Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Soal Warisan Masalah Pemerintahan, Siapa yang Harus Menyelesaikan?

Minggu, 20/06/2021 06:09 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Baru-baru ini Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD  nampak makin rajin angkat bicara. Salah satu topik yang dibahas terkait dengan soal tanah di Indonesia yang banyak dikuasai oleh orang orang dari mancanegara. Ia menuding pengalihan tanah atau lahan ke negara asing paling banyak terjadi di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa.

Pernyataan dari Menkopolukam tersebut sebenarnya untuk menanggapi kritik yang diarahkan kepada pemerintah Jokowi  dimana 70 persen tanah negara saat ini disebut dikuasai oleh asing sehingga hanya 30 persen tanah yang dikuasai oleh negara.

Menurut Mahfud, pemerintahan Jokowi tidak pernah mengobral tanah ke orang orang dari mancanegara. Kasus pengobralan tanah ini dilakukan melalui perjanjian kontrak oleh pemerintahan sebelumnya."Nah sekarang kita buka data siapa yang ngobral-ngobral tanah itu? kita ini cuma kebagian limbahnya. Pada zaman Pak Jokowi pemberian HPH atau pemberian tanah itu nggak ada ," kata Mahfud saat menjadi pembicara dialog dengan Rektor UGM dan pimpinan PTN/PTS seluruh Yogyakarta yang ditayangkan YouTube Universitas Gadjah Mada pada Sabtu (5/6/2021).

Rasanya bukan Cuma Mahfud MD yang sering membuat pernyataan yang nadanya menyalahkan kinerja pemerintah sebelumnya.  Beberapa pejabat dilingkungan pemerintahan presiden bahkan presiden Jokowi sendiri sering melontarkan pernyataan serupa. Mereka acap kali membuat pernyataan seperti itu manakala mendapatkan kritik dari rakyatnya.

Mengapa pemerintah yang sekarang berkuasa hampir selalu menyalahkan kinerja pemerintah sebelumnya ?, Seperti  apa respons pihak  yang menjadi “tersangkanya “?. Siapa sebenarnya yang harus menyelesaikan warisan permasalahan pemerintahan ketika pemerintahan yang terdahulu sudah selesai masa pengabdiannya ?

Mencari Kambing Hitam

Bukan cuma soal tanah yang 70 persen dikuasai ole asing saja yang dikomentari oleh Mahfud MD melalui pernyataannya. Sebelumnya Menkopolhukam ini juga angkat bicara mengenai korupsi yang sekarang merajalela di Indonesia. Terjadinya korupsi yang lebih gila di era reformasi ini menurutnya jangan sampai  kemudian menyalahkan pemerintah yang sekarang berkuasa.

"Kenyataannya sekarang  korupsi  memang lebih gila dari zaman orde baru (orba). Mari kita lihat, orang harus faham ini agar tidak selalu menyalahkan pemerintah kok diam saja. Pemerintah tuh goblok kok BLBI dibiarkan berjalan sampai lama 20 tahun lamanya. Ini saya pikir Pak Jokowi baru jadi presiden 6 tahun, saya baru jadi menteri 1 tahun. Kalau 20 tahun berarti 16 tahun sebelumnya bukan urusan kita," ujarnya sebagaimana dikutip oleh media.

Menurut Mahfud, pemerintah sekarang justru diwarisi korupsi yang dilakukan dizaman pemerintah terdahulu termasuk zaman Orba . Salah satunya adalah kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Kata dia, banyak yang komplain mengapa kasus BLBI dibiarkan sampai puluhan tahun lamanya. Kemudian, dirinya menjelaskan kalau kasus BLBI merupakan limbah masa lalu yang harus dituntaskan penyelesaiannya."Kita justru diwarisi limbah yang harus diselesaikan seperti itu," katanya.

Kebiasaan menyalahkan kinerja pemerintah sebelumnya ini ternyata sudah berlangsung lama sejak periode pertama pemerintah presiden Jokowi berkuasa. Pada bulan Juni 2015 yang lalu, mantan Menteri ESDM Sudirman Said juga melakukan hal yang sama. Saat itu terkait dengan persoalan pembubaran PT Pertamina Energy Trading (Petral)  yang merupakan anak usaha PT Pertamina.

Menteri ESDM Sudirman Said saat itu  menyebut pemerintah sebelum era Jokowi-JK punya peran mempertahankan  Petral yang disebut sebut sebagai sarang mafia.Dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR Selasa (9/6/15), Sudirman Said menegaskan pentingnya komitmen pimpinan sebagai syarat membereskan masalah Petral, karena hal tersebut menurutnya  tidak terlihat di presiden sebelumnya.

Dia menegaskan, kesaksiannya bukan cuma isapan jempol karena pernah berada di Pertamina. ’’Saya korban proses itu. Saya siap jelaskan kenapa cukup yakin bahwa banyak inisiatif baik terhenti di kantor presiden,’’ tegasnya. 

Meskipun tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai  makna “kantor Presiden” yang dimaksudnya namun arahnya nampak jelas mengarah kepada kantor presiden sebelumnya yaitu ketika Presiden SBY berkuasa.

Upaya mencari kambing hitam pemerintah sebelumya juga terjadi saat  Darmin Nasution ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Menko Perekonomiannya. Pada waktu itu ia menyatakan bahwa  perlambatan ekonomi yang menghantam menjabat Indonesia sebenarnya bisa dihindari atau diantisipasi agar tidak jadi lebih buruk lagi kondisinya. Caranya, memperkuat sektor industri hilirisasi tambang, contohnya dengan pembangunan smelter alias pengolahan barang tambang sehingga pemerintah tidak melulu mengandalkan ekspor komoditas bahan mentah seperti timah misalnya.

Hal tersebut menurutnya penting karena Indonesia sudah lama terlena dengan barang-barang impor dari mancanegara. Dalam hal ini menurutnya pemerintah SBY telat mengantisipasi nya. Karena itu, di saat harga komoditas ekspor yang jadi andalan anjlok di pasar dunia, terasa betul hantamannya bagi ekonomi Indonesia.

"Saya menyayangkan pada pemerintahan Pak SBY itu agak terlambat untuk meng-enforceUndang-Undang Minerba, sehingga baru dimulai pada tahun terakhirnya. Dan lebih repot lagi, momentumnya pada saat melambatnya sudah ekonomi dunia. Itu membuat komplikasinya makin banyak saja" ungkapnya.

Ternyata soal hobi menyalahkan pemerintah sebelumnya ini bukan hanya diperlihatkan oleh para Menterinya  saja tetapi juga oleh top leadernya yaitu  Presiden yang sekarang berkuasa. Suatu kali dalam sebuah pidatonya Jokowi pernah menyindir  pendahulunya dengan membandingkan soal kepemimpinan yang dipercaya rakyat  dengan kepemimpinan tirani di suatu negara.

Menurutnya, kepemimpinan yang dipercaya rakyat  diperoleh melalui kesadaran rakyat atas tujuan tujuan negara."Sementara kepemimpinan tirani adalah membungkam kesadaran rakyat bisa itu dengan bayonet atau pencitraan tanpa kerja," katanya. Saat itu banyak yang menduga arah sindiran Jokowi dialamatkan ke presiden sebelunya yang dianggap lebih banyak menabur pencitraan daripada sibuk kerja.

Sindiran presiden Jokowi juga dilakukan pada saat ia mengambil kebijakan untuk menaikkan harga BBM ditengah kritik kritik tajam yang ditujukan kepadanya. Jokowi saat itu sempat mengatakan dirinya siap menjadi tak populer gara-gara kebijakan pemerintahannya yang bertentangan dengan aspirasi massa. "Kenapa yang dulu-dulu tidak berani melakukan ini, karena masalah popularitas," begitu katanya.

Jokowi memang tidak menunjuk langsung siapa orang yang dia maksud takut kehilangan popularitasnya. Tapi jelas itu mengarahkan ke SBY karena saat pemerintahannya berkuasa tidak segera mengalihkan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke subsidi yang lebih bersifat produktif sifatnya.

Saat itu Jokowi mengaku sudah banyak diingatkan jika menerapkan kebijakan pengalihan subsidi BBM dari konsumtif ke produktif maka popularitasnya akan jatuh dan akan banyak penentangnya. Namun, Jokowi tak menghiraukannya."Tapi, saya sampaikan bahwa itu risiko sebuah keputusan," tegasnya.

Presiden Jokowi juga pernah mempersoalkan masalah utang yang sedang menjerat Indonesia. Dalam pidato pidato di Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika, Presiden Jokowi mengeritik keras keberadaan lembaga keuangan internasional seperti  IMF,  ADB dan Bank Dunia. Pidato ini ditangkap oleh sejumlah kalangan bahwa Jokowi memulai sikap anti terhadap keberadaan lembaga keuangan dunia.

Saat itu ia menyebut Indonesia masih berutang pada lembaga keuangan internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB)  sehingga mengusik ketenangan pemerintah sebelumnya yang merasa tersindir dengan pernyataannya.

Nuansa yang bernada menyalahkan pemerintah sebelumnya ini kalau dirinci memang banyak sekali terucap dari pemerintah yang sekarang berkuasa termasuk persoalan yang saat ini membelit PT. Asuransi Jiwasraya. Dalam hal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui kasus gagal bayar polis asuransi oleh PT Asuransi Jiwasraya (persero) bukan perkara ringan. Presiden melihat bahwa persoalan keuangan yang membelit Jiwasraya sebetulnya mulai terjadi sekitar 10 tahun lalu saat sebelum ia berkuasa.

Namun, dalam tiga tahun ini kondisinya memburuk dan pemerintah berkomitmen untuk mencarikan solusinya. "Ini bukan masalah ringan. Namun, setelah pelantikan, Pak Menteri BUMN, kemarin kita sudah rapat dengan Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan. Gambaran solusinya sudah ada. Masih dalam proses," ujar Jokowi di Balikpapan, Rabu (18/12/2019).

Respon “Tersangka”

Mendapatkan serangan bertubi tubi yang dialamatkan kepada pemerintahannya, seolah olah pemerintah SBY menjadi “tersangka” saja. Karena setiap kali muncul permasalahan yang terjadi pada pemerintahan saat ini yang kemudian menuai kritik dari rakyatnya, pemerintah yang berkuasa buru buru mencari cara menghindar dengan menyalahkan pemerintahan sebelumnya.

Sering dijadikan sebagai kambing hitam atas permasalahan bangsa tidak membuat kubu SBY dengan lapang dada bisa menerimanya. Dalam banyak kesempatan, tudingan itu dibalasnya dengan tantangan untuk membuktikannya.

Sebagai contoh pernyataan Mahfud MD yang menyebut sebanyak 70 persen tanah negara dikuasai asing dan itu terjadi ;pada masa pemerintahan SBY mendapatkan reaksi keras dari Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu)  Partai Demokrat Andi Arief lewat pernyataannya. Andi Arief meminta Mahfud MD membuktikan ucapannya ."Pak Mahfud suruh membuktikan saja," kata Andi seperti dikutip  Tribunnews.com, Minggu (6/6/2021).

Bahkan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Irwan meminta Menko Polhukam Mahfud MD untuk tidak membuat pernyataan yang tidak berdasar fakta.Dalam pernyataannya, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat itu mengatakan kalau Mahfud MD tidak bisa membedakan antara Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan HGU alias Hak Guna Usaha.

"HPH itu izinnya di kawasan hutan. Jadi, bukan penguasaan atas tanah di Areal Penggunaan Lain, tetapi hanya hak untuk mengusahakan hutan atau memanfaatkan potensi kayu di dalam kawasan hutan," kata Irwan melalui keterangan resminya dikutip media, Senin (7/6/2021).

Sementara itu terkait dengan  pernyataan Mahfud MD yang menyebut l korupsi yang makin menggila saat ini dan lebih parah dari masa Orba, ditanggapi oleh Politisi Partai Demokrat Benny K Harman melalui akun twiternya. 

Benny menilai merajalelanya korupsi justru terjadi karena  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) `mati kutu` di era kepemimpinan Joko Widodo sebagai Kepala Negara dan Mahfud MD sebagai Menkopolhukam-nya. Hal itu diungkapkannya melalui akun Twitternya, Rabu (26/5/2021) pukul 18.55 WIB. 

Wakil Ketua Komisi III DPR itu mengatakan bahwa pada awalnya dia menilai Presiden Jokowi akan sungguh memperkuat KPK. Apalagi, jelas dia, Mahfud MD telah ditunjuk sebagai Menkopolhukam dalam kabinet Indonesia Maju yang dibentuk Jokowi bersama Wakilnya. Namun, dia mengatakan bahwa prediksinya tersebut meleset dari perkiraan semula.

"Semula saya pikir Presiden Jokowi  bakal benar benar akan melindungi dan memperkuat KPK. Apalagi dengan diangkatnya Prof Mahfud MD jadi Menkopolhukam di periode kedua . Ternyata perkiraan saya meleset. Di tangan mereka berdua KPK mati kutu," tulisnya di Twitternya. 

Lalu bagaimana halnya tanggapan SBY ketika Menteri ESDM Sudirman Said  menyatakan bahwa upaya pembubaran Petral  berhenti dimejanya ?."Saya amat terkejut dengan pernyataan Menteri ESDM Sudirman Said yang menyerang dan mendiskreditkan saya, ketika menjadi Presiden dulu," demikian kicau SBY dalam akun Twitter-nya.

Saat itu SBY berharap Sudirman Said memberikan klarifikasi atas apa yang dimaksudkannya. Sebab, SBY mengaku saat masih menjadi presiden menginginkan penyimpangan apapun akan diberantasnya. "Saya bahkan membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, yang hakikatnya memberantas kejahatan dan penyimpangan apapun," katanya.

"Tidak ada yang mengusulkan ke saya agar Petral dibubarkan, saya ulangi, tidak ada. Kalau ada pasti sudah saya tanggapi secara serius" katanya.Mantan Ketua Umum Partai Demokrat ini mengaku tertib dalam manajemen pemerintahan yang dijalankannnya. Isu serius seperti mafia migas, pasti akan diresponsnya. Karenanya, kata SBY, tidak mungkin usul pembubaran Petral di era kepemimpinannya berhenti di mejanya.

Sementara itu terkait dengan isu utang negara, SBY melalui akun facebooknya, mengoreksi pernyataan Jokowi menyangkut utang Indonesia ke IMF. Menurutnya, seluruh utang Indonesia sebesar USD 9,1 miliar atau setara Rp 117 triliun sudah dilunasinya.

"Maaf, demi tegaknya kebenaran, saya harus mengatakan bahwa seluruh utang Indonesia kepada IMF sudah kita lunasi pada tahun 2006 lalu atau 4 tahun lebih cepat dari jadwal yang ada," tulisnya. "Sejak itu kita tidak lagi jadi pasien IMF lagi,"imbuhnya.

Seringnya pemerintah yang sekarang berkuasa menyalahkan pemerintahan sebelumnya berimbas pada hubungan antara Presiden Jokowi dan SBY yang telah digantikannya.Alhasil, sejauh ini meskipun terlihat  hubungan yang harmonis antara Presiden Jokowi dan Mantan Presiden SBY tapi banyak yang meyakini hubungan itu sebenarnya tak seperti yang tampak terlihat di media.

Sikap `mesra` tersebut sepertinya hanya untuk  ditunjukkan di panggung depan saja.Nyatanya, baik pihak SBY maupun Jokowi sudah sering  kerap terlihat saling sindir dan menyalahkan dalam segala sesuatu yang dianggap buruk untuk negara. Mungkin puncaknya adalah ketika partai Demokrat di obok obok oleh Moeldoko yang diduga ada peran istana didalamnya.

Diluar respons yang di sampaikan oleh pihak yang menjadi “tersangka”, sebenarnya ada pesan pesan yang masyarakat bisa mengkritisinya. Apakah pemerintahan yang sekarang berkuasa memang lebih baik dari pemerintah sebelumnya dalam menanganani persoalan yang sama. Sebagai contoh soal tanah negara yang katanya 70 persen dikuasai oleh asing, apakah pemerintah yang sekarang berkuasa memang sudah berusaha untuk mencegah atau menyelesaikan masalahnya ?. 

Pada kenyataannya dalam UU Omnibuslaw Cipta kerja yang dihasilkan oleh pemerintah yang sekarang berkuasa memuat ketentuan yang justru bisa membuka peluang untuk perluasan penguasaan asing atas tanah tanah yang ada di Indonesia. 

Pasal 127 ayat 3 disebutkan bahwa jangka waktu hak atas tanah berupa Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bagunan (HGB), dan Hak Pakai diatas HPL diberikan selama 90 tahun sebagai suatu cara memikat hati investor termasuk investor dari mancanegara. 

Meskipun ketentuan tersebut sebenarnya bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), namun nyatanya tetap di akomodasi sebagai bagian dari pemberian karpet merah untuk investor khususnya dari mancanegara.  Sehingga sering disebut ketentuan ini beraroma kolonial karena lebi panjang masa berlakunya. Kalau zaman Belanda hanya berlaku  75 tahun maksimal, kini dizaman merdeka malah lebih lama.

Selain soal tanah negara, bisa dikritisi juga soal utang antara pemerintah sekarang dan sebelumnya. Seperti diketahui, diakhir masa pemerintahannya, SBY mewariskan utang ke pemerintah Jokowi sebesar Rp2.608,8 triliun.

Utang yang sudah cukup besar itu makin ditambah jumlanya oleh pemerintah Jokowi yang menggantikannya.Sampai dengan bulan April 2021, Kementerian Keuangan mencatat posisi utang Indonesia mencapai Rp6.527,29 triliun jumlahnya. Angka ini diperkirakan akan  terus bertambah sehingga diperkirakan di akhir periode, pemerintahan Jokowi  akan mewariskan lebih dari Rp10.000 triliun kepada presiden berikutnya.

Dari angka tersebut terlihat lonjakan penambahan utang yang luar biasa besarnya dari pemerintahan yang sekarang berkuasa. Apakah nantinya warisan utang  yang begitu besar ini akan mampu dilunasi atau paling tidak dicicil pembayarannya atau justru mewarisakan kepada pemerintah sesudahnya. Kalau sudah begitu bersediakah kiranya  pemerintah yang sekarang disalahkan oleh pemerintah yang akan menggantikannya ?

Tanggungjawab Siapa ?

Seyogyanya suatu pemerintahan yang telah terpilih dalam suatu pemilu harus bersedia menanggung konsekuensi dari keterpilihannya. Termasuk tentunya menanggung warisan masalah dari pemerintah yang telah digantikannya. Karena logikanya ketika ia mencalonkan diri sebagai seorang pemimpin, sudah tergambar dalam benaknya situasi dan kondisi yang akan dihadapinya.

Oleh karena itu jangan melihat sisi enaknya saja tetapi juga sisi tidak enaknya. Kalau sisi enaknya seorang pemimpin yang terpilih akan mendapatkan  kewenangan dan kekuasaan untuk mengatur bangsa dan negara. Tetapi dalam kewenangan dan kekuasaan yang diperoleh itu terkandung makna tanggungjawab pula untuk menyelesaikan sisa permasalahan yang ditinggalkan oleh pemerintah sebelumnya.

Seseorang yang akan maju menjadi calon pemimpin bangsa semestinya sudah harus maklum dan sadar dengan warisan permasalahan bangsa yang akan diterimanya. Sehingga ia sudah harus bersedia menanggung konsekuensi dan resikonya.

Karenanya  mereka yang ngotot ingin jadi pemimpin semestinya menakar juga kemampuannya untuk menjadi pemimpin bangsa sehingga tidak menjadi seorang yang mempunyai ambisi buta tanpa perhitungan matang dari sisi kemampuannya kecuali  ia hanya  seorang pemimpin boneka.

Kadang kadang kita miris melihat calon pemimpin yang berapi api dalam kampanye dengan seribu janji surganya. Pada hal dihadapannya ada setumpuk masalah yang harus diselesaikannya demi mencapai tujuan berbangsa dan bernegara.

Rasanya tidak elok jika seorang pemimpin  setelah terpilih lalu tidak mampu menyelesaikan masalah  bangsa kemudian mencari kambing hitamnya yaitu pemerintah sebelumnya. Soalnya jika masing masing presiden yang terplih selalu menyalahkan pemerintahan yang digantikannya, akan terasa aneh dan janggal jadinya.

Kalau ini yang terjadi maka mantan presiden  SBY bisa menyalahkan Megawati, Megawati menyalahkan Gus Dur, Gus Dur menyalahkan Habibie, Habibie menyalahkan Soeharto, Soeharto menyalahkan Soekarno, Soekarno menyalahkan penjajah Belanda. Apa memang harus demikian ceritanya ?

Sikap yang selalu menyalahkan kinerja pemerintah sebelumnya sesungguhnya  bisa mencerminkan ketidakmampuannya. Ibarat buruk rupa cermin dibelah begitulah kira kira gambarannya. Lagi pula kalau pemerintahan yang sedang berkuasa itu sampai akhir masa jabatannya tidak mampu menyelesaikan masalah masalah yang ada, apakah mau ia disalahkan oleh pemerintahan yang menggantikannya ?

Akan lebih bijak kiranya kalau pemerintahan yang terpilih fokus bekerja menyelesaikan permasalahan bangsa tanpa harus mencari kambing hitam menyalahkan pemerintah sebelumnya. Lagi pula setiap pemerintahan akan mempunyai tantangan yang berbeda beda. 

Justru dengan kondisi  tersebut  dituntut kerja keras dan keseriusan untuk membuktikannya. Yaitu membuktikan bahwa dirinya memang mampu menyelesaikan masalah masalah yang dihadapi oleh bangsa dan negara termasuk menyelesaikan masalah bangsa warisan dari pemerintah sebelumnya.

Kalau sang pemimpin setelah terpilih ternyata terkesan “menghindar” dari tanggungjawabnya untuk menyelesaikan  warisan masalah pemerintah sebelumnya (termasuk masalah pertanggungjawaban hukum nya), maka patut di duga ia hanyalah seorang pemimpin boneka yang ngotot maju menjadi pemimpin bangsa karena merasa ada bandar atau dalang yang bersedia membekinginya. 

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar