Demokrat Dukung Pasal Penghina Presiden, Teringat Kasus Kerbau SBY

Rabu, 09/06/2021 18:48 WIB
Anggota Komisi III DPR Ri dari Fraksi Demokrat Benny K Harman dukung pasal penghinaan presiden di RKUHP (Teropongsenayan)

Anggota Komisi III DPR Ri dari Fraksi Demokrat Benny K Harman dukung pasal penghinaan presiden di RKUHP (Teropongsenayan)

Jakarta, law-justice.co - Munculnya pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam draf Rancangan Kitab Hukum Undang-undang Pidana (RKUHP) didukung oleh politikus Demokrat Benny K Harman. Meski dengan nada menyindir, hal itu disampaikan anggota Komisi III DPR itu saat rapat bersama Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Rabu (9/6/2021).

Benny mengaku merasa kasihan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kerap menjadi bahan olok-olokan di media sosial.

"Tapi saya setuju bukan karena hukumnya, saya kasihan Pak Jokowi dikuyuk-kuyuk (olok-olok) di medsos, perlu pasal ini dihidupkan. Oleh karena itu, saya dukung itu," kata dia.

Benny mengatakan polemik mengenai pasal penghinaan presiden itu sebetulnya sudah selesai dibahas pada DPR periode sebelumnya. Saat itu, pembahasan melewati perdebatan yang cukup panjang dan alot.

Menurutnya, dari hasil perdebatan tersebut, salah satu yang belum terpecahkan adalah definisi penghinaan. Pasalnya, dalam aturan KUHP yang lama maupun dalam draf RKUHP saat ini, tidak ada definisi jelas mengenai penghinaan ini.

"Akibatnya suka-suka. Kalau penguasa tidak suka kritik, ini penghinaan, tangkap. Apalagi kalau polisi kayak jaman sekarang jadi alat, udah enak aja, polisi suruh tangkap orang ini," ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Benny mengingatkan bahwa pasal penghinaan presiden sudah dicabut melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006. Ia pun bercerita mengenai penghinaan terhadap Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang kini menjabat Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, dalam sebuah aksi demonstrasi beberapa tahun lalu. Kala itu, pihaknya tak membawa kasus tersebut ke polisi.

"Waktu presiden ke-6, orang bawa kerbau ke HI, lalu dituliskan (nama SBY), tidak bisa dibawa ke polisi, karena pasal itu sudah dihapus KUHP," ujarnya.

Pada 2010, massa demonstrasi di Bundaran HI, Jakarta, membawa kerbau yang ditempeli foto SBY dan dituliskan nama SiBuYa dengan maksud menyindir kelambanan Presiden keenam RI itu. Benny melanjutkan dirinya selaku ketua Panja RKUHP ketika itu juga telah menolak pasal penghinaan presiden ini.

"Enggak usah hidupkan lagi pasal penghinaan ini, tapi teman-teman memaksa, ya udah. Kalau teman-teman maksa saya paham, untuk selamatkan Pak Presiden Jokowi yang orang suka-sukanya menghina di medsos," ujar Benny.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly buka suara perihal polemik pasal penghinaan presiden dan wakil presiden yang tercantum dalam draf RKUHP. Ia menjelaskan pasal itu bertujuan untuk mempidanakan pihak-pihak yang menyerang harkat dan martabat presiden secara personal, bukan pihak yang mengkritik presiden.

"Mengkritik presiden itu sah, kritik kebijakan sehebat-hebatnya kritik. Bila tidak puas pun ada mekanisme konstitusi. Tapi sekali soal personal, yang kadang-kadang dimunculkan, presiden kita dituduh secara personal dengan segala macam isu," ujar Yasonna.

Di tempat yang sama, Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan heran masih ada pihak-pihak yang menolak aturan tersebut.

"Menghina kepala negara dari negara sahabat di republik ini, di kitab yang sama, ini dihukum. Malah menghina presiden sendiri enggak dihukum, ini kan logika berpikirnya kan enggak ada," kata dia.

Anggota Fraksi PDI-Perjuangan itu juga menyindir para pakar hukum yang menolak pasal tersebut. Menurut dia, seharusnya yang lebih pantas menjelaskan mengenai polemik pasal penghinaan presiden ini adalah anggota dewan yang membahas RKUHP ini.

"Saat digoreng, kami mohon, kalau digoreng itu teman-teman nanyanya ke DPR yang buat UU. Jangan ngambil akademisi atau yang lain, percuma. Itu jadi objek nyari duit. Udah lah buang-buang duit, hasilnya tidak pas," tegasnya.

Dalam rapat itu, dukungan atas pasal penghinaan presiden juga disampaikan oleh anggota Fraksi PPP Arsul Sani. Menurut dia, negara-negara lain juga memiliki aturan yang ketat mengenai penghinaan terhadap presiden atau penguasa.

Artinya, pasal penghinaan terhadap presiden merupakan sebuah kewajaran. Ia berpendapat bahwa selaiknya pasal tersebut tetap dipertahankan.

"Berdasarkan benchmarking, pasal terkait penghinaan pada presiden, wapres dipertahankan. Tantangan kita adalah agar bagaimana tidak menabrak putusan MK (Mahkamah Konstitusi)," jelas Arsul.

Pasal penghinaan presiden dalam draf RKUHP kembali menjadi polemik belakangan ini. Aturan tersebut membuka kemungkinan menjerat orang yang menyerang harkat serta martabat presiden dan wakil presiden melalui media sosial dengan pidana penjara selama 4,5 tahun atau denda paling banyak Rp200 juta.

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar