RKUHP Tentang Hina Presiden Dibui 4,5 Tahun, Nasib Revisi UU ITE?

Jum'at, 04/06/2021 17:00 WIB
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (bahasa Belanda: Wetboek van Stafrecht, umum dikenal sebagai KUH Pidana atau KUHP) adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pidana di Indonesia. (Edarabia)

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (bahasa Belanda: Wetboek van Stafrecht, umum dikenal sebagai KUH Pidana atau KUHP) adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pidana di Indonesia. (Edarabia)

Jakarta, law-justice.co - Draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru membuka kemungkinan menjerat orang yang menyerang harkat serta martabat presiden dan wakil presiden melalui media sosial dengan pidana penjara selama 4,5 tahun atau denda paling banyak Rp200 juta.

Hal itu tertuang di Pasal 219 Bab II tentang Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden.


"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," demikian bunyi pasal tersebut, sebagaimana tertuang dalam draf RKUHP

Sementara itu, penyerangan kehormatan pada harkat dan martabat presiden serta wakil presiden yang tidak melalui media sosial bisa dijerat dengan pidana penjara maksimal 3,5 tahun atau denda Rp200 juta. Hal itu tertuang di Pasal 218 ayat 1.

Di Pasal 218 ayat 2 kemudian dinyatakan bahwa tindakan tidak dikategorikan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat jika dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

"Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri," demikian bunyi Pasal 218 ayat 2.

Namun, di Pasal 220 menegaskan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud di Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan yang bisa dibuat secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden.

Kemenkumham diketahui tengah melakukan sosialisasi RKUHP di 12 kota sejak awal Mei 2021. Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan bahwa 12 kota itu ialah Medan, Semarang, Denpasar, Yogyakarta, Ambon, Makassar, Padang, Banjarmasin, Surabaya, Mataram, Manado, dan Jakarta.

Menurutnya, sosialisasi RKUHP diikuti peserta dari perguruan tinggi, aparat penegak hukum, serta lembaga swadaya masyarakat (LSM).

 

Pemerintah Prioritas Sahkan RKUHP daripada Revisi UU ITE


Pemerintah RI menyatakan bakal lebih memprioritaskan pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) ketimbang revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Edward Omar Sharif Hiariej menjelaskan karena terdapat beberapa pasal pidana dalam UU ITE terkait pidana yang masuk dalam RKUHP. Sehingga, kata Edward, jika RKUHP tersebut disahkan tidak perlu lagi dilakukan revisi UU ITE.

"Kan gini, kita dua-duanya jalan. Jaga-jaga kalau KUHP enggak berhasil, tapi kalau KUHP lolos itu enggak jadi (revisi UU ITE). Makanya kita fokus pada KUHP. Jadi kalau dia (RKUHP) disahkan, [pasal pidana dalam] UU ITE enggak berlaku. Jadi diterangkan nanti mana yang dicabut," kata Edward kepada wartawan di Kemenkumham, Jumat (9/4/2021) lalu.

Edward mengatakan pasal-pasal tentang aturan pidana yang ada di dalam UU ITE jadi tak berlaku jika RKUHP disahkan. Dalam RKUHP akan ada ketentuan pencabutan pasal-pasal UU ITE.

"Semua pasal-pasal pidana di ITE itu dicabut, masukan ke dalam KUHP," ujarnya.

Lebih lanjut, Edward menyebut sanksi pidana terkait ITE di dalam RKUHP juga lebih rendah ketimbang yang tertuang dalam UU ITE saat ini. Menurutnya, masyarakat seharusnya senang dengan hal tersebut.

"Di UU ITE ancaman maksimum 6 tahun, di RKUHP itu maksimum 18 bulan. Jadi, kalau dia penghinaan tanpa melalui elektronik 9 bulan, pake itu (sarana elektronik) 18 bulan," katanya.

Meskipun demikian, Edward mengatakan sampai saat ini tim kajian revisi ITE masih bekerja. Ada dua tim kajian yang dibentuk pemerintah. Pertama terkait perlu atau tidaknya revisi UU ITE dan kedua tim pembentuk pedoman UU ITE.

"Jadi harus ada pedoman karena harus ada parameter yang sama. Jangan sampe penanganan di daerah-daerah itu berbeda. Bikin revisi itu kan enggak sebentar," ujarnya.

Sebelumnya, baik RKUHP atau UU ITE mendapat penolakan di masyarakat. Koalisi masyarakat sipil menuntut pemerintah untuk merevisi UU ITE dan menghapus pasal-pasal bermasalah. Pasal-pasal itu di antaranya pasal 27 , 28, dan pasal 29.

Sedangkan RKUH juga dianggap bermasalah karena memuat pasal-pasal bermasalah. Pasal-pasal itu terkait korupsi, penghinaan presiden, makar, penghinaan bendera, alat kontrasepsi, aborsi, gelandangan, zina dan kohabitasi, dan pencabulan.

Pemerintah ingin RKUHP disahkan pada tahun ini. Pemerintah dan DPR pun sepakat sudah tak ada pasal bermasalah dalam RKUHP yang batal disahkan pada 2019 lalu.

 

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar