Satgas Didesak Serius Kembalikan Kerugian Uang Negara dari Kasus BLBI

Jum'at, 25/06/2021 14:59 WIB
Satgas didesak kembalikan kerugian keuangan negara (Foto: Dok net)

Satgas didesak kembalikan kerugian keuangan negara (Foto: Dok net)

Jakarta, law-justice.co - Pengembalian kerugian keuangan negara dari kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terus didesak oleh publik. Desakan itu ditujukan kepada
Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.

Pengamat kebijakan publik, Abdul Fatah mengatakan, Satgas BLBI diminta untuk bekerja secara optimal untuk mengupayakan pengembalian kerugian negara atas kasus BLBI yang sebelumnya telah dihentikan kasusnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena Mahkamah Agung (MA) telah memvonis bebas salah satu terdakwa.

"Korupsi BLBI merupakan salah satu mega korupsi di Indonesia dengan kerugian negara mencapai Rp 138 triliun lebih dari total Rp 144,37 triliun dana yang dikucurkan," ujar Fatah dalam talkshow bertajuk "Satgas BLBI: Kapan Bertindak?" yang digelar Lembaga Kajian dan Pemberdayaan Masyarakat bekerja sama dengan Radesa Institut, di kawasan Raden Saleh, Jakarta, Kamis (24/6/2021).

Menurut Fatah, terdapat dua obligator terbesar dalam kasus BLBI. Yaitu Sjamsul Nursalim yang sudah menerima kucuran dana BLBI sebesar Rp47 triliun dan perusahaan tekstil raksasa, Texmaco.

Kasus Texmaco sendiri kata Fatah, bermula pada 1997 saat perusahaan milik Marimutu Sinivasan itu mengajukan permohonan bantuan likuiditas kepada Bank Indonesia melalui Bank Negara Indonesia (BNI) sebesar 300 juta dolar AS untuk menuntaskan kewajiban jangka pendek berupa pelunasan commercial paper yang sudah jatuh tempo.

Tidak lama berselang masih kata Fatah, Texmaco kembali mengajukan Paket Analisa Kredit (PAK) atas fasilitas pre-shipment yang besarnya 516 juta dolar AS. Sehingga saat ini, total tagihan atas kredit macet texmaco mencapai Rp29 triliun.

"Berdasarkan informasi yang beredar saat ini banyak terjadi penjualan aset-aset Texmaco. Banyak karyawannya tidak mendapatkan gaji serta di PHK secara sepihak. Selain itu banyak lahan yang disewakan atau dipindah tangankan kepada pihak ketiga. Hal ini terjadi karena status Texmaco yang belum jelas secara hukum," jelas Fatah.

Selain itu sambung Fatah, salah satu masalah yang berkaitan dengan penyitaan aset adalah perihal hukum yang menyangkut perburuhan. Karena, jika pemerintah ingin melakukan penyitaan, maka harus melalui proses peradilan terlebih dahulu yang akan memakan waktu dan biaya.

Tak hanya itu, hambatan regulasi dan minimnya pengetahuan penegak hukum dapat menjadi batu sandungan pengembalian aset aset texmaco dalam skandal BLBI.

"Jika orientasinya adalah pengembalian aset, sebenarnya pemerintah dapat mengefektifkan peran lembaga Kejaksaan. Melalui Kejaksaan Bidang Tindak Pidana Khusus, pemerintah dapat menetapkan status pailit bagi perusahaan yang terlibat korupsi dan menggunakan delik perdata, bukan pidana. Hal ini akan dapat memastikan status hukum dan mempercepat pemulihan aset," terang Fatah.

Fatah pun kembali mengingatkan publik bahwa Presiden Joko Widodo pada akhir April 2021 lalu telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) 6/2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.

Dalam Keppres tersebut, terdapat lima menteri serta Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo sebagai pengarah Satgas dan sebagai ketua pelaksananya adalah Dirjen Kekayaan Negara yang bertugas untuk melakukan penelusuran semua aset negara yang berkaitan dengan BLBI.

Namun, sampai saat ini sebut Fatah, Dirjen Kekayaan Negara belum melaporkan hasil penyitaan aset BLBI. Padahal publik memiliki kekhawiran atas hilangnya aset-aset BLBI sebagaimana yang terjadi pada kasus Texmaco.

"Strategi pengembalian aset memalui penyitaan perlu mendapat perhatian publik. Selain itu, optimalisasi peran dan fungsi kejaksaan untuk mengembalikan aset-aset koruptor karena telah merugikan keuangan negara layanan mendapatkan perhatian," kata Fatah.

Sementara itu, Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Ucok Sky Khadafi mengatakan, kasus Texmaco dianggap sangat berbelit-belit dan merugikan negara. Sebab, aset yang diserahkan statusnya banyak yang tidak jelas sehingga tidak bisa diambil negara.

"Saya curiga jangan-jangan kasus Texmaco nanti mengikuti kasus Sjamsul Nursalim," kata Ucok.

Ucok menambahkan bahwa, ada dua cara untuk mengambil aset-aset Texmaco. Pertama, Satgas BLBI harus fokus pada pengembalian aset-aset Texmaco. Namun, Ucok menilai Satgas ini sangat “gemuk” dan menyertakan banyak unsur sehingga menghambat percepatan.

"Seharusnya Satgas ini orang yang paling punya otoritatif. Segera bergerak menyelamatkan aset-aset negara," tegas Ucok.

Ucok pun menilai bahwa KPK juga harus dilibatkan dalam Satgas tersebut karena banyaknya obligator yang tidak taat.

"Sebab, jika hanya mengandalkan Kejaksaan dikhawatirkan tidak maksimal. Jaksa harus mendata dulu aset-asetnya dan diprioritaskan mana yang gampang dilakukan penyitaan," pungkas Ucok.

Sepakat dengan itu, pengamat dari Paramadina Public Policy Institute, M. Ihsan menilai, secara umum aturan dan tata kelola penanganan krisis di Indonesia dianggapnya sudah jauh lebih baik.

Namun, beberapa hal perlu belajar dari negara lain seperti Korea Selatan dan Jepang. Pertama, kepercayaan publik perlu diraih dan dijaga. Kedua, waktu harus menjadi perhatian dalam mengatasi krisis. Ketiga, pertimbangan cash flow perlu menjadi fokus dalam pengambilan keputusan, selain kepastian hukum bagi para pihak.

"Terakhir, perbaikan sistem keuangan dan tata kelola agar risiko kegagalan dapat dicegah," ucap Ihsan.

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar