Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Bertumpuk Utang dan Pajak, Sinyal Runtuhnya Penguasa?

Senin, 14/06/2021 06:15 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Jakarta, law-justice.co - Awal tahun ini dunia perpolitikan Indonesia sempat dibuat heboh dengan munculnya ramalan paranormal Mbak You yang menyebut akan terjadinya pergantian kepemimpinan nasional pada tahun 2021 ini. Meskipun ramalan itu kemudian diralatnya sendiri namun hasil  terawangan para normal yang satu ini sempat membuat gaduh seisi negeri.

Ramalan mbak You sempat  mendapatkan respons dari Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia, Rizal Ramly. Ia mengatakan, dirinya tidak mempercayai adanya sebuah ramalan, akan tetapi, ramalan Mbak You dinilai banyak kejadian nyata yang mengarah ke ramalan ini.

Pandangan dan keyakinan tentang tidak bertahannya pemerintahan saat ini sebenarnya  memang sudah sering disuarakan oleh tokoh tokoh yang selama ini ada dibarisan oposisi.  Pada 21 Januari 2020 misalnya , pengamat politik Rocky Gerung  di acara Indonesia Lawyers Club (ILC), sempat memberikan prediksinya  yang menyebut pemerintahan Presiden Jokowi tidak akan sampai 2024 atau sampai selesai .

Menurut Rocky, Presiden Jokowi tengah mengalami surplus ketidakpercayaan publik seiring dengan terjadinya kontradiksi kebijakan dan inkonsistensi . Jika hal tersebut dibiarkan, alumnus filsafat Universitas Indonesia tersebut memprediksi akan terjadi demonstrasi dari mahasiswa, yang tentunya itu dapat menimbulkan gejolak politik di seluruh negeri.

Senada, pada 28 Februari 2020 yang lalu, pengamat ekonomi dan politik Sabang Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan juga mengutarakan hal serupa, bahkan memberikan prediksi waktu yang spesifik terkait kejatuhan presiden Jokowi. Menurutnya, dengan adanya wabah virus Corona yang memporak-porandakan ekonomi  dapat menjadi preseden atas kejatuhan Presiden Jokowi.

Pada konteks prediksi yang disebutkan oleh Rocky, Syahganda, ataupun Rizal Ramly, narasi yang dibawa oleh ketiganya dapat dimaknai dalam dua sisi. Di satu sisi, mungkin itu adalah kemungkinan terburuk yang mereka khawatirkan akan terjadi pada pemerintahan Presiden Jokowi. Namun, di sisi lain, prediksi tersebut dapat pula dimaknai sebagai pemenuhan harapan mereka yang mungkin tidak puas dengan pemerintahan Presiden Jokowi.

Ramalan ramalan atau sebuah prediksi memang sah sah saja karena  namanya hanya ramalan dan prediksi yang belum tentu akan terjadi. Terbukti saat ini pemerintahan presiden Jokowi masih kuat menyusuri gejolak politik ditengah hantaman pandemi .

Meskipun demikian, akhir akhir ini muncul lagi gejala runtuhnya pemerintahan dengan adanya tanda tanda yang muncul melalui kebijakan kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Jokowi. Kebijakan apakah kiranya yang bisa membuat pemerintahan tidak bisa bertahan sampai  selesai ?, Adakah contoh contoh yang bisa menguatkan argumentasi ini ?. Bagaimana dengan situasi yang terjadi di Indonesia saat ini ?

Utang dan Pajak

Salah satu tanda tanda suatu pemerintahan yang akan mengalami kejatuhan adalah ketika pemerintahan negara itu  sudah mulai mengandalkan utang dan pajak sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan anggaran belanja negaranya.

Hingga saat ini, utang pemerintah terus bertambah di tengah pandemi virus corona.  Sampai dengan bulan April 2021, Kementerian Keuangan mencatat posisi utang Indonesia mencapai Rp6.527,29 triliun jumlahnya. Angka ini diperkirakan akan  terus bertambah hingga Presiden Joko Widodo mengkhiri masa pemerintahannya.

Utang tersebut jika ditambahkan dengan utang  badan usaha milik negara (BUMN) perbankan dan nonperbankan yang pasti akan ditanggung negara jika gagal bayar  maka jumlahnya bisa mencapai Rp2.143 triliun nilainya.

“ Sehingga total utang publik sekarang mencapai Rp8.504 triliun. Saya memperkirakan di akhir periode, pemerintahan ini akan mewariskan lebih dari Rp10.000 triliun kepada presiden berikutnya,”  Demikian seperti dikatakan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini yang dikutip law-justice.co 06/06/21.

Banyaknya utang akan membuat perekonomian Indoneisa  tidak bisa sehat jalannya. Sehingga berdampak terhadap penurunan  kesejahteraan rakyat Indonesia. Tidak sehatnya  ekonomi akhirnya berdampak  terhadap Anggaran Pendapatan belanja Negara.  Yang otomatis anggaran  APBN  tersedot sehingga  berakibat terjadinya  defisitnya kas negara .  

Ketika terjadi defisit, maka andalan yang dilakukan adalah berutang untuk menutupi kekurangan anggaran belanja negara. Sebenarnya berutang bukan solusi untuk memecahkan permasalahan yang ada karena  ketika berutang maka utang lama yang masih mencengkeram juga.  Apabila ditambah utang baru, tentu saja membuat negara makin terjual karena makin terseok seok kemampuan bayarnya. Imbasnya kepada rakyat makin tercekik, kesejahteraan makin tidak jelas, dan sebagainya.

Praktek untuk selalu berutang ketika negara kekuarangan uang akibat defisit, tak dapat dilepaskan kaitannya dengan sistem kapitalisme yang sudah  menjerat perekonomian Indonesia . Jerat utang memang sengaja dipasang untuk meringkus kedaulatan suatu negara  dibidang ekonominya.

Manakala utang sudah menggunung maka cara lain untuk mengais sumber pendapatan negara adalah dengan mengintensifkan pendapat dari sektor pajak yang menyasar warga negara Indonesia. Sampai akhir Maret 2021, Kemenkeu mencatat penerimaan pajak baru mencapai Rp 228,1 triliun dari target Rp 1.229,6 triliun yang dicanangkannya. Artinya penerimaan pajak cuma 18,6% dari pagu anggaran sehingga sangat mengkhawatirkan posisinya.

Kenyataan ini rupanya membuat pemerintah menjadi gundah gulana sehingga akhhirnya mencari jalan keluar untuk mendapatkan tambahan sumber pendapatan  dari sektor pajak melalui berbagai macam cara.

Yang lebih menggenaskan lagi, kebijakan menarik pajak itu menyasar kelompok masyarakat kecil yang lemah ekonominya. Setelah  kebijakan  Pemerintah yang secara resmi mengatur mengenai perpajakan untuk penjualan  token listrik hingga pulsa, bakal muncul lagi pajak untuk sembako,uang sekolah  dan yang lain lainnya.

Ironisnya untuk barang barang mewah kabarnya justru malah mendapatkan potongan pajak sehingga menimbulkan nuansa ketidakadilan didalamnya. Banyak kritik bermunculan menanggapi kebijaka kebijakan pajak yang merugikan orang kecil ini namun nampaknya kebijakan ini akan tetap jalan karena pemerintah memang membutuhkan uang untuk menjalankan roda pemerintahannya.

Pengenaan pajak terhadap sembako, uang sekolah dan yang lain lainya semakin melengkapi daftar panjang aneka ragam jenis pajak yang dikenakan oleh pemerintah terhadap rakyat Indonesia.Untuk sekadar diketahui saja,ternyata, ketika diperiksa data, item tagihan pajak bukan main banyaknya. Di bawah ini adalah daftar harta yang wajib dimasukkan dalam SPT, seperti yang dilansir dari situs Direktorat Jenderal Pajak www.pajak.go.id, yaitu:

    Uang tunai (kode harta: 011)

    Tabungan (012)

    Deposito (014)

    Setara kas lainnya (019)

    Piutang (021)

    Piutang afiliasi (022)

    Persediaan usaha (023)

    Piutang lainnya (029)

    Saham yang dibeli untuk dijual kembali (031)

    Saham (032)

    Obligasi perusahaan (033)

    Obligasi pemerintah Indonesia (Obligasi ritel Indonesia, surat berharga syariah negara) (034)

    Surat utang lainnya (035)

    Reksadana (036)

    Instrumen derivatif (Right, warran, kontrak berjangka, opsi) (037)

    Penyertaan modal dalam perusahaan lain tidak atas saham (CV, firma) (038)

    Investasi lainnya (039)

    Sepeda (041)

    Sepeda motor (042)

    Mobil (043)

    Alat transportasi lainnya (049)

    Logam mulia(emas batangan/perhiasan,platina batangan, platina perhiasan, logam lainnya) (051)

    Batu mulia (Intan, berlian, batu mulia lainnya) (052)

    Barang-barang seni dan antik (053)

    Kapal pesiar, pesawat terbang, helikopter, jetski, peralatan olahraga khusus (054)

    Peralatan elektronik, furnitur (055)

    Harta bergerak lainnya (059)

    Tanah dan/atau bangunan tempat tinggal (061)

    Tanah dan/atau bangunan tempat usaha (062)

    Tanah/ lahan untuk usaha (lahan pertanian, perkebunan, perikanan darat, dan sejenisnya) (063)

    Harta tidak bergerak lainnya (069)

    Patem (071)

    Royalti (072)

    Merek dagang (073)

    Harta tidak berwujud lainnya (079)

Begitulah aneka ragam pungutan pajak yang dilakukan pemerintah saat ini sehingga memberatkan kehidupan rakyat Indonesia. Apakah semua ini merupakan pertanda negara memang sudah menjelang bangkrut menuju kejatuhan pemerintahannya ?

Belajar dari Mancanegara

Sejarah telah memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana sebuah pemerintahan suatu negara bisa runtuh karena beban hutang dan pajak yang menjeratnya. Salah satunya adalah kejatuhan Kekaisaran Romawi , Perancis dan kekaisaran di China.

Sejarah mencatat, bangsa Romawi menikmati masa kemakmurannya pada saat pemerintah Republik Romawi, terutama setelah perang Punisia II (218 SM - 202 SM). Hal ini tidak terlepas berkat status bebas pajak (tax free status) yang membuat capital banyak berpindah ke Roma.

Dalam waktu singkat Roma menikmati kemakmurannya berkat banyaknya capital yang masuk, kegiatan ekonomi yang produktif meningkat dan pajak tidak lagi diperlukan untuk menjalankan roda pemerintahannya.

Seiring berjalannya waktu, kondisi politik Romawi mulai mengalami berbagai perubahan dari Republik menjadi Kekaisaran (Empire) termasuk kondisi ekonominya. Anggaran belanja mulai defisit berkat kebiasaan pemerintah mengimpor produk-produk mewah dari Tiongkok seperti sutera.

Puncaknya terjadi pada abad ke 3 ketika ekonomi dan politik Romawi yang sudah mulai terkapar tak berdaya. Deflasi masif, devaluasi mata uang dan overspending meruntuhkan kepercayaan terhadap pemerintah dan ekonominya. Kondisi ini mempengaruhi situasi politik yang akhirnya mulai goyah dengan adanya berbagai drama perebutan kekuasaan yang terjadi didalamnya. 

Kaisar Diocletian mengakhiri kekacauan politik pada tahun 284 M dan mulai mencoba memulihkan kondisi perekonomiannya. Kebijakan politik yang diterapkan berjalan hingga tahun 312 M, namun reformasi di bidang ekonomi tidak pernah menuai hasilnya. 

Diocletian berjuang untuk mempertahankan kekuasaannya sepanjang abad ke 4 dengan berbagai cara. Pemerintah saat itu menghabiskan dana yang luar biasa untuk membiayai tentara dan untuk mempertahankan Kekaisarannya.

Kaisar Romawi memungut pajak secara agresif kepada rakyatnya dengan berbagai cara. Berdalih membangun infrastruktur dan menumbuhkan iklim yang kondusif untuk pembangunan ekonomi, pemerintah justru membangun istana, membiayai perang melawan Inggris dan memaksa warganya untuk membayar pajak berdalih demi kepentingan negara. Pemerintah pada saat itu bahkan memaksa warganya untuk melakukan pekerjaan kasar sebagai bentuk dari pengenaan pajak untuk negara.

Rakyat menderita akibat beban pajak yang menjeratnya. Selain itu, rakyat mulai banyak yang kelaparan dan menderita gizi buruk karena musim dingin yang bekepanjangan melanda. Hasilnya, rakyat mulai melawan kerajaan yang boros dan hidup dalam gelimang harta sehingga berujung pada runtuhnya sang penguasa.

Kisah serupa juga menimpa dinasti Dinasti Han di Tiongkok alias China.Han adalah salah satu dinasti terbesar di Tiongkok dimasanya. Dinasti ini memerintah selama kurang lebih empat abad dari 206 SM - 220 M. Inilah era golden-age nya Tiongkok yang pengaruhnya masih terasa hingga pasca keruntuhannya. Etnis mayoritas di Tiongkok saat ini banyak yang menganggap diri mereka sebagai orang-orang “Han”.

Kekaisaran Han menikmati kemajuan ekonomi mereka hingga Roma dan India. Pemerintah pada saat itu banyak menghabiskan anggaran untuk perbaikan infrastruktur dan memberikan subsidi kepada kaum papa. Seiring berjalannya waktu, pemerintah membutuhkan dana yang lebih besar untuk mewujudkan proyek-proyek mereka. Selain itu, pemerintah ingin menguasai dan mengontrol sebagian besar kepemilikan tanah di wilayah yang dikuasainya. Dengan kebijakan ini pemerintah semakin sentralistik dan seluruh kebijakan diatur oleh pusat meniadakan kewenangan pemerintah  daerah tingkat bawahnya

Untuk menutupi defisit anggaran dan mengatur masyarakat kelas atas (kaya), pemerintah mulai menambah dan memperketat aturan (over-regulated), menaikkan tarif pajak dan menambah belanja pemerintahnya. Kebijakan ini justru menghancurkan ekonomi mereka, aktivitas produksi berkurang karena terbebani pajak yang luar biasa besarnya. 

Anggaran pemerintah menuju defisit yang semakin dalam dan kondisi ekonomi makin tak berdaya. Utang pemerintah meningkat secara drastis, stabilitas keamanan kerajaan mulai tergoncang karenanya. Kesenjangan ekonomi mulai melebar, akhirnya pemerintah tidak dapat mengatasi kekacauan, baik dari internal maupun eksternalnya. Terjadi perpecahan di wilayah-wilayah terutama di perbatasan karena ketidakmampuan pemerintah mengelola kebijakan fiskalnya (fiscal mismanagement)nya.

Pengalaman pahit juga dialami negeri Perancis ketika zaman kerajaan berkuasa disana. Ekonomi Perancis mulai runtuh ketika Raja Louis XVI menggenjot utang  untuk membiayai perang sipil di Amerika. Utang pemerintah itu akhirnya enjatuhkan ekonomi mereka. Kondisi inilah yang memicu Revolusi Perancis, sehingga menyebabkan pertumpahan darah selama 26 tahun dan membuat ketidakstabilan kondisi keamanan di Eropa.

Seperti Revolusi Perancis, Uni Soviet  juga runtuh akibat beban utang yang luar biasa besarnya. Selama masa perang dingin, Amerika Serikat dan Uni Soviet terlibat dalam perlombaan senjata dan mengobarkan perang proksi (proxy war) di seluruh dunia. Pada akhir tahun tujuh puluhan, Soviet mulai mencium kemenangan Perang Dingin yang dicanangkannya. Namun, invasi Afghanistan dan menangnya Ronald Reagan mengubah peta politik dan memaksa Soviet meningkatkan anggaran belanja pemerintah ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Uni Soviet banyak menghabiskan uangnya di perang Afghanistan sehingga  menyebabkan kejatuhan ekonomi dan militernya. Pada masa presiden Reagan, kondisi perekonomian AS semakin maju yang justru berbanding terbalik dengan Uni Soviet yang semakin tenggelam karena utangnya.

Pada akhirnya tahun 1989 Uni Soviet tidak dapat mempertahankan pemerintahannya. Banyak negara-negara satelit Soviet yang mulai melepaskan diri pemerintah induknya. Pada tahun 1991 Uni Soviet runtuh akibat beban utang  tinggi yang harus ditanggungnya.

Peristiwa sejarah sebagaimana dikemukakan diatas memberikan gambaran bahwa runtuhnya suatu kekuasaan  bisa terjadi  akibat beban utang yang terlalu tinggi, pajak yang semakin agresif dan pemerintah yang menjadi semakin otoriter dalam menjalankan kekuasaannya. 

Sistem ekonomi yang dianut secara global saat ini mengijinkan pemerintah untuk berutang dan menarik pajak dengan dalih untuk menjaga dan mewujudkan kestabilan moneter serta mendukung kemajuan ekonominya. Namun jika pemerintah negara manapun di seluruh dunia ini tidak bijak, hal ini dapat membawa ke lubang kehancuran suatu negara.Lalu bagaimana halnya dengan Indonesia ?

Kondisi Terkini

Kondisi Indonesia saat ini memang tidak sedang baik baik saja. Hal ini ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah utang serta kebijakan aneka pajak yang dikenakan pada rakyatnya. Namun apakah kebijakan kebijakan ini pada akhirnya sampai menyebabkan jatuhnya pemerintahan yang sekarang berkuasa ?

Menurut catatan Rizal Ramli, terdapat lima faktor penting di sektor ekonomi yang jika terjadi secara bersamaan dapat memicu hal tersebut, yakni indikator makro ekonomi yang merosot, daya beli yang menurun, kasus Jiwasraya, ekonomi digital yang mengalami koreksi valuasi, dan terjadinya gagal panen para petani di Indonesia.

Untuk mengetahui kebenaran akan prediksi kejatuhan penguasa saat ini  tentunya harus diketahui apakah indikasi-indikasi menunjukkan demikian adanya. Pada ujungnya besarnya utang dan aneka macam pajak itu hanya akan menjadi pemicu lahirnya ketidakpercayaan publik yang bisa mengancam stabilitas negara. 

Runtuhnya kepercayaan publik ini dapat memicu demonstrasi besar mahasiswa yang pernah terjadi juga beberapa waktu yang lalu ketika menolak revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ataupun Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHPidana).

Namun terjadinya demo besar seperti ini memang membutuhkan momentum yang tepat untuk memicu gerakan massa , apakah momentum itu bisa tumbuh ditengah situasi pandemi  virus corona dimana pengekangan massa untuk berkumpul  begitu ketat dijalankan oleh pihak penguasa ?

Selain itu untuk menjatuhkan seorang presiden, kekuatan massa saja tidak cukup karena diperlukan pula dukungan kekuatan militer dan partai politik yang ada. Masalahnya adalah kedua hal tersebut sepertinya telah digenggam oleh penguasa.

Secara kekuatan politik misalnya, saat ini 74 persen parlemen diketahui merupakan koalisi pemerintah yang sekarang berkuasa.Pada titik ini, kita akhirnya memahami bahwa strategi politik akomodatif yang diterapkan Presiden Jokowi tidak hanya menghasilkan koalisi yang gemuk, melainkan juga bermanfaat sebagai  “tameng politik” dalam menghadapi gejolak politik yang mungkin terjadi selama ia berkuasa.

Selain itu Presiden Jokowi disebut-sebut telah menjalin hubungan yang baik dengan jajaran militer sejak periode pertama pemerintahannya. Hal ini terlihat dari sang presiden yang menempatkan berbagai jenderal di posisi jabatan politik yang diharapkan bisa memperkuat posisi politiknya.

Apakah dengan kondisi seperti  dikemukakan diatas Presiden Jokowi akan  tetap bisa nangkring diposisinya dengan aman meskipun utang menggunung dan pajak merajalela memberatkan beban hidup rakyatnya ?

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar