaku tidak tahu-menahu soal kasus tersebut karena terjadi di era kepemimpinan Valentinus Suhartono Suratman atau Tono Suratman.

Pada 2019 lalu, Kejaksaan Agung menengarai dana KONI Pusat yang diperoleh dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) untuk tahun anggaran 2017 diselewengkan oleh pejabat KONI Pusat. Tanpa menyebutkan siapa oknumnya, Kejaksaan menyebut duit yang tak wajar itu mengalir ke sejumlah rekanan KONI dan para atlet.

"Itu kan kasusnya anggaran 2017 ya, sedangkan kami ini pengurus yang dilantik pada Agustus 2019. Jadi kita nih pengurus baru semuanya," kata Marciano kepada Law-Justice beberapa waktu lalu.

Kasus dugaan korupsi yang terjadi sejak November 2017 lalu berawal ketika KONI Pusat mengajukan proposal kepada mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi untuk meminta bantuan dana sebesar Rp 26 miliar. Imam kemudian memerintahkan Deputi 4 bidang Peningkatan Prestasi Olahraga mencairkan dana tersebut mengingat dalam Rencana Kegiatan dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA K/L) pada Kemenpora Tahun 2017, belum ada peruntukan anggaran untuk KONI Pusat.

Kemenpora melalui Biro Perencanaan lantas melakukan revisi atas usulan Deputi 4 bidang Peningkatan Prestasi Olahraga. Pada Desember 2017, pemerintah melalui Kemenpora memberikan bantuan dana kepada KONI Pusat Tahun Anggaran 2017 senilai Rp 25 miliar yang dicairkan ke rekening KONI Pusat dalam rangka pembiayaan program pendampingan, pengawasan, dan monitoring program peningkatan prestasi olahraga Nasional menuju 18th Asian Games 2018.

Dalam pelaksanaannya diduga telah terjadi penyimpangan penggunaan dan pengelolaan dana yang dilakukan oleh oknum dari Kemenpora RI maupun oknum dari KONI Pusat. Oknum tersebut diduga membuat laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran secara tidak benar serta melakukan pengadaan barang dan jasa tanpa prosedur lelang sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara.

Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi mengatakan, pihaknya sudah memperingatkan jauh-jauh hari bahwa ada ketidakberesan dalam laporan keuangan penggunaan dana hibah tersebut. tahun 2018, BPK menemukan miliaran dana yang digunakan tidak sesuai ketentuan.

“Di situ sudah lengkap semua tentang dan Hibah KONI,” kata Achsanul.

BPK menyoroti besarnya jumlah anggaran untuk akomodasi dan konsumsi di kegiatan Pelatnas 2017 yang dianggap tidak sesuai ketentuan, yakni sebesar Rp 6,67 miliar. Bahkan ada kelebihan pembayaran sebesar Rp 6,03 miliar.

Pelaksanaan empat program kegiatan tahun 2017 yang menggunakan dana hibah juga tidak sesuai ketentuan sebesar Rp 20,63 miliar. Jumlah kelebihan pembayarannya lebih jauh besar, mencapai Rp 4,68 miliar. Selain itu, terdapat pembayaran yang tidak bisa diuji kebenarannya senilai Rp 15,95 miliar.

Ada juga penggunaan anggaran untuk kegiatan pengawasan dan pendampingan atlet yang menelan biaya Rp 14,55 miliar, ditemukan bahwa anggaran belanja sebesar Rp 12,96 miliar tidak dapat diuji kebenarannya, serta terjadi kelebihan pembayaran honor sebesar Rp 1,59 miliar.

Achsanul mengatakan, BPK sudah pernah melakukan pertemuan dengan KONI dan Kemenpora untuk membahas kejanggalan-kejanggalan tersebut. Hanya saja, beberapa rekomendasi BPK belum ditindaklanjuti sehingga kasus tersebut bisa naik ke penyidikan di Kejaksaan Agung.

Saat ditanya siapa yang paling paling bertanggung jawab atas banyaknya uang rakyat yang digunakan tidak sesuai peruntukan, Achsanul mengatana, “KONI (kepengurusan) sebelum pak Marciano.”


Ketua KONI Pusat, Marciano Norman

Law-Justice sudah bertanya kepada Marciano, apa-apa saja rekomendasi BPK yang sudah dan belum dilaksanakan namun dia enggan merinci dan hanya memperlihatkan sekilas dokumen tindak lanjut. Alasannya, proses tindak lanjut dan evaluasi dari BPK terhadap kinerja keuangan KONI masih terus berlanjut hingga saat ini.

“Kami ini bolak balik ke BPK. Minggu lalu saya audiensi dengan Ketua BPK, pasti ada evaluasi,” kata Marciano.

Konsolidasi antara BPK, KONI, dan Kemenpora, tidak menyurutkan niat Kejagung untuk terus mengusut kasus dugaan korupsi. Surat perintah penyidikan (Sprindik) bernomor: Print-20/F.2/Fd.1/05/2019 resmi diteken Jampidsus pada tanggal 8 Mei 2019 dan diperbaharui dengan Sprindik Nomor: Print-220/F.2/ Fd.1/04/2020 tanggal 22 April 2020.

Tidak banyak yang bisa dilakukan Marciano karena kasus tersebut sudah terlanjur naik ke penyidikan, lebih dari 100 saksi sudah diperiksa, dan mungkin sebentar lagi akan akan berlanjut ke meja hijau. Semua ini bisa terjadi, kata Marciano, karena oknum-oknum pejabat KONI Pusat yang tidak patuh pada aturan lembaga.

"Dalam aturan itu kan ada dan bagaimana penggunaan (dana)-nya, bagaimana pertanggungjawabannya, bagaimana permohonannya, bagaimana pelaporannya," ujarnya.

Marciano mengatakan, bergulirnya kasus ini justru akan dijadikan momentum untuk bersih-bersih kelembagaan KONI, baik di pusat maupun di daerah. Dia mengaku tengah merombak sejumlah sistem internal, salah satunya soal pedoman yang menjadi panduan vital dalam menggunakan anggaran olahraga.

Tak hanya merubah sistem, Marciano juga memperkuat pengawasan dana hibah yang diberikan pemerintah kepada KONI Pusat, termasuk APBD yang dihibahkan kepada beberapa KONI di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.

"Itu betul-betul harus dikawal bersama supaya tidak menemukan masalah di kemudian hari. Kita di sini memikirkan olahraga berprestasi. Tapi kan organisasi itu juga tidak bisa dikelola secara tidak profesional sehingga yang ada akhirnya penyimpangan-penyimpangan. Jadi itu sangat mengganggu," kata Marciano.

Law-Justice sudah berusaha menghubungi Tono Suratman, meminta penjelasan tentang lembaga yang dia pimpin selama dua periode sebelumnya. Permintaan wawancara melalui pesan singkat tidak dihiraukan. Daftar pertanyaan yang dikirimkan oleh reporter Law-Justice hanya dibaca. Panggilan telepon tidak diangkat.

Olahraga Nasional yang Penuh Kasus Korupsi
Kasus korupsi dana hibah KONI yang terjadi pada tahun 2017 lalu telah menyeret sejumlah nama dan saat ini kasus tersebut sudah sampai pada tahap penyidikan. Menanggapi pengusutan kasus tersebut, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, dia mendukung penuh Kejaksaan Agung dalam menuntaskan kasus bantuan dana hibah KONI Pusat tersebut.

Boyamin meminta pada Jaksa Agung untuk melakukan kerja cepat dalam mengatasi kasus korupsi tersebut demi menghindari spekulasi liar dan penghilangan barang bukti.

"Ini harus segera dituntaskan dan tetapkan tersangkanya, supaya bisa mencegah isu ini menjadi semakin liar, supaya publik juga tidak bingung dengan hal tersebut," kata Boyamin kepada Law-Justice.

Boyamin menuturkan kalau KPK juga sedang mengusut kasus dana hibah KONI tahun tahun anggaran yang berbeda. Pada dasarnya, Kejagung dan KPK turut mengusut kasus yang melibatkan Kemenpora tersebut namun terdapat perbedaan pada dugaan tindak pidananya.

“KPK sendiri sedang meneliti kasus tahun 2018 terkait pencairan bukan penggunaan. Pencairan itu ada suap dari KONI untuk pejabat Kemenpora. Jadi ada dua kasus perkara pada tahun 2017 dan tahun 2018 keduanya beda-beda,” tuturnya.

Boyamin juga meminta supaya Jaksa Agung ST Burhanuddin berkomitmen untuk menuntaskan perkara tersebut secara terang benderang sampai ke akarnya.

Sementara itu, Indonesia Sport Corruption Watch (ISCW) juga turut memberikan respon terkait dengan kasus penggunaan dana hibah KONI. Juru Bicara ISCW Nanang Supriatna mengatakan kalau ISCW telah memberikan peringatan sejak 3 tahun silam kepada penyelenggara Keolahragaan Nasional. Penggunaan anggaran yang bersumber dari APBN harusnya bisa dikelola dengan lebih hati-hati.

“ISCW sudah mengkritik baik lisan maupun tulisan terhadap para pelaku dan penyelenggara olahraga baik di event nasional dan internasional, baik yang di Kemenpora, KONI maupun Komite Olimpiade Indonesia atau KOI, untuk bertindak hati-hati menggunakan dana APBN,” ungkap Nanang kepada Law-Justice.

Nanang memberikan contoh dalam kasus kasus dana hibah KONI yang melibatkan mantan Menpora Imam Nahrawi adalah citra buruk Keolahragaan Nasional. Selain bermasalah dari sisi pencairan dana tersebut, tutur Nanang, dana hibah KONI juga bermasalah dalam sisi penggunaan anggaran.

"Tentu kami siap mengawal lembaga penegak hukum untuk segera tuntaskan kasus ini," ungkapnya.

Saat ini ISCW tengah menyusunan laporan monitoring bersama akuntan independen yang nantinya hasil audit tersebut akan disampaikan kepada pihak terkait.

“Akan kami sampaikan kepada pihak terkait, baik ke BPK maupun KPK. Hal ini demi menegakkan kebenaran dan prinsip sportivitas Olahraga Nasional,” pungkasnya.

Hingga kini ada KPK dan Kejagung yang terus mengembangkan kasus anggaran dana hibah KONI. Kedua lembaga penegak hukum itu didesak serius dan cepat menuntas persoalan yang sudah diungkap sedari tahun 2019.

Dalam kasus di KPK yang menyeret nama mantan Menpora Imam Nahrawi selaku terpidana, yang bersangkutan telah dieksekusi ke Lapas Sukamiskin.

Plt Juru Bicara KPK M Ali Fikri bilang kalau KPK juga telah menyetor uang Rp 12,5 miliar hasil rampasan dari harta mantan Menpora Imam Nahrawi itu ke kas negara beberapa waktu lalu.

Penyetoran dilakukan oleh jaksa KPK Rusdi Amin dan Andry Prihandono. Jaksa mengeksekusi uang itu sesuai dengan putusan MA RI Nomor 485 K/Pid. Sus/2021 tanggal 15 Maret 2021 jo Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 30/PID.SUS-TPK/2020/PT DKI JKT tanggal 8 Oktober 2020 jo Putusan Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat Nomor 9/Pid.Sus/ TPK/2020/PN Jkt Pst tanggal 29 Juni 2020 dengan terpidana Imam Nahrawi.

"Iya bulan lalu KPK juga telah setor uang rampasan senilai RP 12,5 Miliar ke kas negara," ujar Ali Fikri kepada Law-Justice.

Ali mengatakan kalau penyetoran yang dilakukan KPK ke kas negara sebagai bentuk pemulihan aset dari hasil tindak pidana korupsi.

"Penyetoran uang rampasan ke kas negara sebagai bentuk komitmen nyata pelaksanaan asset recovery dari hasil tindak pidana korupsi.”

Terkait perkembangan kasus tersebut, Ali membeberkan soal keberlanjutan kasus itu dengan berencana mengumpulkan penyidik untuk membahas pengembangan kasus tersebut. Meski begitu, Ali menyebut untuk mengembangkan sebuah kasus tersebut perlu didukung dengan adanya alat bukti dan informasi yang cukup.

"Kita akan lihat apakah cukup alat bukti dan saksi serta kemudian apakah juga itu disebutkan di dalam putusan pengadilan," ungkapnya.

Kemenpora Awasi Ketat Anggaran Hibah
Terkait kasus dana hibah KONI, Sekretaris Menteri Pemuda Olahraga Gatot S Broto mengatakan kalau kasus dana hibah KONI ini dapat menjadi pelajaran untuk semua pihak. Sebagai Sesmenpora, ia menceritakan sangat paham betul dengan kinerja Kemenpora dan tentu juga celah-celah yang bisa menimbulkan penyelewengan anggaran.

Gatot juga kerap memberikan peringatan kepada setiap pejabat Kemenpora untuk hati-hati dan cermat dalam menggunakan anggaran negara. Sebelum menjadi Sesmenpora, Gatot pernah menjabat sebagai Kepala Deputi IV, dan ia mengakui kalau disitu sangat rawan terjadi penyelewengan.

“Ya, saya paham. Makanya saya wanti-wanti ke para pejabat di Kemenpora terutama Deputi IV untuk berhati-hati karena di sana banyak ranjaunya,” kata Gatot kepada Law-Justice.

Seperti diketahui, kasus Menpora yang terjerat korupsi bukan hanya terjadi kepada Imam Nahrawi. Menpora sebelumnya, Andi Alfian Mallarangeng juga terjerat kasus serupa.

Andi Mallarangeng divonis empat tahun penjara pada tahun 2014 silam karena terbukti korupsi dalam proyek pembangunan lanjutan pusat pendidikan dan sekolah olahraga nasional Hambalang.

Melihat dua Menpora sebelumnya terjerat korupsi, Gatot kini berupaya untuk mengembalikan citra Kemenpora yang telah rusak. Ia kini membantu Menpora Zainudin Amali untuk terhindar dari praktik-praktik terlarang itu.

Kemenpora baru saja mendapatkan status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK RI. Penghargaan itu terakhir didapatkan Kemenpora pada 10 tahun lalu.

Lebih lanjut, Gatot juga membeberkan dirinya yang menduduki jabatan strategis juga tak ayal kerap bersinggungan dengan kesempatan-kesempatan terlarang tersebut.

"Dengan pendirian yang kuat dan tujuan hidup yang lurus membuat kita terhindar dari praktik yang bisa membawanya masuk ke bui," katanya.

“Ya prinsip itu sejak awal itu saya terbiasa kerja secara profesional masalah gaji atau bonus itu setiap orang kan relatif menilai kurang atau lebih, itu sangat berbeda satu sama lain,” demikian sambungnya.

Belum Ada Tersangka, Kejagung Usut Aliran Dana
Awal bulan lalu, penyidik di divisi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus memeriksa dua orang saksi terkait dugaan korupsi ini, salah satunya adalah RS, seorang pelatih olahraga Panjat Tebing. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan RS diduga mengetahui aliran uang KONI Pusat.

"Saksi diperiksa terkait dengan penyalahgunaan dana KONI Pusat," kata Leonard.

Leonard tak merinci bagaimana aliran duit yang berujung penilapan tersebut. Ia hanya menyebutkan keterangan saksi RS diperuntukkan demi kepentingan penyidikan. Setahun sebelumnya, Kejaksaan juga memeriksa 11 rekanan KONI sebagai saksi. Pemeriksaan ini dalam rangka menindaklanjuti surat dari BPK RI tertanggal 8 Mei 2020 yang berisi tentang hasil audit dana hibah KONI.

"Tim Jaksa Penyidik melakukan pemeriksaan terhadap saksi saksi yang diduga menerima pembayaran uang yang berasal dari bantuan dana pemerintah kepada KONI Pusat 2017 tersebut," Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung ketika itu, Hari Setiyono.

Adapun ke-11 rekanan KONI yang dimintai keterangan sebagai saksi yakni Account Manager PT Karakter Prima Indonesia, Jonahan Hartono; Pemilik Toko Mitra Dokumen Center & Digital Printing, Tia Sui Hong; pemilik toko Reyna Cake, Denny Salim.

Selanjutnya, Bisnis Manager Jaya 1 PT Kimia Farma Apotek, Hermanta Tarigan; Direktur Laboratorium Klinik Primadia, Didi Junaedi; pemilik toko makanan PT Regina Putera Culinary, Susiana; pemilik toko Berlian Air, Rismanto; dan pemilik toko Prima Fotocopy, Susanto Salim Liem.

Kemudian, pemilik toko Subur Graphic; Soehanda; pemilik toko buku dan alat tulis Anugrah, Irwansyah; dan Direktur PT Evikamukti Raya Maju, Tedy Eka Supriyadi.

Law-Justice sudah meminta konfirmasi ihwal peran serta dan fungsi ke-11 rekanan tersebut ke Kejaksaan Agung. Namun, Kejaksaan mengaku tak bisa memberikan jawaban lantaran hal tersebut masuk dalam materi perkara yang sedang disidik oleh Jampidsus.

"Berdasarkan penjelasan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, seluruh pertanyaan yang diajukan sudah menyangkut materi perkara yang sekarang dalam proses Penyidikan di Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Tindak Pidana Khusus," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menanggapi surat yang dikirimkan oleh Law-Justice.

Pernyataan tersebut sekaligus menjawab tentang dugaan keterlibatan sejumlah atlet usai diperiksanya salah satu pelatih olahraga bidang panjat tebing.

Law-Justice coba mengkonfirmasi hal tersebut kepada Ketua Umum Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI), Zannuba Ariffah Chafsoh. Dihubungi Rabu (30/6) lalu, wanita yang akrab disapa Yenny Wahid itu mengaku tidak mengetahui detail informasi tentang diperiksanya salah satu pelatih dari cabang olahraga panjat tebing.

Ia mengatakan kasus tersebut terjadi di era kepengurusan sebelumnya. Saat itu FPTI Pusat diketuai oleh Faisol Riza, politikus Partai Kebangkitan Bangsa yang kini duduk di kursi Ketua Komisi VI DPR RI. Yenny menyatakan tak berkomentar soal kasus ini dan hanya ingin berfokus mengembangkan FPTI ke depan.

"Saya tidak tahu. Kejadiannya sebelum saya jadi Ketua Umum. Kalau dalam kepengurusan saya penekanan adalah pada transparansi dan anti korupsi. Kalau ada pengurus yang terlibat dalam kasus korupsi, akan kita pecat. Saya hanya fokus pada kepengurusan periode saya dan tidak akan komentar periode-periode lain karena saya tidak paham corak kepengurusannya seperti apa," kata dia kepada Law-Justice.

Saat dikonfirmasi ke Faisol Riza, Rabu, (30/5/2021) lalu, ia hanya menjawab singkat. Mengaku tidak tahu persis soal kasus dan pemanggilan pelatih panjat tebing tersebut. Faisol awalnya berjanji untuk mencari tahu soal pemeriksaan terhadap pelatih yang masuk dalam organisasinya ini. Namun hingga berita ini ditayangkan, Faisol belum berhasil memperoleh keterangan apapun dari pelatih berinisial RS tersebut.

"Orangnya masih di luar negeri. Kalau orangnya sudah datang pasti saya sampaikan," kata dia.

 Kontribusi Laporan: Januardi Husin, Rio Alfin Pulungan, Ghivary Apriman

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar