Dr. Roy T Pakpahan SH, Pemimpin Redaksi Law-Justice.co

Pasal Karet KUHP Dibatalkan MK, Kini Ada Lagi.Ini Penjara Demokrasi!

Kamis, 10/06/2021 06:51 WIB
Ilustrasi Matinya Demokrasi di dalam Penjara Demokrasi (sindonews)

Ilustrasi Matinya Demokrasi di dalam Penjara Demokrasi (sindonews)

[INTRO]

Adanya pasal penghinaan pada Presiden dan wakil presiden kembali muncul dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dalam draf RUU KUHP terbaru itu, penghinaan terhadap martabat presiden/wapres dikenai ancaman maksimal 3,5 tahun penjara. Bila penghinaan itu dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya diperberat menjadi 4,5 tahun penjara.

Hal itu tertuang dalam BAB II TINDAK PIDANA TERHADAP MARTABAT PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN. Bagian Kedua Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 218 ayat 1 berbunyi:

Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun 6(enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Ada ancaman hukuman penjara naik 1 tahun apabila penghinaan itu dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik lainnya. Pasal 219 berbunyi:

Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Padahal, sebelumnya Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Permohonan uji materi tersebut diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. MK menilai Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena tafsirnya yang amat rentan manipulasi. Namun, kini pasal tersebut tetap muncul dalam RKUHP.

Kali ini dengan pasal tambahan yang membuat miris ada klausul yang bisa memenjarakan hingga 4,5 tahun siapa saja yang mengkritik presiden dan DPR di media sosial.

Menjadi pasal karet, aturan ini dengan mudah menjerat siapa saja yang mengkritik pemerintah dan anggota legislatif. Rakyat kebanyakan tak bisa mengeluh tentang anggota DPR yang malas. Warganet tidak bisa mengolok-olok keputusan menteri yang pincang. Pelantun lagu balada Iwan Fals, yang mengkritik wakil rakyat yang tidur pada saat sidang, bisa masuk bui.

Bisa-bisa media massa yang memakai platform media sosial untuk mengkritik kedua lembaga itu dapat dipersoalkan, betapapun telah ada Undang-Undang Nomor 40/1999 yang melindungi kebebasan pers. Sempat dibahas pada September 2019, RUU KUHP batal disahkan akibat protes mahasiswa dan masyarakat sipil. Tidur sebentar, RUU itu kini bangkit lagi.

Anggota DPR hendaknya sadar, setiap pemidanaan baru terhadap kebebasan berekspresi akan berdampak menyempitnya ruang kebebasan sipil. Itulah yang terjadi dengan penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik serta KUHP—aturan peninggalan kolonial yang dahulu dipakai penjajah untuk menjerat penentang mereka. Dalam dua aturan tersebut, pasal pencemaran nama dan penghinaan paling banyak dipakai untuk membungkam suara kritis.

Selain lewat regulasi, setidaknya ada dua cara lain yang kerap dipakai negara untuk mempersempit ruang kebebasan sipil dan menjadi penjara demokrasi yaitu;

Yang pertama adalah kekerasan aparat negara. Dalam tiga tahun terakhir, aparat keamanan menggunakan kekuatannya secara berlebihan untuk menangani unjuk rasa yang mempersoalkan kebijakan pemerintah. Tindakan itu, misalnya, dipakai polisi saat menangani protes mahasiswa dan masyarakat sipil atas revisi Undang-Undang KPK dan pengesahan Undang-Undang Omnibus Law.

Bersamaan dengan itu, ada pula peretasan akun media sosial milik masyarakat sipil. Praktik serupa terulang terhadap sejumlah aktivis yang mempersoalkan langkah pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menyingkirkan sejumlah penyidik lewat tes wawasan kebangsaan. Meski tak ada bukti aparat negara berada di belakang perbuatan itu, sikap abai polisi terhadap laporan yang masuk memperkuat wasangka bahwa mereka berada di belakang laku jahat tersebut.

Yang kedua adalah memecah belah masyarakat sipil lewat pendengung di media sosial. Para pendengung bayaran ini dipakai tidak hanya untuk membela pemerintah, tapi juga menyerang, mendiskreditkan, atau membunuh reputasi masyarakat sipil yang berlawanan dengan pemerintah.

Sebutan pemeluk agama radikal dipakai pula sebagai stempel untuk memberangus lawan politik. Dalam kasus KPK, para penyidik dicap “Taliban” agar bisa dienyahkan. Tak bisa ditolak, stigmatisasi yang disebarkan para pendengung dipercaya sebagian masyarakat—terutama mereka yang masih menyimpan trauma akibat residu Pemilu 2019.

Munculnya pasal pidana penghinaan terhadap presiden dan DPR makin memperburuk keadaan. Anggota DPR yang menyetujui masuknya pasal itu sejatinya telah mendorong Indonesia menjadi negara totaliter. Presiden yang diam saja berlagak polos seraya terus mencitrakan diri sebagai korban pertarungan politik elit, sesungguhnya tidak lebih baik dari para legislator itu.

Atas dasar itu sudah saatnya rakyat bergerak beramai-ramai menolak pasal karet yang memberangus harapan dan aspirasi rakyat untuk bisa mengkritisi pemimpin dan wakilnya itu. Jangan sampai kemarahan rakyat ini menjadi bola salju yang terus menggelinding dan pada akhirnya pemerintah kehilangan legitimasinya karena rakyat sudah muak dan tegas mau mencabut mandat yang mereka berikan.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar