Amnesty: China Terbukti Buat Warga Xianjiang Takut Memeluk Islam

Jum'at, 11/06/2021 17:40 WIB
Muslim Uighur (Tirto)

Muslim Uighur (Tirto)

Beijing, Tiongkok, law-justice.co - Ratusan ribu minoritas Muslim di Xinjiang menjadi target pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh China, mulai dari pengawasan hingga penahanan dan penyiksaan massal.

Begitu kesimpulan dari Amnesty International dalam laporan terbarunya pada Kamis (10/6/2021), dengan mengutip lusinan kesaksian dari mantan tahanan kamp di Xinjiang. Menurut Amnesty International, ratusan ribu pria dan wanita Muslim di Xinjiang menjadi sasaran target penahanan massal dan penyiksaan, pengawasan massal sistemik, serta dipaksa untuk meninggalkan tradisi agama, praktik budaya, dan bahasa lokal mereka.

“Uighur, Kazakh, dan minoritas etnis mayoritas Muslim lainnya di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR) China menghadapi pemenjaraan massal, penyiksaan, dan penganiayaan yang diatur secara sistematis oleh negara yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan,” kata laporan itu, seperti dimuat Hindustan Times. Menurut sejumlah mantan tahanan, mereka dipaksa kurang tidur, pemukulan, hingga penggunaan kursi besi ketika diinterogasi. “Pihak berwenang China telah menciptakan ‘pemandangan neraka distopia’ dalam skala yang mengejutkan di XUAR,” kata Sekretaris Jenderal Amnesty International, Agnès Callamard.

“Ini harus mengejutkan hati nurani umat manusia bahwa sejumlah besar orang telah menjadi sasaran cuci otak, penyiksaan dan perlakuan merendahkan lainnya di kamp-kamp interniran, sementara jutaan lainnya hidup dalam ketakutan di tengah aparat pengawasan yang luas,” tambahnya.

Pemerintah China tidak menyangkal keberadaan kamp di XUAR. Tetapi Beijing menyebut kamp tersebut digunakan sebagai bagian dari upaya anti-terorisme dan deradikalisasi. Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan tindkaan tersebut sesuai dengan hukum.

Selain itu, Xinjiang juga menikmati stabilitas sosial dan pembangunan yang sehat setelah empat tahun tanpa kasus teror. Bahkan warga Xinjiang menikmati hak-haknya sebagai Muslim yang bebas untuk bebas berdoa di 24 ribu masjid. "Fakta-fakta dasar ini menunjukkan bahwa tidak pernah ada yang disebut genosida, kerja paksa, atau penindasan agama di Xinjiang," tegas Wang Yi.

Namun dalam laporannya, Amnesty International mengungkap tekanan dari otoritas membuat banyak minoritas Muslim berhenti untuk berdoa atau menunjukkan tanda-tanda sebagai pemeluk Islam.

"Kami tidak bisa mengucapkan `Assalamualakum` lagi. Al Quran, sajadah, dan artefak keagamaan lainnya telah dilarang secara efektif," ujar seorang pria.

Dalam laporan tersebut, Amnesty mengatakan pemerintah China harus segera menutup semua kamp interniran yang tersisa dan membebaskan semua orang yang ditahan di kamp tersebut.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar