Sesat Jika Berpikir Pindah Ibu Kota Bisa Mengatasi Ketimpangan Ekonomi

Kamis, 10/06/2021 11:25 WIB
Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri (Monitor.id)

Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri (Monitor.id)

Jakarta, law-justice.co - Ekonom Senior dari Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri menilai pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Timur tidak akan bisa mengatasi ketimpangan ekonomi layaknya keinginan pemerintah.

Menurut dia, ketimpangan ekonomi di era sekarang tidak bisa disempitkan justru karena pemerintah sendiri belum memperkuat daerah.

"Apakah benar pembangunan ekonomi lebih merata gara-gara Ibu Kota diganti? Ya tidak benar, sesat, karena apa? Karena kalau kita lihat itu komitmen negara untuk mendorong penguatan daerah makin lama makin merosot di era Jokowi lagi-lagi," ujarnya dalam webinar, Rabu (9/6/2021).

Dia menjelaskan, jika dilihat pengeluaran dari pemerintah pusat dalam kondisi baik terus, tidak peduli ada krisis pandemi atau tidak.

"Tapi, lihat transfer ke daerahnya praktis stagnan di era Jokowi ini. Ditambah dengan kenyataan bahwa hampir semua penerimaan negara itu dikuasai oleh pemerintah pusat Rp 2.000 triliun," kata Faisal.

Sementara, Pendapatan Asli Daerah (PAD) seluruh provinsi cuma Rp 168 triliun dan PAD seluruh kabupaten kota hanya 127 triliun.

"Kuncinya di sini ya, peningkatan kemampuan daerah untuk menggali sumber penerimaannya sendiri. Dengan cara apa? Menyerahkan sebagian pajak ini ke daerah, tidak dikendalikan oleh pusat," pungkasnya.

Lebih baik tingkatkan kualitas SDM

Begawan ekonomi Profesor Emil Salim menyinggung soal rencana pembangunan ibukota baru di Kalimantan ketika Indonesia diterjang badai pandemi.

Emil Salim mememinta agar pemerintah mengkaji kembali rencana tersebut.

Sebab, pemerintah saat ini sedang `keteteran` mengendalikan ekonomi negara yang terdampak pandemi Covid-19.

"Jika Covid 19 belum tertundukkan, pembangunan ekonomi masih dihambat “ambil jarak antar manusia” dan banjir masih deras memukul kehidupan rakyat kecil, masih realistiskah keinginan PU-Bappenas untuk tetap kekeh bangun ibu-kota Negara baru?" tulis Emil di akun Twitter pribadinya, dikutip pada Rabu (24/2/2021).

Emil Salim meminta agar pemerintah menjalankan prioritas dalam kondisi saat ini.

Terlebih, pembangunan ibukota baru memakan biaya yang tidak sedikit.

"Ilmu ekonomi memanfaatkan dana terbatas untuk memilih sasaran pembangunan paling bermakna. Dengan dana Rp.500 trilliun bisa dibangun (1) ibukota Negara baru di Kalimantan ATAU (2) atasi tuntas banjir dan bangun pola ibu kota proklamasi kemerdekaan bangsa yang abadi," sebutnya.

"Jika Rp.X cukup beli sebutir telur atau sebatang rokok. Maka nilai telur yg dibeli dgn Rp.X = nilai rokok yg dikorbankan karena Rp.X habis dipakai. Maka biaya bangun ibukota baru = nilai biaya tanggulangi banjir Jakarta yg dikorbankan karena uang habis," imbuhnya.

Prof Emil mengungkapkan, anggapan bahwa membangun ibukota baru di Kalimantan akan mendorong pertumbuhan daerah bukanlah alasan yang ilmiah.

"Anggapan bahwa “membangun ibu-kota nasional baru” di Kalimantan akan mendorong pembangunan daerah tidak beralasan ilmiah. Ibu-kota Brazilia (Brazil), Canberra (Australia) dll, juga ibu-kota provinsi-provinsi di RI tidak membuktikan anggapan bagi negara kepulauan RI," jelasnya.

Pria yang sudah beberapa kali menjabat sebagai menteri serta mantan ketua dewan pertimbangan presiden ini mengungkapkan, belum ada parameter yang menyebutkan bahwa pembangunan sebuah bangsa hanya bertolak pada pembangunan fisik di ibukota negara tersebut.

"Pembangunan bangsa tdak ada yang disebabkan oleh pembangunan fisik ibu-kota, tetapi oleh naiknya mutu sumber-daya manusia mampu naikkan kualitas tahap Industry-II RI sekarang ke Industry-IV karena unggul dalam matematika, science dan “artificial intelligence”!"

"SDA tembaga ada di Papua, processing smelternya mau dibangun di lua rPapua karena SDMnya kurang. Seharusnya sumber daya manusia olah smelter dibangun di Tembagapura, Papua, dengan mendidik pemuda Papua naikkan nilai tambah tembaga dengan ilmu dan ketrampilan di Papua."

Dia menyebutkan, bahwa kunci keberhasilan pembangunan yang sesungguhnya terletak pada sumber daya manusia sebuah bangsa, bukan dengan pembangunan fisik ibukota negara.

"Kunci pembangunan suatu negara terletak dalam membangun otak-akal-fikiran SDM bangsa menguasai science-ilmu-teknologi untuk naikkan nilai tambah SDA di seluruh tanah-air. Bukan dengan bangun fisik ibu-kota Negara di pulau Kalimantan yang dirancang bantuan asing," tandasnya

Tertunda karena corona

Pemerintah sendiri telah memastikan program pemindahan ibu kota baru ditunda karena virus corona.

Hal tersebut disampaikan Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam rapat bersama komisi XI DPR, Selasa (8/9/2020) lalu.

Seperti diketahui, rencana pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur itu bergulir sejak awal tahun lalu.

Pada Mei 2019, Presiden Joko Widodo tercatat melakukan beberapa kali lawatan ke Kalimantan untuk melihat kandidat lokasi pemindahan pusat pemerintahan.

Setelah tiga bulan dari lawatan pertama, tepatnya 26 Agustus 2019, Jokowi mengumumkan Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur sebagai lokasi pemindahan ibu kota.

Untuk melancarkan megaproyek tersebut, pemerintah tercatat telah menganggarkan total Rp2 triliun yang tersebar di beberapa kementerian dalam APBN 2020. Namun, anggaran ini direlokasi untuk penanggulangan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Anggaran pemindahan ibu kota sendiri diprediksi akan menelan anggaran hingga ratusan triliun. Tentu tak semuanya berasal dari kantong APBN.

Deputi Pengembangan Regional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rudy S. Prawiradinata merinci setidaknya ada dua skenario estimasi sumbangan dana dari swasta yang diharapkan pemerintah.

Untuk melancarkan megaproyek tersebut, pemerintah tercatat telah menganggarkan total Rp2 triliun yang tersebar di beberapa kementerian dalam APBN 2020.

Namun, anggaran ini direlokasi untuk penanggulangan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Anggaran pemindahan ibu kota sendiri diprediksi akan menelan anggaran hingga ratusan triliun. Tentu tak semuanya berasal dari kantong APBN.

Deputi Pengembangan Regional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Rudy S. Prawiradinata merinci setidaknya ada dua skenario estimasi sumbangan dana dari swasta yang diharapkan pemerintah.

Pertama, bila kebutuhan dana mencapai Rp466 triliun, maka pemerintah akan menyiapkan anggaran sekitar Rp251,5 triliun atau setara 53,96 persen dari total kebutuhan dana. Sisanya, sekitar Rp214,5 triliun didapat dari pihak swasta.

Kedua, bila kebutuhan dana lebih sedikit, yaitu sekitar Rp323 triliun, maka pemerintah akan merogoh `kocek` sekitar Rp174,5 triliun atau 54,02 persen dari total kebutuhan anggaran. Sisanya, sekitar Rp148,5 triliun dipenuhi oleh swasta.

Estimasi kebutuhan anggaran tersebut berasal dari perhitungan kebutuhan anggaran pembangunan gedung legislatif, eksekutif, dan yudikatif senilai Rp20 triliun sampai Rp32,7 triliun.

Selanjutnya, anggaran untuk pembangunan gedung Kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), serta fasilitas pendidikan dan kesehatan Rp182,2 triliun sampai Rp265,1 triliun.

Lalu, kebutuhan untuk pembangunan sarana dan prasarana penunjang sekitar Rp114,8 triliun sampai Rp160,2 triliun. Selanjutnya, anggaran pengadaan lahan sebesar Rp6 triliun sampai Rp8 triliun.

Meski demikian, eks Kepala Bappenas Bambang P.S. Brodjonegoro memastikan proyeksi akhir anggaran pemindahan ibu kota berada di kisaran Rp486 triliun. Dari jumlah tersebut pemerintah hanya akan merogoh kocek APBN sebesar Rp93 triliun dan dianggarkan bertahap atau multiyears mulai 2020.

Sementara anggaran yang berasal dari investasi swasta murni diperkirakan mencapai Rp127,3 triliun dan sisanya sekitar Rp265,2 triliun berasal dari Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar