Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Pergantian Panglima TNI Disaat Kekhawatiran Tentara Jadi Alat Penguasa

Kamis, 17/06/2021 10:20 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J. Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J. Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Masa pensiun Marsekal TNI Dr. (H.C.) Hadi Tjahjanto, S. IP yang kian dekat kembali menghangatkan bursa calon Panglima TNI yang bakal menggantikannya. Sejauh ini ada tiga calon yang digadang gadang bakal menduduki posisi panglima TNI yang ditinggalkannya. Mereka adalah  KASAL Laksamana Yudo Margono, KASAU Marsekal Fadjar Prasetyo dan KASAD Jenderal Andika Perkasa.

Diantara ketiga kandidat tersebut, salah satunya nanti akan dipilih oleh Presiden Jokowi sebagai panglima tertinggi  Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Berbagai pertimbangan, juga bisikan, bisa jadi telah lama sampai ke telinga Presiden Jokowi untuk menentukan siapa kira kira panglima TNI yang akan dipilihnya.

Terkait dengan  penggantian panglima TNI ini bagaimana sebenarnya ketentuan hukum mengaturnya ?,Diantara ketiga calon yang ada siapa kira kira kandidat paling kuat yang akan dipilih presiden, apa pertimbangannya ?. Apakah terpilihnya panglima TNI yang baru bisa berpeluang jadi alat bagi penguasa  untuk mempertahankan kursi kekuasaannya ?. Seperti apa panglima TNI harapan rakyat Indonesia ?

Aturan Hukum 

Panglima adalah pemimpin  yang siap terjun di medan laga, bukan hanya ayunkan tongkat komando, perintah sana dan perintah sini tanpa ikut merasakan derita dalam menjalankan tugasnya. Panglima, adalah orang yang pertamakali siap menderita setelah seluruh prajuritnya hidup bahagia.

Pergantian Panglima TNI merupakan hak prerogratif Presiden Joko Widodo, namun mesti merujuk pada UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Ada sepuluh ayat dalam pasal 13 UU tersebut yang mengatur  pergantian panglima TNI mulai dari TNI dipimpin oleh seorang Panglima, pengangkatan dan pemberhentian Panglima, perwira tinggi dapat tiap-tiap angkatan dapat bergantian menjabat Panglima.

Dalam pasal tersebut juga diatur proses pengajuan nama calon Panglima.Ini  dia rinciannya: Pasal 13 UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia:

(1).TNI dipimpin oleh seorang Panglima.

(2).Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3).Pengangkatan dan pemberhentian Panglima dilakukan berdasarkan kepentingan organisasi TNI.

(4).Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.

(5).Untuk mengangkat Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden mengusulkan satu orang calon Panglima untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(6).Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap calon Panglima yang dipilih oleh Presiden, disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari tidak termasuk masa reses, terhitung sejak permohonan persetujuan calon Panglima diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

(7).Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui calon Panglima yang diusulkan oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Presiden mengusulkan satu orang calon lain sebagai pengganti.

(8).Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui calon Panglima yang diusulkan oleh Presiden, DewanPerwakilan Rakyat memberikan alasan tertulis yang menjelaskan ketidaksetujuannya.

(9).Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan jawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dianggap telah menyetujui, selanjutnya Presiden berwenang mengangkat Panglima baru dan memberhentikan Panglima lama.

(10). Tata cara pengangkatan dan pemberhentian Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9), diatur lebih lanjut dengan keputusan Presiden.

Berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (2) UU tentang TNI dinyatakan bahwa : “Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.  

Sedangkan ayat (4) menyebutkan, “Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan”.

Ada sebuah tradisi dimana pergantian panglima TNI dilakukan secara bergantian dari ketiga angkatan yang dimulai sejak era Presiden Abdurahman Wahid hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa.

Sejak reformasi 1998, Panglima TNI dijabat dari tiga matra laut, darat, dan udara secara bergantian dimulai dari  Widodo Adi Sutjipto (TNI AL) 1999-2002,Endriartono Sutarto (TNI AD) 2002-2006,Djoko Suyanto (TNI AU) 2006-2007, Djoko Santoso (TNI AD) 2007-2010, Agus Suhartono (TNI AL) 2010-2013,Moeldoko (TNI AD) 2013-2015,Gatot Nurmantyo (TNI AD) 2015-2017 dan Hadi Tjahjanto (TNI AU) 2017-sekarang

Apakah tradisi memilih panglima TNI secara bergiliran diantara tiga angkatan itu memang suatu keharusan ?. Pernah diberitakan Kompas.com pada 10 Juni 2015, saat itu Wakil Presiden Jusuf Kalla membantah jika Presiden Joko Widodo dinilai mendobrak tradisi menggilir angkatan dalam menentukan calon panglima TNI yang menjadi pilihannya.

Menurut Kalla, pola penggiliran angkatan tersebut tidak diatur dalam ketentuan yang ada. Dulu tradisi itu sebenarnya juga tidak pasti, waktu zaman Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) memang ada, tapi ada juga yang duoble (gilirannya)" kata Kalla di Jakarta, Rabu (10/6/2015).

Apa yang dinyatakan oleh mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla cukup beralasan karena dalam ayat (4) pasal 13 UU 34/2004 tentang TNI hanya menyebutkan, “Jabatan Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh Perwira Tinggi aktif dari tiap-tiap Angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan”, sehingga tidak ada keharusan untuk menggilir diantara tiga angkatan yang ada. Semuanya diserahkan kepada presiden yang mempunyai hak prerogatif dalam menentukan siapa panglima TNI yang dipilihnya.

Kandidat Terkuat dan Kontroversi yang Mengiringinya

Ada  tiga nama yang mewakili angkatan masing-masing dalam pergantian panglima TNI kali ini yakni KASAU Marsekal Fadjar Prasetyo, dan KASAL Laksamana Yudo Margono dan KASAD Jenderal Andika Perkasa,. 

Diantara ketiga nama tersebut, kini kandidat sudah mulai mengerucut lagi menjadi dua yaitu KASAL Laksamana Yudo Margono dan KASAD Jenderal Andika Perkasa.Diantara keduanya, nama KASAD Jenderal Andika Perkasa disebut sebut yang  lebih terbuka  peluangnya.

Politisi PDIP, Effendi Simbolon dan pengamat militer Aris Santoso seperti dikutip surya.co.id 13/05/21 menyebut 3 alasan utama mengapa Andika Perkasa lebih terbuka peluangnya. Yang pertama,Jenderal Andika Perkasa sudah memimpin matra TNI AD selama dua tahun lamanya. Sementara rivalnya  Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo baru dilantik Presiden Jokowi pada 20 Mei 2020.

Alasan kedua Jenderal Andika perkasa layak menjabat Panglima TNI diungkapkan oleh Pengamat militer Aris Santoso, yakni karena populer di media. Ketiga, menurut  Aris, Jenderal Andika Perkasa dianggap berhasil melakukan berbagai terobosan selama memimpin Angkatan Darat  melalui program kerjanya. 

Dalam kaitan ini Andika dinilai berhasil dalam negosiasi terkait pangkat dan jabatan di TNI. Pada periode kepemimpinan Andika telah terjadi terobosan signifikan, yakni adanya validasi organisasi (satuan) yang berdampak pada sejumlah jabatan dan pangkat. Sederhananya, Andika berhasil memberi solusi cepat bagi problem berlarut di TNI AD, yaitu surplus pati (Perwira Tinggi) yang sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya.

Problem surplus Pati juga terjadi di matra lain, namun matra darat jelas lebih akut, mengingat jumlah perwiranya juga jauh lebih banyak dibanding matra lainnya. Pada titik ini peran Andika terlihat kental, negosiasi dan solusi yang semula diutamakan untuk matra darat, kemudian juga berdampak pada matra lain. Artinya, validasi organisasi dan jabatan juga menyentuh matra laut dan matra udara.

Selain prestasinya tersebut, sudah sejak lama Andika memang dikenal sebagai sosok tentara yang begitu moncer perjalanan kariernya. Lulusan Akademi Militer tahun 1987 itu mengawali kariernya dengan bergabung di satuan elit Komando Pasukan Khusus (Kopassus) sebagai komandan peleton disana. 

Andika malang melintang di Kopassus selama 12 tahun dengan menduduki berbagai jabatan. Jabatan terakhir Andika di Korps Baret Merah itu sebagai Danton 32 Grup 3/Sandha Kopassus di tahun 2002.

Semasa di Kopassus, dia menjalani beragam operasi militer. Operasi teritorial di Timor Timur tahun 1992, operasi bakti TNI di Aceh (1994) dan misi operasi khusus di Papua adalah beberapa catatan yang pernah dijalaninya. Andika juga pernah memimpin penangkapan pimpinan Al Qaeda, Omar Al-Faruq, di Bogor pada 2002.

Dari sisi akademis, Andika Perkasa juga punya prestasi yang membanggakan diantaranya merupakan lulusan terbaik Sekolah Staf Komando TNI Angkatan Darat (Seskoad) tahun 2000.  Gelar Master of Science (MSc) dan Doctor of Philosophy (Phd) dia peroleh dari universitas ternama di dunia, Harvard University Amerika.

Karier Andika melesat seperti meteor dimulai sejak mendapat promosi sebagai komandan Korem 023/Kawal Samudera di Sibolga.Tak sampai setahun,  atau tepatnya 8 November 2013, Andika diangkat menjadi Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) dan pangkatnya naik menjadi brigadir jenderal.

Juga tak sampai setahun sejak menjabat Kadispenad, karir Andika kembali naik saat diangkat menjadi Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) pada 22 Oktober 2014 atau hanya dua hari setelah Jokowi Widodo dan Jusuf Kalla dilantik menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia. 

Tak berangsur lama, ia kemudian dilantik sebagai Pangdam XII/Tanjungpura hingga pada 15 Januari 2018, Andika Perkasa dipromosikan menjadi Komandan Kodiklat TNI-AD.  Pada jabatan baru ini, pangkatnya sekaligus naik menjadi Letnan Jenderal.

Melesatnya karier Andika disebut sebut karena adanya  peran dari orang berpengaruh di belakangnya. Orang berpengaruh itu adalah Jenderal Hendropriyono yang merupakan mantan Kepala BIN (Badan Intelijen Negara) sekaligus tokoh yang berjasa mengantarkan Jokowi menjadi Presiden Indonesia. Kebetulan Andika sendiri adalah merupakan mantunya.

Meskipun kaitan hubungan antara perjalanan karier Andika dengan peran mertunya ini belum bisa dibuktikan kebenarannya namun media sudah beberapa kali mengendus indikasinya.

Dulu ketika Andika diangkat Presiden Jokowi sebagai  Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), disebut sebut ada peran Jenderal Hendropriyono disana. Saat itu ramai  isu soal adanya peran eks Kepala BIN, AM Hendropriyono, di balik penunjukannya sebagai KSAD.

"Itu tadi monggo, mau ngomong apa juga, saya gini, dari dulu juga gini. Nggak ada yang saya komentar lagi, terserah," ujar Andika seusai pelantikan di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Kamis (22/11/2018) sebagaimana dikutip detiknews, 22/11/18.

Saat ini ditengah tengah rencana  penggantian panglima TNI, Mantan Kepala Badan Intelijen Negara Abdullah Mahmud Hendropriyono disebut-sebut juga melobi Presiden Joko Widodo terkait jabatan Panglima TNI. Dia diisukan kasak-kusuk agar jabatan Panglima TNI diberikan kepada Jenderal TNI Andika Perkasa.

Namun lagi lagi isu itu  dibantahnya. Hendropriyono menjelaskan, pertemuan yang terjadi Jumat, 7 Mei 2021 itu terkait dengan perayaan hari ulang tahunnya."Pertemuan pada 7 Mei 2021 berkaitan dengan HUT saya yang ke 76. Sebagai Presiden, tidak mungkin beliau yang datang ke rumah saya. Silaturahmi sebagai dua sahabat adalah hal yang biasa, karena Pak Jokowi setelah menjadi Presiden tidak berubah sama sekali dengan sewaktu dulu sebagai rakyat biasa," tutur dia.

Apakah memang benar pertemuan itu hanya silaturahmi biasa atau mengandung lobi lobi dialamnya, kiranya publik bisa menilainya.Karena dibalik itu semua ada misteri terselubung yang tidak semua orang mampu membacanya.

Yang jelas selain dinilai mempunyai utang karier pada mertuanya, Andika juga disebut memiliki catatan hitam dalam pelanggaran HAM (hak azasi manusia).  Pada 2005 silam, editor The Washington Post, Dana Priest, melaporkan tentang program dinas rahasia AS, CIA, untuk mengamankan kerjasama dengan berbagai dinas intelijen di berbagai negara dalam perang melawan teror, termasuk dengan BIN (Badan Intelijen Negara).

Saat itu Hendroprioyono sebagai kepala BIN disebut mengajukan permintaan spesial kepada George Tennet, Direktur CIA, yakni menyediakan modal awal untuk pembangunan sekolah intelijen di Batam dan menjamin seorang kerabatnya mendapat tempat di universitas terkemuka Amerika.

"Ketika nilainya menjadi hambatan, Direktur CIA mengatur agar dia bisa masuk ke National War College di Fort McNair, tutur empat sumber," demikian tulis Priest dalam laporan yang memenangkan hadiah Pulitzer tersebut. Berbagai pihak berspekulasi Andika Perkasa yang lulus dari NWC pada 2004 merupakan kerabat yang dimaksudkannya.

Buah kerjasama itu adalah penangkapan Omar al-Faruq, tangan kanan Osama Bin Laden, di Bogor yang dipimpin Andika pada 2002. Uniknya penangkapan tersebut diperintahkan oleh BIN yang notabene tidak memiliki kewenangan menggerakkan pasukan TNI.

Namun jejak abu-abu Andika Perkasa terutama terekam pada kasus pembunuhan Theys Eulay tokoh Papua . Dia meregang nyawa usai menghadiri undangan peringatan Hari Pahlawan di markas Kopassus di Jayapura. 

Surat yang dikirim oleh Agus Zihof, ayah seorang terdakwa, Kapten Inf. Rionardo, menyeret nama Andika ke pusaran hitam pelanggaran HAM di Papua. Surat Agus kepada Kasad Ryamizard Ryacudu itu mengisahkan betapa anaknya dipaksa mengakui pembunuhan Theys oleh seorang yang bernama Mayor Andika.

Jika bersedia, Rionardo, kata sang ayah, dijanjikan karir cemerlang di Badan Intelijen Negara. "Andika menjanjikan anak saya posisi yang baik di BIN karena ayahnya memegang jabatan tinggi di sana," tulis Agus dalam surat yang juga dibocorkan ke berbagai media.

Meski demikian tim penyelidik khusus yang dibentuk untuk mengungkap dalang pembunuhan Theys Eulay menolak untuk memeriksa Andika. "Tapi kalau kita tarik berbagai titik dan cek latar belakang pribadinya sebagai menantu Hendropriyono, memang sulit membantah bahwa Andika bermasalah dalam catatan Hak Asasi Manusia," kata Direktur Riset Setara Institute, Halili, sebagaimana dikutip dw.com 22/11/18.

Sebab itu pula Presiden Joko Widodo dianggap tidak memiliki "keberpihakan yang jelas kepada aspirasi publik mengenai catatan pelanggaran HAM," begitu katanya. "Begitu banyak jendral yang bermasalah tapi diangkat oleh pak Jokowi," imbuhnya. "Dan pengangkatan Andika ini hanya menegaskan saja."

Sebab itu pula Setara Institute menyangsikan Jokowi akan mampu menuntaskan kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua . "Ada begitu banyak kejahatan HAM masa lalu yang tidak ditanggapi secara proporsional oleh presiden, antara lain karena ada banyak beban sejarah di orang-orang di sekitar dia," katanya.

Beberapa tahun silam  Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut Presiden Joko Widodo "mulai pamrih" dengan mengangkat kerabat salah seorang anggota tim suksesnya sebagai Komandan Pasukan Pengamanannya.

Kemudian presiden menghadapi hujatan serupa ketika mengangkat orang yang sama sebagai orang nomor satu di angkatan darat dan hal serupa mungkin juga akan terjadi ketika Jokowi nanti memilih Andika sebagai panglima TNI menggantikan Jenderal Hadi Tjahyanto yang akan segera mengakhiri masa tugasnya.

Sebenarnya tidak masalah mengangkat keluarga kerabat tim sukses sebagai orang orangnya karena hal itu sebagai bagian dari bentuk rasa  terima kasih dan sekaligus balas jasa. Wujud dari simboisis mutualisma antara Presiden dan mantan tim suksesnya. Yang paling dikuatirkan adalah ketika pengangkatan itu menjadikan posisi panglima TNI sebagai alat untuk semata mata demi menjaga kekuasaan dan bukan sebagai ladang pengabdian bagi bangsa dan negara.

Alat Politik

Kekhwatiran TNI dijadikan sebagai alat alat politik bukan alat negara pernah disampaikan oleh Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, ketua presidium  KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia. Ia menyebut, TNI kini sudah berubah menjadi alat propaganda politik penguasa.

Hanya saja, Gatot tak menyebut secara gamblang bahwa pemerintah yang ia maksud adalah pemerintahan yang kini sedang berkuasa. “Kalau kita melihat perkembangan situasi yang terjadi akhir-akhir ini ada warning, peringatan, bahwa TNI telah terlihat menjadi seperti pada tahun orde baru yang lalu,” katanya.

Gatot menduga, ada sejumlah pihak tertentu yang berusaha menjadikan TNI sebagai kekuatan politik seperti jaman Orba. Padahal, usaha demikian inilah yang membuat TNI, yang dulu bernama ABRI, jatuh pada titik terendahnya. “Inilah yang dulu menyebabkan ABRI jatuh pada titik paling rendah,” ucap Gatot seperti dikutip PojokSatu (Jawa Pos Group), Sabtu (5/12/20).

Karena itu, Gatot menekankan bahwa profesionalisme TNI harus dijaga. Tujuannya, tidak lain agar TNI tidak kembali berada di titik terendahnya. Hal itu, sambungnya, bukan hanya menjadi tanggungjawab anggota TNI saja. Melainkan juga harus dilakukan pihak di luar TNI. “Menjaga profesionalisme TNI bukan tanggung jawab TNI, tapi seluruh komponen bangsa,” tandasnya.

Kekhawatiran Gatot kiranya cukup beralasan karena dalam sejarahnya, TNI tidak pernah benar benar netral dari kepentingan politik penguasa terutama di zaman ketika Orba berkuasa. Di zaman Soeharto TNI  terseret jauh ke ranah politik untuk kepentingan pengguasa. 

Setelah pimpinan Angkatan Darat, Letnan Jenderal Ahmad Yani, terbunuh, Soeharto lah yang menggantikannya. Pengaruh Letnan Jenderal Soeharto atas Angkatan Darat sangat kuat, bahkan ketika dirinya tak lagi berstatus orang nomor satu di matra itu. Tidak hanya Angkatan Darat, seluruh angkatan di dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pun di bawah kendali Soeharto yang jadi pejabat presiden pada 1967. 

Golkar yang ikut didirikan beberapa perwira Angkatan Darat akhirnya butuh dukungan ABRI juga. Jika Republik Indonesia adalah keluarga, ABRI adalah kakak kandung Golkar (Golongan Karya). Berkat dukungan ABRI, Golkar merajai tiap Pemilu Orba. TNI khususnya Angkatan Darat punya komando teritorial yang cukup mengakar hingga tingkat desa.

Komando territorial itu di bawah Komando Daerah Militer (Kodam) yang wilayah teritorialnya bisa mencakup beberapa provinsi, ada Komando Resort Militer (Korem) yang wilayahnya bisa beberapa kabupaten atau kota. Lalu di tiap kabupaten atau kota ada Komando Distrik Militer (Kodim), di tiap kecamatan ada Komando Rayon Militer (Koramil), dan di tiap desa ada Bintara Pembina Desa (Babinsa). 

Seluruh pejabat teritorial TNI, mulai dari Pangdam, Korem, Kodim, hingga Babinsa harus bertanggungjawab bagi kemenangan Golkar di wilayah kekuasaan mereka,” tulis Ign Ismanto dalam Pemilihan presiden secara langsung 2004: dokumentasi, analisis, dan kritik (2004: 22). 

Politik tingkat desa benar-benar didominasi oleh Golkar melalui Babinsa,” tulis Bilver Singh dalam Succession Politics in Indonesia: The 1998 Presidential Elections and the Fall of Suharto (2016: 8). Babinsa biasanya berpangkat sersan di Angkatan Darat sambil menanti masa pensiunnya.

 Adanya Babinsa itu memungkinkan amannya suara Golkar dalam pemilu dimasing masing wilayah yang menjadi kawasan teritorialnya. Kecenderungan ABRI dan Angkatan Darat kepada Golkar tertuntaskan setelah lengsernya Soeharto pada 1998.  Pasca lengsernya Soeharto, tak ada lagi Babinsa Angkatan Darat yang mengamankan suara. Golkar pun memble dalam Pemilu 1999 dan setelahnya, meski masih cukup kuat tancapan  akarnya.

Setelah Soeharto lengser kehidupan tentara kembali kepada fungsi yang sebenarnya sebagai penjaga kedaulatan bangsa dan negara. Tapi, beberapa perwira masih mencoba-coba memainkan hasrat politiknya.

Saat ini salah satu gejala munculnya hasrat tentara yang mulai main politik terlihat saat pencopotan spanduk Habib Rizieq Shihab oleh prajurit TNI yang merupakan perintah Mayjend TNI Dudung Abdurachman, Pangdam Jaya.  Tindakan Dudung dinilai beberapa pihak sebagai bentuk sikap tentara yang mulai bermain politik untuk kepentingan penguasa.

Tidak diketahui persis apakah tindakan Dudung tersebut merupakan  perintah dari atasan, baik dari Panglima TNI, atau panglima diatasnya. Kalau menurunkan baliho untuk membantu Satpol PP itu perintah atasan, yakni atasan operasionalnya adalah Panglima TNI, atau bisa juga Presiden, maka Pangdam Jaya tidak salah tentunya. 

Tetapi jika pencopotan baliho itu dilakukan atas perintah dari atasan tertingginya maka segera dapat dibaca arahnya  kemana TNI mau diseret seret untuk memainkan peran politiknya yang selama ini dinilai sebagai hal yang ingin dihindarinya sebagai bagian dari agenda reformasi yang disuarakan oleh para mahasiswa.

Panglima Harapan Rakyat

Kita semua tentunya tidak inginTNI diseret seret ke ranah politik demi kepentingan penguasa.Karena kalau ini terjadi menjadi langkah mundur tentunya bagi perjalanan TNI yang selama ini sudah menempatkan dirinya sebagai penjaga kedaulatan bangsa dan negara. Karena itu siapapun yang terpilih nantinya sebagai panglima TNI nantinya harus menjaga semangat ini agar tidak terjadi penyelewengan seperti halnya terjadi dimasa Orba.

Oleh karena itu TNI dituntut untuk tetap mengedepankan netralitas TNI dan profesionalisme TNI dalam menjalankan fungsi dan perannya. Dalam mencermati perkembangan politik saat ini dan di masa mendatang TNI mengemban kewajiban moral untuk  mengingatkan seluruh elemen politik yang ada agar tidak melenceng dari arah perjuangan bangsa sesuai amanat proklamasi dan amanat UUD 1945  sehingga keutuhan NKRI akan tetap terjaga.

Penting bagi TNI, bahwa memahami kepentingan politik negara sama sekali tidak berarti TNI menyentuh politik praktis, tetapi sebaliknya TNI dalam menjalankan tugasnya sebagai alat negara di bidang pertahanan negara. TNI harus mengerti dengan jelas makna tugas menjaga kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah dan melindungi bangsa dan tumpah darah Indonesia. Hendaknya dipahami bahwa TNI adalah pengemban amanat mengamankan kepentingan politik negara.

Kini memang saat yang tepat bagi TNI untuk melihat ke belakang: tentang semua yang telah diperbuat dalam pengabdian kepada bangsa dan negara, serta menata langkah menuju masa depan demi Indonesia tercinta. Bagi TNI, apapun tugas yang menyangkut persoalan bangsa merupakan panggilan tugas pengabdian  dengan tulus dan ikhlas demi kepentingan rakyatnya.  

Kepercayaan rakyat kepada TNI akan semakin tinggi, bila TNI mampu membuktikan diri dalam melaksanakan tugas negara dengan baik dan mewujudkan kepentingan masyarakat banyak yang tidak bisa dinilai oleh angka angka  rupiah atau yang lainnya.

TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Sejak awal perang kemerdekaan hingga saat ini, TNI telah rela berjuang mengorbankan jiwa dan raga ditandai dengan gugurnya puluhan prajurit sebagai kusuma bangsa. Semua itu pada hakekatnya merupakan bukti atas komitmen kesetiaan dan pengabdian tulus prajurit TNI kepada rakyat bangsa dan Negara Indonesia.

Sebagai tentara rakyat, TNI hanya berpihak kepada kepentingan seluruh rakyat dan negara. Sebagai tentara pejuang, TNI tidak pernah berhenti dalam berjuang mewujudkan cita-cita bangsa. Sementara TNI sebagai tentara nasional, TNI akan membela kepentingan negara diatas kepentingan daerah, suku, RAS dan golongan agama.

TNI adalah Tentara Rakyat, harus memperhatikan dan melindungi rakyat, berjuang bersama rakyat dan untuk kepentingan rakyat dalam upaya melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. TNI lahir dan tumbuh  ersama-sama rakyat yang selalu mengutamakan kepentingan rakyat Indonesia.

Oleh karena itu TNI yang merupakan salah satu komponen nasional dalam keadaan bagaimanapun dituntut mampu menjamin tetap tegaknya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.  TNI mengamankan penyelenggaraan pembangunan nasional dalam rangka pencapaian tujuan nasional  untuk mewujudkan pembanggunan manusi  Indonesia seutuhnya.

Nilai nilai dan misi perjuangan TNI sebagaimana dikemukakan diatas, seyogyanya menjadi panduan panglima TNI dalam menjalankan tugasnya. Karena itu ke depan kita membutuhkan panglima TNI yang bukan semata mata memahami jati diri dan hakekat perjuangan TNI tetapi juga sosok yang  mampu menjaga netralitas dan profesionalitas TNI yang mampu menjaga kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan sendiri atau kelompoknya.

Dalam konteks ini teladan yang di perlihatkan oleh Jenderal Soedirman sebagai Bapak Tentara patut dijadikan panutan bersama.  “Sikap Sudirman sebagai Bapak Tentara yang terus-menerus sebisa mungkin menjaga keutuhan dan otonomi tentara dari berbagai usaha sipil—pemerintah maupun oposisi—untuk mengontrol atau memengaruhinya,” tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto(2016:253).

Selain itu saat ini masih banyak agenda reformasi TNI yang dicanangkan sejak reformasi bergulir tahun 1998, yang masih belum terealisasi sebagaimana mestinya. Semua ini menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh Panglima TNI baru nantinya. 

Beberapa agenda tersebut antara lain reformasi sistem peradilan militer,  peningkatan transparansi dan akuntabilitas dan sebagainya. Dalam konteks ini, sangat penting bagi Presiden Jokowi untuk memilih dan mendorong Panglima TNI baru yang  berkomitmen melanjutkan sejumlah agenda reformasi TNI yang masih tertunda.

Untuk kepentingan rakyat, pelaksanakan agenda reformasi TNI yang masih tertunda lebih urgen daripada mengamankan agenda politik jangka pendek penguasa. Jangan sampai tentara ikut ikutan ketularan matra kepolisian yang akhir akhir ini disinyalir sudah menjalankan dwifungsinya sebagaimana dulu pernah dijalankan tentara pada masa Orba.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar