Ekonom Terus Dorong untuk Lockdown: Jika Tidak, Ekonomi Makin Terpuruk

Jum'at, 25/06/2021 19:50 WIB
Dampak ekonomi RI akibat Covid-19 (Okezone)

Dampak ekonomi RI akibat Covid-19 (Okezone)

Jakarta, law-justice.co - Para ekonom menyebut bahwa pemerintah Indonesia harus mengambil lockdown untuk menekan penularan kasus corona. Mereka mengatakan, kerugian yang ditimbulkan lockdown lebih kecil ketimbang kebijakan pembatasan sosial yang longgar yang selama ini pemerintah ambil.


Direktur pusat studi Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, menyebut bahwa PPKM Mikro yang diambil pemerintah sejak awal tahun tidak efektif dalam menekan kasus COVID-19. "Apalagi kalau model pembatasannya hanya maksimal 25 persen, misalnya, makan di restoran dan jamnya dibatasi maximum jam 8 malam. Kemudian soal kapasitas birokrasi terkecil disuruh lakukan pengawasan kan susah sekali itu. Yang punya kapasitas, ya, pemerintah pusat," kata Bhima dikutip dari Kumparan, Jumat (25/6/2021)


Bhima menjelaskan, skenario lockdown selama 2 minggu pada Juni-Juli 2021 dapat menjaga pertumbuhan ekonomi satu tahun penuh 2021 di kisaran 3 hingga 4,5 persen.


Dengan asumsi lockdown Jakarta per hari membutuhkan biaya Rp 550 miliar, maka lockdown selama 2 minggu butuh biaya Rp 7,7 triliun. Sementara Jakarta punya kontribusi 70 persen terhadap perputaran uang nasional. "Kami kalkulasi lockdown nasional sekurangnya membutuhkan biaya Rp 11-25 triliun selama 14 hari," jelas Bhima, sembari menyebut bahwa itu cuma 6 persen dari anggaran infrastruktur 2021 yang mencapai Rp 413 triliun.


Jika lockdown, risiko kehilangan PDB selama 2021 cuma sekitar Rp 77 triliun hingga Rp 308 triliun, kata Bhima. Perhitungan tersebut didasari dengan asumsi target pertumbuhan 2021 sesuai APBN sebesar 5 persen atau PDB menjadi Rp 16.205 triliun.

Nilai kehilangan ekonomi, jika lockdown, jauh lebih kecil ketimbang skenario tanpa lockdown. Jika kasus corona terus melonjak dan pemerintah tidak lockdown, pertumbuhan ekonomi 2021 bisa jatuh ke -0.5 hingga 2 persen. Risiko kehilangan PDB dengan skenario ini adalah Rp 463 triliun sampai dengan Rp 848 triliun. "Biayanya (lockdown) lebih murah dibanding kerugian ekonomi tidak lakukan lockdown," kata Bhima.

"Setelah lockdown berhasil maka ekonomi bisa tumbuh lebih solid. Jangan kondisi darurat kebijakannya nanggung."


Kritik senada disampaikan oleh ekonom makroekonomi dan pasar keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky. Dia menyampaikan, kebijakan lockdown justru akan berdampak positif pada ekonomi jangka panjang. "Saya rasa hampir semua peneliti dan ekonom pun sepakat, kebijakan kesehatan sejatinya adalah kebijakan ekonomi juga. Artinya kita tidak bisa bicara pemulihan ekonomi kalau aspek kesehatannya ini belum beres," ujar Teuku.


Teuku mengatakan, secara jangka pendek, ekonomi memang bakal terdampak dengan lockdown. Namun, penurunan ekonomi jangka pendek ini jangan buru-buru dinilai negatif. "Framework itu seperti menabunglah, menabung ekonomi, sehingga kita bisa dapat return yang lebih tinggi dan konsisten atau tidak turun-turun lagi," jelasnya.

Jadi, narasi yang berseliweran bahwa lockdown dapat menurunkan ekonomi tidak tepat. "Iya secara jangka pendek. Tapi secara neting sangat menguntungkan, jadi kerangkanya adalah kalau suatu kebijakan yang tepat untuk kesehatan, maka akan bagus pula untuk ekonomi," kata Teuku.


Ketika ditanya berapa perkiraan biaya lockdown, Teuku mengaku bahwa dia tak bisa menghitung secara pasti. Sebab, pemerintah belum pernah riset dan merumuskan kebijakan full lockdown itu seperti apa.


Kendati demikian, pemerintah masih memiliki alokasi dana untuk lockdown. "Masih ada sisa anggaran sebesar Rp 472,8 triliun lagi yang bisa digunakan hingga akhir tahun untuk mengatasi dampak pandemi COVID-19," kata Teuku.


Teuku menilai, masalah yang ada sekarang bukan di budget, tapi implementasi kebijakan. "Yang masih kurang dari implementasi dan reinforcement, kita rasa untuk saat ini sepertinya perlu ketegasan sikap mau itu lockdown atau istilah lainnya, yang penting dahulukan kesehatan dengan kebijakan tepat, nantinya akan berdampak pada ekonomi juga," kata Teuku.

 

Ekonom dukung epidemiolog


Pandangan yang disampaikan para ahli ekonomi mendukung saran yang disampaikan para epidemiolog bahwa pemerintah perlu mengambil kebijakan yang lebih tegas dalam menekan kasus corona. "Kita perlu sampaikan lagi masukan kita ke Bapak Presiden bahwa harus ada penguatan lagi. Karena ini masalahnya bukan untuk menyelamatkan ekonomi, tetapi menyelamatkan nyawa," kata epidemiolog Universitas Griffith, Dicky Budiman.


Para epidemiolog khawatir bahwa PPKM Mikro tak cukup menekan kasus corona yang melonjak drastis di Indonesia sejak pertengahan Mei lalu. Kekhawatiran itu disebabkan karena inkonsistensi pemerintah selama ini dan ketiadaan payung hukum PPKM Mikro, menyebabkan pengawasan kebijakan ini lebih minim ketimbang Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) atau lockdown lewat UU Karantina Wilayah. "Kalau presiden memutuskan begitu (PPKM Mikro) jalanin aja yang benar. Di-monitoring. Selama ini kan enggak dijalanin, cuma diomongin," kata epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono, sembari menyebut bahwa penanganan corona dari pemerintah "cuma ngomong aja."

"PPKM Mikro ini apa, sih? Suruh kerja di rumah? Ya sudah, jalanin. Problemnya kan enggak pernah dijalanin. Enggak pernah diimplementasi, diawasi," pungkas dia.

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar