Ahli Pidana Firman Wijaya Nilai SP3 KPK dalam Kasus BLBI Prematur

Kamis, 24/06/2021 05:58 WIB
Ilustrasi: Unjuk rasa penuntasan kasus BLBI (Foto: Bisnis.com)

Ilustrasi: Unjuk rasa penuntasan kasus BLBI (Foto: Bisnis.com)

Jakarta, law-justice.co - Pakar pidana khusus dari Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), Firman Wijaya menilai prematur terkait surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan KPK dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Firman mengatakan penghentian penyidikan kasus BLBI mestinya dilakukan lewat proses peradilan. Cara itu dilakukan agar penanganan kasus dilihat secara berimbang dan komprehensif.

"Menurut saya terlalu prematur. Sebaiknya menggunakan proses peradilan supaya equal treatment," ujar Firman kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (23/6).

Firman merupakan saksi ahli yang dihadirkan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) selaku pemohon dalam lanjutan sidang gugatan penerbitan SP3 oleh KPK dalam kasus tersebut.

Ia mengaku khawatir, penerbitan SP3 di tengah proses penyidikan kasus BLBI akan memunculkan keraguan bagi publik terkait penanganan kasus pidana oleh KPK. Apalagi, BLBI merupakan kasus yang dalam beberapa tahun terakhir banyak menyita perhatian publik.

Jadi, menurut dia, selain harus ditangani lewat proses peradilan pidana, juga harus dibarengi dengan pengusutan untuk mengembalikan aset oleh pemerintah.

"Tidak hanya orangnya diadili. Tapi, aset kerugian negara harus bisa dipulihkan atau dikembalikan. Bahkan bisa follow the suspect, the documentt, and the money," kata dia.

Di sisi lain, Firman juga mengaku pesimistis Tim Satgas pemulihan aset BLBI yang dibentuk pemerintah akan bekerja maksimal. Menurut dia, tim tersebut mestinya tetap harus didukung dengan proses peradilan pidana.

Ia meyakini potensi kegagalan Satgas BLBI akan lebih tinggi jika tak dibarengi proses peradilan pidana. Menurut Firman, kasus BLBI bukan saja menyangkut kerugian lembaga perbankan yang hanya masuk ranah perdata, namun juga telah merugikan keuangan negara atau masyarakat.

"Jadi sebaiknya, tidak ada pemikiran bahwa perkara ini sudah berakhir. Tanpa ada pengembalian kerugian negara secara nyata," kata Firman.

"Jadi pemulihan kerugian negara itu hanya bisa dilakukan melalui instrumen tindak pidana korupsi," imbuhnya.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar