Hati-hati Vaksin Covid-19 Palsu, Begini Langkah Jika Sudah Dirugikan

Sabtu, 26/06/2021 15:00 WIB
Ilustrasi Vaksin Covid-19

Ilustrasi Vaksin Covid-19

Jakarta, law-justice.co - Peredaran dan penggunaan vaksin palsu di sejumlah rumah sakit (RS) meresahkan masyarakat. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat beberapa RS dan dokter terkena implikasi negatif dari kasus tersebut. Polisi telah menetapkan sejumlah tersangka, termasuk dokter.

Menyikapi kondisi terkini, Pengurus Besar IDI (PB IDI) mengimbau kepada masyarakat untuk tidak melakukan tindakan yang merugikan semua pihak dan mengedepankan asas praduga tak bersalah. Ketua Umum PB IDI, Ilham Oetama Marsis, menilai ada sejumlah regulasi terkait pelayanan kesehatan yang selama ini belum dilaksanakan secara serius.

Tujuh regulasi yang bisa mencegah vaksin palsu kalau dilaksanakan dengan benar adalah UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; PP No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan; PP No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dan PP No. 49 Tahun 2013 tentang Badan Pengawas Rumah Sakit. Ada juga Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 1144 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan, dan Permenkes No. 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.

Penyebab munculnya peredaran vaksin palsu di faskes karena regulasi tadi tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Pasal 98 UU Kesehatan, misalnya, mewajibkan Pemerintah membina, mengatur, mengendalikan dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi dan pengedaran farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi. Ketentuan itu mengamanatkan pemerintah untuk mengaturnya lebih teknis dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah.


Pasal 12 UU Rumah Sakit mengatur persyaratan sumber daya manusia untuk RS. Setiap rumah sakit harus memiliki tenaga tetap meliputi tenaga medis dan penunjang medis, tenaga keperawatan, kefarmasian, manajemen RS dan non Kesehatan. Ketentuan ini secara jelas mengamanatkan harus ada tenaga khusus yang menangani kefarmasian. Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang ini juga menyebut pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi dan bahan habis pakai harus dilakukan instalasi farmasi sistem satu pintu.

Mengingat pemerintah belum menerbitkan PP terbaru tentang sediaan farmasi dan alat kesehatan, Ilham mengatakan peraturan yang masih digunakan yaitu PP Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan yang terbit 1998. Pasal 65 PP ini mengamanatkan Menteri Kesehatan mengangkat tenaga pengawas yang bertugas melakukan pemeriksaan di bidang pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan.

Berdasarkan Permenkes No. 1144 Tahun 2010, Kementerian Kesehatan membawahi subdirektorat penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan yang terdiri dari seksi perencanaan penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan dan seksi pemantauan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan. Seksi perencanaan bertugas menyiapkan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan bidang penyediaan obat publik dan perbekalan kesehatan. Seksi pemantauan bertugas menyiapkan bahan bimbingan teknis, pengendalian, pemantauan dan evaluasi.

Peran Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) penting dalam mencegah peredaran dan penggunaan vaksin palsu. BPRS bertugas membuat pedoman pengawasan RS untuk digunakan BPRS provinsi. Kemudian, menganalisis hasil pengawasan dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat dan daerah untuk digunakan sebagai bahan pembinaan. 

Bahkan berdasarkan Pasal 14 ayat (1) PP No. 51 Tahun 2009 menegaskan setiap fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi berupa obat harus memiliki seorang apoteker sebagai penanggung jawab. PP tersebut juga mewajibkan setiap RS memiliki instalasi farmasi.

Standar pelayanan kefarmasian di RS meliputi standar pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai dan pelayanan farmasi klinik. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai itu meliputi pemilihan; perencanaan kebutuhan; pengadaan; penerimaan; penyimpanan; pendistribusian; pemusnahan dan penarikan; pengendalian; dan administrasi. Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Permenkes No. 58 Tahun 2014 itu menurut Ilham dilakukan oleh Menteri Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota sesuai tugas dan fungsinya masing-masing.


Dasar Hukum

Korban vaksin palsu dapat mengajukan gugatan perdata melalui 3 bentuk yaitu gugatan perdata biasa, citizen lawsuit, dan class action. Gugatan perdata biasa atas kasus vaksin palsu diajukan berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), baik itu yang secara langsung maupun tidak secara langsung dikenakan kepada pelaku. Gugatan hukum yang dikenakan langsung pada pelaku diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.

Gugatan ini pada dasarnya dapat diajukan kepada pembuat vaksin, distributor obat, tenaga kesehatan, dan fasilitas pelayanan kesehatan swasta yang terlibat dengan vaksin palsu. Sedangkan gugatan melawan hukum yang dikenakan secara tidak langsung kepada pelaku, diajukan berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata yang menyatakan “Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orangorang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.

Gugatan ini merupakan tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang lain atau dikenal dengan tanggung jawab pengganti (vicarious lability). Pada kasus vaksin palsu, gugatan tanggung jawab pengganti dapat diajukan

kepada fasilitas pelayanan kesehatan swasta yang berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata seharusnya bertanggung jawab terhadap perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggung jawabnya, termasuk tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan swasta tersebut. Gugatan perdata berikutnya adalah citizen lawsuit. Citizen lawsuit merupakan gugatan yang diajukan warga negara terhadap penyelenggara negara atas kelalaian dalam memenuhi hak-hak warga negara.

Kelalaian negara dalam gugatan citizen lawsuit merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum, sehingga gugatan ini diajukan pada lingkup peradilan umum sebagai perkara perdata. Petitum gugatan citizen lawsuit, dapat berupa tuntutan kepada negara untuk mengeluarkan suatu pengaturan yang bersifat
umum (regeling) agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari.

Tidak ada gugatan ganti rugi dalam gugatan ini. Pada kasus vaksin palsu, terdapat indikasi kuat pemerintah lalai melakukan pengawasan terhadap peredaran vaksin di
Indonesia, sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran hak atas kesehatan warga Negara seperti diatur dalam Pasal 28H UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Pengaturan lebih lanjut diatur dalam Pasal 54 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa “Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara
bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif”. Citizen lawsuit ini dapat diajukan agar negara mengeluarkan aturan khusus tentang pengawasan terhadap obat termasuk vaksin. Aturan pengawasan obat seharusnya memuat aturan pengawasan secara komprehensif mulai dari tahap produksi, distribusi, penggunaan dan pengelolaan sampah, serta limbah medis.

Tidak seperti saat ini, aturan tentang pengawasan obat dan makanan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Pengawasan ini bersifat lintas sektoral karena melibatkan beberapa kementerian dan badan seperti Kementerian Kesehatan, BPOM, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kepolisian, sehingga perlu ditetapkan instansi mana yang berperan sebagai koordinator pengawasan.

Oleh sebab itu, aturan yang paling tepat untuk mengatur tentang pengawasan adalah undang-undang. Gugatan perdata terakhir adalah class action yang dasar hukumnya adalah UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action). Gugatan class action, menurut Pasal 46 ayat (1) huruf b UU No. 8 Tahun 1999, merupakan gugatan yang dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha.

Sedangkan menurut PERMA No. 1 Tahun 2002, “Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud”.

Persyaratan umum dari class action adalah gugatan mencakup banyak orang sebagai penggugat; terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, kesamaan dasar hukum, dan jenis tuntutan; serta perwakilan kelompok harus jujur dan bersungguh-sungguh melindungi kepentingan kelompok yang diwakili. Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.

Pada kasus vaksin palsu, gugatan class action dapat diajukan kepada pelaku usaha vaksin palsu yaitu produsen vaksin, distributor, fasilitas pelayanan kesehatan swasta, dan pemerintah. Menurut Pasal 46 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999, gugatan class action diajukan kepada peradilan umum. Dalam PERMA No 1 Tahun 2002, surat gugatan class action harus memenuhi persyaratan-persyaratan formal yang diatur dalam hukum acara perdata ditambah dengan:

a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok;
b. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu;
c. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan;
d. Posita dari seluruh kelompok, baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi, yang dikemukakan secara jelas dan terinci;
e. Dalam satu gugatan perwakilan, dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda; dan
f. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.

Pada kasus vaksin palsu, gugatan class action merupakan gugatan yang paling sesuai untuk ditempuh sebab korbannya bersifat massal sehingga lebih efektif. Keuntungan lain dari gugatan class action adalah biaya proses berperkara yang harus ditanggung penggugat menjadi lebih murah dan pihak tergugat juga ikut diuntungkan karena cukup mengeluarkan satu kali biaya untuk para pihak yang dirugikan. Dari sisi akses keadilan bagi penggugat juga lebih terjamin karena diajukan
secara bersama-sama. Selain itu dapat dicegah munculnya inkonsistensi putusan dalam perkara yang sama.

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar