Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Gelar Profesor Kehormatan: Membanggakan Atau Memalukan?

Kamis, 10/06/2021 13:13 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Seperti diberitakan, Universitas Pertahanan (Unhan) akan menganugerahkan gelar profesor kehormatan (guru besar tidak tetap) ilmu pertahanan bidang kepemimpinan strategik kepada Megawati Soekarnoputri Presiden ke-5 Republik Indonesia.

Rektor Unhan Laksamana Madya TNI Amarulla Octavian mengatakan, pihaknya memberikan gelar tersebut karena Megawati dinilai berhasil mengatasi krisis multidimensi di era pemerintahannya.

"Unhan RI mencatat keberhasilan Megawati saat di pemerintahan dalam menuntaskan konflik sosial seperti penyelesaian konflik Ambon, penyelesaian konflik Poso, pemulihan pariwisata pasca bom Bali, dan penanganan permasalahan TKI di Malaysia," ujar Octavian dalam seperti dikutip media, Selasa (8/6/2021).

Pemberian gelar professor kehormatan kepada presiden kelima itu telah menuai tanggapan pro dan kontra di masyarakat kita. Seperti apa gambaran pro–kontra menyikapi pemberian gelar professor kepada Megawati, presiden kelima Indonesia ?

Bagaimana sebenarnya aturan pemberian gelar professor honoris causa pada seorang tokoh yang berhak menyandangnya ?.Apa hakekat makna pemberian gelar akademik  itu sebenarnya ?

Menuai Pro dan Kontra

Rencana pemberian gelar akademik sebagai professor kehormatan kepada Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, bakal membuat gelar yang disandangnya semakin panjang saja.

Sebelumnya presiden kelima Indonesia itu telah mengoleksi banyak gelar Doktor honoris causa dari berbagai universitas baik didalam negeri maupun dari mancanegara.

Gelar doctor yang diperoleh  Megawati di antaranya dari Unpad pada 2016; Universitas Waseda, Tokyo, Jepang; Korea Maritime and Ocean University; Moscow State Institute of International Relation.

Ada pula gelar doktor kehormatan di bidang politik pendidikan diterimanya dari Universitas Negeri Padang pada 27 September 2017.Gelar Doktor (HC)  juga diperoleh dari Universitas Soka Jepang di bidang kemanusiaan. Gelar ini merupakan yang kesembilan baginya.

Meskipun tidak pernah lulus kuliah, Megawati memang terbukti mampu mengoleksi gelar yang cukup banyak jumlahnya.

Setelah deretan gelar doktor honoris causa diterimanya, kini deretan gelar itu makin lengkap dengan akan diterimanya gelar professor kehormatan dari Universitas Pertahanan (Unhan) untuk  ilmu pertahanan bidang kepemimpinan strategik kepadanya.

Menurut  Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto rencana UNHAN untuk memberikan gelar Profesor Kehormatan untuk Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri itu sudah direncanakan lama.

"Kami meyakini rencana Unhan memberi gelar profesor kehormatan kepada Ibu Megawati tidaklah mendadak tapi telah melakukan kajian sejak lama, termasuk berbagai karya ilmiah dan pidato Ibu Megawati baik di dalam maupun di luar negeri," kata Hasto dalam keterangannya, Selasa (8/6/2021).

Pemberian gelar professor  kehormatan kepada Megawati tak urung menimbulkan tanggapan pro dan kontra.Rektor Universitas Negeri Padang (UNP) Prof. Ganefri menilai gelar profesor `Guru Besar Tidak Tetap` pantas diberikan kepada Presiden ke-5  Indonesia.

Ketua Forum Rektor LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) itu menyatakan secara akademis, UNP telah memberikan gelar doktor honoris causa kepada Megawati dalam bidang Politik Pendidikan, meliputi formulasi dan implementasi kebijakan pendidikan di Indonesia.

Ganefri  seperti dikutip media, menjelaskan secara historis, kepemimpinan Megawati selama menjabat sebagai presiden telah berhasil memberi dasar hukum bagi lahirnya Undang Undang  tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yaitu Undang Undang  Nomor 20 Tahun 2003

"Sebagaimana diamanatkan konstitusi secara keseluruhan baik isi, jiwa, dan semangat UU tersebut, merupakan pengejawantahan tuntutan zaman Reformasi 1998, terutama reformasi pendidikan yang bersifat sentralistis dan demokratis," urainya.

Sementara itu menurut Dirjen Dikti Kemdikbud Ristek, Nizam, pemberian gelar profesor kehormatan kepada Megawati sudah melalui proses dan kajian sesuai prosedur yang ada.

Dia memastikan tak ada alasan untuk menolak usulan pemberian gelar professor kehormatan itu kalau sudah memenuhi syarat bisa disetujui dan ditetapkan sebagai Guru Besar Tidak Tetap," ujarnya."Kalau syaratnya dipenuhi tentunya tidak ada alasan untuk menolak usulan," imbuhnya sebagaimana dikutip kumparan.com  10/6/21.

Meskipun secara prosedur formal dan kajian yang telah dilakukan pemberian gelar professor itu dinilai sudah sesuai dengan ketentuan yang ada namun suara suara yang bernada kontra berseliweran di sosial media.

Aktivis Malapetaka Limabelas Januari (Malari) 74 Salim Hutadjulu menyebut  pemberian gelar professor kehormantan untuk Megawati Soekarnoputri dari Universitas Pertahanan (Unhan) merusak dunia akademis di Indonesia.

“Seseorang yang mendapat gelar prof kehormatan setidaknya mempunyai karya ilmiah dan gagasan cemerlang untuk Indonesia,” ungkapnya  seperti dikutip www.suaranasional.com, Selasa (8/6/2021).

Kata Salim, di era Orde Baru (Orba) Soeharto menjaga perguruan tinggi dalam marwah akademisnya. “Soeharto pun tidak mau dikasih gelar doktor honoris causa. Begitu pula, orang-orang disekeliling Soeharto tidak bisa sembarang mendapat gelar honoris causa,” paparnya.

Menurut Salim, gelar prof kehormatan untuk Megawati justru makin membuat kampus di Indonesia kalah dengan universitas di mancanegara. “Kampus di Indonesia juga masih radikal sedangkan di luar negeri sudah membahas riset dan berbagai penemuan untuk manusia,” jelasnya.

Pemberian gelar professor kehormatan ini juga mendapatkan tanggapan dari Prof Sulfikar Amir dosen Universitas di Singapura melalui akun twiternya. Sang dosen menyatakan keheranannya karena Megawati  memuji dirinya sendiri secara ilmiah dalam pidato pengukuhannya.

Menurut Sulfikar, Megawati terobsesi menjadi ‘akademisi tanpa perlu menulis disertasi, tanpa repot menulis publikasi. “Namanya juga obsesi,” ungkapnya. Ia memuji Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang meraih gelar doktor secara benar di IPB. “Ikut kuliah dan menulis disertasi yang menjadi buku,” paparnya.

Tanggapan yang bernada miring juga di suarakan warganet di sosial media. Warganet menilai Megawati narsis ketika menulis tentang dirinya sendiri dalam sebuah jurnal yang berbasis pada penyelidikan ilmiah. “Cara puji diri sendiri dengan cara “ilmiah”,” tulis Joel Pichard melalui akun twitter pribadinya, Selasa (8/6/2021).

Umumnya warganet memang mempertanyakan apa karya Megawati sehingga bisa mendapatkan gelar kehormatannya.“Tanpa perlu nulis disertasi, tanpa repot2 nulis publikasi, ya namanya juga obsesi pengen jadi ‘akademisi’,” tulis akun @sociotalker dikutip Selasa 8 Juni 2021.

Warganet lainnya membandingkan gelar yang dicapai Susilo Bambang Yudhoyono dengan Mega.“Gak mau kaah dari pak SBY, gila nih ibuk,” balas akun @domu95.

Nah salah satu bahan nyinyiran warganet adalah kenapa Megawati menggunakan pengalaman selama memerintah  untuk penelitian dan dituangkan dalam tulisan ilmiahnya.“Emang paling enak sih meneliti diri sendiri,” balas akun @dyasbp.

Kemudian akun @sociotalker gentian membalasnya. Menurut akun ini pidato Megawati yang mengambil tulisannya sendiri saat menjabat sebagai Presiden ini sudah kategorinya menilai diri sendiri gitu ya. “Ini namanya bukan lagi self-citation, tapi udah self-judgment (menilai diri sendiri)..sangat berguna buat self-improvement,” tulisnya.

Aturan Gelar Professor Kehormatan

Sebenarnya, penetapan atau pemberian gelar profesor atau guru besar di sebuah perguruan tinggi telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pengangkatan Profesor/Guru Besar Tidak Tetap pada Perguruan Tinggi.

Pasal 1 ayat aturan tersebut mengatur soal kriteria penerima gelar profesor. Sementara Pasal 1 ayat 2 menjelaskan pemberian gelar harus mendapat persetujuan Senat perguruan tinggi.

Berikut isi Pasal 1:

(1) Seseorang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa dapat diangkat sebagai dosen tidak tetap dalam jabatan akademik tertentu pada perguruan tinggi.

(2) Pengangkatan seseorang sebagai dosen tidak tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh perguruan tinggi masing-masing setelah mendapat persetujuan Senat.

Selain itu, dalam Pasal 2 diatur bahwa Mendikbud bisa menetapkan seseorang yang dinilai bisa menerima gelar guru besar tidak tetap. Keputusan ini setelah mendapat pertimbangan dari Dirjen Dikti Kemendikbud.

Berikut Pasal 2: Menteri dapat menetapkan seseorang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa untuk diangkat sebagai profesor/guru besar tidak tetap pada perguruan tinggi berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.Aturan ini diteken pada 7 Juni 2012 saat Mohammad Nuh masih menjabat sebagai Mendikbud RI.

Meskipun aturannya seperti disebutkan diatas namun dalam perjalanannya pernah dipersoalkan karena kental nuansa penyalahgunaannya. Berangkat dari persoalan ini pula maka Ali Ghufron Mukti yang pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) menegaskan bahwa profesor bukan gelar akademik melainkan jabatan tertinggi yang diraih oleh dosen.

"Profesor bukan gelar akademik melainkan jabatan tertinggi yang diraih oleh dosen. Jadi jika ada orang yang mendapatkan gelar profesor, maka itu tidak benar," ujarnya seperti dikutip ANTARA News 29/10/15.

Untuk bisa mendapatkan jabatan profesor, lanjut dia, seorang dosen harus mengajar selama 10 tahun atau meraih nilai kredit mencapai 1.000.Sayangnya, masih banyak masyarakat yang salah kaprah mengenai profesor tersebut. Sehingga tak jarang, ada  yang rela merogoh kocek dalam-dalam hanya untuk mendapatkan profesor di depan namanya.

"Oleh karena itu, kami mengadakan seminar yang membahas mengenai makna dan filosofi profesor. Tujuannya, agar masyarakat tak salah kaprah lagi menilai profesor," kata dia.

Sementara itu Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Sofian Effendi, menegaskan bahwa pemberian gelar profesor kehormatan semestinya tidak ada."Semestinya tidak ada. Kalau doktor honoris causa ada, namun profesor tidak ada. Seandainya ada dari luar negeri, pastinya bukan berasal dari perguruan tinggi ternama," katanya. 

Hakekat Gelar Akademik

Gelar akademik atau gelar akademis adalah gelar yang diberikan kepada lulusan pendidikan formal dalam bidang studi tertentu dari suatu perguruan tinggi baik berbentuk universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, akademi dan sebagainya.

Gelar akademik di Indonesia terdiri dari sarjana(strata 1), magister (strata 2) dan doktor (strata 3), serta ditambah dengan gelar profesi ahli madya (diploma).

Ada juga gelar professor yang disematkan untuk seseorang yang sangat mempuni kemampuan intelektualnya dan besar jasanya. Tradisi pemberian ijazah dan pemakaian gelar akademis dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi bukanlah peristiwa baru, tetapi telah ada sejak lama.

Adanya gelar gelar itu bisa meningkatkan prestise bagi penyandangnya dan akan memudahkan perjalanan kariernya. Sejauh ini sebagian besar masayarakat memang  menilai pendidikan dari gelar akademik yang dimilikinya.

Kini banyak orang mencari kehormatan dalam gelar dan jabatan tanpa memenuhi nilai-nilai prinsipil dan tanggung jawab dari kedudukannya. 

Padahal "Aib terbesar," kata Juvenalis, "ketika kamu lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan yang sesungguhnya.

Bagi mereka  ini ilmu itu tetap hanya suatu barang yang mati, bukan hakekat yang hidup, berubah-ubah dan senantiasa harus diberi makan dan dipelihara.

 Masalah kegilaan pada titel (gelar) tanpa kedalaman ilmu, yang dicatat Bung Sjahrir pada 20 April 1934 itu, situasinya tidak tambah membaik, bahkan makin memburuk saja.

Upaya peningkatan mutu sumber daya manusia hanya dilandaskan pada tingkat pendidikan formal yang ujung ujungnya ingin mendapatkan gelar akademik, bukan pada penyediaan ekosistem yang baik bagi pengembangan olah budi, olah cipta, dan olah karsa.

Perolehan ijazah lebih dikedepankan daripada penguasaan ilmunya. Guru-guru dipersyaratkan setidaknya menamatkan S-2, tanpa dihiraukan peningkatan kapasitas pedagogisnya. Seiring dengan itu, gelar-gelar akademis dikejar banyak orang sebagai pelengkap jabatan dan kehormatan semata.

Makin banyak politisi mengambil studi pascasarjana, tetapi makin sedikit yang menjalani sungguh-sungguh dengan motif pendalaman ilmunya. Lebih parah lagi, kecenderungan itu melanda dunia akademisi juga.

Banyak dosen/peneliti memburu gelar profesor tanpa merasa perlu mempertanggungjawabkan mutu keilmuannya sebagai guru besarnya.Betapa banyak profesor tidak dikenal apa karyanya.

Lebih menggenaskan lagi betapa banyak  orang yang  memiliki gelar akademik  tapi semua itu menjadi tak berarti ketika masih melakukan perbuatan tercela seperti menerima  gratifikasi, sogokan proyek dan atau menghambur-hambur anggaran negara untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.

Titel akademisnya berderet tetapi tidak jelas sumbangsih atau kontribusinya bagi kemajuan dan kemaslahatan  untuk bangsa. Perilakunya masih juga merugikan kepentingan bangsa dan negara.

Pada hal hakekat pendidikan menurut KBBI, adalah proses mengubah sikap atau tata laku untuk mendewasakan manusia melaui pengajaran atau pelatihan yang dijalaninya.

Berdasarkan definisi tersebut kita bisa lebih yakin bahwa pendidikan bukan sekedar gelar tapi bagaimana perilaku yang ditampilkannya. Apalah arti gelar tinggi kalau khianat dan merugikan kepentingan bangsa dan negara dan merusak kepentingan bersama.

Memalukan  atau Membanggakan ?

Apakah pemberian gelar itu sebenarnya memalukan atau membanggakan tentunya tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Dari sisi penerima gelar penghormatan,  mungkin  ia  merasa sangat bangga karena karya dan jasa jasanya diakui sehingga mendapatkan tanda penghormatan yang disematkan kepadanya.

Bentuk kebanggaan itu di cerminkan dari kesediaannya untuk menerima gelar kehormatan  sekaligus “mungkin” memang berusaha untuk mendapatkannya. Kebanggaan sebagai orang yang punya keahlian dan prestasi yang luar biasa dimana tidak semua orang memilikinya.

Tetapi bagi tokoh tokoh tertentu yang akan menerimanya, gelar kehormatan itu justru dinilainya belum waktunya atau belum pada tempatnya sehingga  ia merasa malu untuk menerimanya.  Sikap ini salah satunya ditunjukkan oleh mantan presiden Soeharto yang menjadi penguasa Orde Baru (Orba).

Secara akademis, Soeharto  sama dengan Megawati yang tidak pernah menamatkan kuliahnya. Tetapi meskipun tak pernah tamat kuliah Soeharto bisa berkuasa selama 32 tahun dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

 Hal menarik dari Soeharto, dia rupanya tak pernah  silau dengan gelar akademis yang sesungguhnya akan mudah sekali didapatnya.Ketika banyak pejabat rajin  `mengoleksi` sekian banyak gelar doktor kehormatan (DR HC) dari dalam dan luar negeri, Soeharto justru menolaknya. Pada hal tawaran itu selalu ada.

Konon ketika masih dalam masa pembangunan lima tahun pertama (Pelita 1), pimpinan Universitas Indonesia (UI) pernah berniat memberikan gelar doktor honoris causa. Pada  hari rabu tanggal 30 Juli 1975, dipimpin Rektor UI Prof. Mahar Mardjono, mereka menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha.

Dalam pertemaun itu Mahar menyampaikan  hasil pertemuan para dekan di lingkungan UI yang memutuskan untuk menganugerahkan gelar Doktor honoris causa kepada Presiden Soeharto. Anugerah serupa juga akan diberikan kepada mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Soeharto menyatakan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya atas keputusan UI itu. Akan tetapi ia berpendapat kala itu belum waktunya untuk menerimanya. Dalam hubungan ini dia meminta agar sebaiknya UI melaksanakan pemberian penghargaan itu pada waktu yang tepat di kemudian hari saja.

Selain Soeharto, Presiden Joko Widodo juga emoh menerima gelar doktor honoris causa. Dia sudah merasa nyaman dengan titel Insinyur Kehutanan yang diraihnya dari Universitas Gajah Mada pada 1985.

Ikhwal sikap tersebut diungkapkan Menteri Sekretaris Negara Pratikno saat menerima rombongan panitia Hari Pers Nasional (HPN) 2018 beberapa waktu lalu di istana.

Pratikno menyebut sudah ada 21 lembaga yang ingin memberikan gelar HC kepada Jokowi karena keahlian dan jasa jasanya. Namun, saat itu Jokowi menyatakan dirinya belum layak mendapatkan gelar honoris causa.

Baik Soeharto maupun Jokowi  bisa jadi tidak mau menerima gelar gelar akademis tersebut karena merasa malu bahwa gelar gelar itu tidak cocok untuknya.

Pemberian gelar gelar yang dikhawatirkan malah akan menjadikannya sebagai penguasa yang jumawa. Tapi bagi mereka yang bangga menerimanya tentu lain lagi pertimbangannya.

Rasa bangga dan malu ini sebenarnya tidak sebatas pada pihak yang menerimanya saja tetapi juga bagi lembaga pemberinya. Bagi perguruan tinggi  yang telah berhasil memberikan gelar kehormatan kepada seorang tokoh yang dinilai punya keahlian dan jasa barangkali akan merasa bangga karena penghargaan yang telah diberikannya.

Tetapi bagai perguruan tinggi yang merasa malu karena menjaga marwah lembaganya ia tidak mau sembarang mengeluarkan penghargaan gelar untuk orang yang tidak semestinya menerimanya.

Itulah sebabnya di mancanegara jarang atau bahkan mungkin tidak ada perguruan tinggi ternama yang memberikan penghargaan kepada seorang tokoh karena keahlian dan jasa jasanya.

Akhir akhir ini harus diakui banyak orang yang merasa kecewa setelah melihat  peristiwa demi peristiwa yang terjadi di sejumlah Universitas di Indonesia.

Dimana disinyalit telah terjadi dugaan jual beli gelar doktor honoris causa dan gelar professor yang terjadi tidak hanya pada kampus biasa tetapi juga pada sejumlah kampus ternama. Apakah ini semua indikasi hilangnya rasa malu di lingkungan kaum intelektual kita ?

Kini disinyalir penyandang gelar professor yang dikeluarkan oleh sebuah perguruan tinggi di Indonesia lewat proses “kehormatan” itu sudah cukup banyak jumlahnya.

Masyarakat sering menyebutnya dengan istilah professor GBHN alias Guru Besar Hanya Nama. Mereka adalah orang orang yang mendapatkan gelar kehormatan namun kontroversial proses pengukuhannya.

Melihat semua kejadian itu,seorang guru besar sebuah universitas ternama nasional termenung menatap papan nama di ruang kerjanya."Ada apa, Prof?" tanya asistennya.

"Setelah puluhan tahun sekolah, dari SD sampe S3, menerbitkan puluhan buku, menulis ratusan jurnal ilmiah, mengajar puluhan tahun di universitas-universitas, baru gw dapet gelar professor”

“Lha ini, nggak ngapa-ngapain, cuma jadi ketua partai seumur hidup, , tidak pernah mengisi jurnal ilmiah, senangnya teriak merdeka merdeka, eh, tau-tau dapat gelar Doktor. Tau-tau dapet gelar Profesor. Profesor Kehormatan lagi. Berasa aneh nggak sih, kamu?" curhat sang guru besar."Iya, sih.

Untung beliau tidak mencantumkan gelar APRI di belakang namanya." "Gelar apaan itu?""Anak Proklamator RI, Prof."

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar