Gawat! Apa yang Ditakutkan Jokowi dan Sri Mulyani Ini Makin Nyata

Kamis, 03/06/2021 20:02 WIB
Ketakutan Sri Mulyani dan Presiden Jokowi makin nyata (indozone)

Ketakutan Sri Mulyani dan Presiden Jokowi makin nyata (indozone)

Jakarta, law-justice.co - Pandemi Covid-19 sudah setahun lebih melanda Indonesia bahkan dunia. Saat ini perekonomian Indonesia mulai bangkit setelah sebelumnya dihantam oleh wabah virus yang berasal dari China ini.

Kini sudah ada kemajuan dimana vaksin sudah ada dan disuntikan kepada manusia. Vaksin, jika efektif, akan membentuk kekebalan tubuh untuk melawan serangan virus.

Oleh karena itu, pemerintah di berbagai negara mulai berani membuka `keran` aktivitas dan mobilitas masyarakat. Perlahan tetapi pasti, `roda` ekonomi mulai berputar lagi meski masih jauh dari kondisi sebelum pandemi.

Salah satu negara yang paling maju dalam hal vaksinasi adalah Amerika Serikat (AS). Per 1 Juni 2021, total vaksin yang sudah disuntikkan ke lengan rakyat Negeri Paman Sam mencapai 296,4 juta dosis. Dalam hal ini, AS hanya kalah dari China.

Sementara jumlah penduduk yang sudah mendapatkan vaksinasi penuh di AS per 1 Juni 2021 adalah 135,87 juta orang. Ini adalah yang terbanyak dibandingkan negara-negara lain.

Vaksinasi yang cepat dan masif ini mendorong pemerintahan Presiden Joseph `Joe` Biden untuk melonggarkan social restrictions. Pada akhir April 2021, Biden mengumumkan mereka yang sudah mendapat vaksinasi penuh bisa beraktivitas di dalam dan luar ruangan tanpa harus mengenakan masker.

"Kita bisa semaju ini berkat Anda semua. Jika Anda sudah divaksin, silakan melakukan lebih banyak aktivitas baik itu di dalam maupun luar ruangan. Jadi bagi yang belum divaksin, terutama kaum muda atau yang merasa tidak membutuhkannya, ini adalah alasan yang tepat bagi Anda untuk divaksin," kata Biden, seperti dikutip dari Reuters.

Saat negara-negara Asia kembali bergulat dengan kenaikan pasien positif corona, tidak demikian dengan AS. Mengutip catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah pasien positif corona di Negeri Adidaya per 2 Juni 2021 adalah 32.942.677 orang, bertambah 3.678 orang dibandingkan hari sebelumnya. Meski masih bertambah, tetapi itu adalah penambahan terendah sejak 22 Maret tahun lalu.

Dalam 14 hari terakhir, rata-rata pasien positif corona bertambah 21.108 orang setiap harinya. Jauh berkurang ketimbang rerata 12 hari sebelumnya yakni 34.832 orang per hari. Telrihat kurva kasus corona di AS mulai melandai.

Saat tekanan pandemi mereda, aktivitas ekonomi bisa lebih ditingkatkan. Berbagai data menunjukkan bahwa kebangkitan ekonomi AS bukan pepesan kosong.

Technometrica Market Intelligence/The Investors Business Daily melaporkan, indeks keyakinan ekonomi AS periode Juni 2021 adalah 56,4. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 54,4.

Kemudian IHS Markit mengumumkan aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers` Index (PMI) periode Mei 2021 sebesar 62,1. Ini adalah rekor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan PMI oleh IHS Markit yang sudah berlangsung selama 14 tahun.

Masyarakat dan dunia usaha yang bergairah tentu akan menyebabkan harga barang dan jasa bergerak ke atas alias naik. Akhir pekan lalu, US Bureau of Economic Analysis merilis data Personal Consumption Expenditure (PCE). PCE adalah data yang dijadikan acuan infasi oleh bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed).

Pada April 2021, PCE berada di 3,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy), tertinggi sejak September 2008. Kemudian PCE inti adalah 3,1% yoy, tertinggi setdaknya sejak 2004.

Seperti yang disinggung sebelumnya, bank sentral melakukan kebijakan ekspansi untuk menghadapi pandemi dan merangsang ekonomi. Kini setelah pandemi mulai terkendali dan ekonomi bersemi kembali, mulai ada omongan kebijakan yang ultra-longgar akan diketatkan.

Termasuk di bank sentral AS. Beberapa pejabat teras The Fed mulai membuka wacana soal pengetatan. Randal Quarles, Kepala Dewan Stabilitas Keuangan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), mengungkapkan bukan tidak mungkin wacana pengetatan mulai dibuka dalam beberapa bulan ke depan.

"Kita perlu bersabar. Jika perkiraan saya bahwa seputar pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan inflasi mulai terbukti, bahkan semakin kuat, maka menjadi penting bagi kami untuk mulai mendiskusikan tentang penyesuaian besaran pembelian aset dalam rapat-rapat selanjutnya," papar Quarles, sebagaimana diwartakan Reuters.

Patrick Harker, Presiden The Fed Philadelphia, menyatakan bahwa suku bunga acuan mungkin masih akan bertahan rendah dalam waktu yang cukup lama. Namun soal penggelontoran likuiditas atau quantitative easing, mungkin sudah saatnya mulai dikurangi.

"Kami berencana untuk mempertahankan Federal Funds Rate tetap rendah untuk jangka waktu lama. Namun mungkin sudah saatnya untuk setidaknya berpikir mengenai pengurangan pembelian surat berharga yang sekarang bernilai US$ 120 miliar per bulan," ungkap Harker, juga dikutip dari Reuters.

Pandemi belum sepenuhnya usai, dan dalam waktu tidak lama lagi mungkin masalah baru bakal hadir. Namanya adalah taper tantrum. Pengetatan kebijakan moneter di AS yang kemudian mempengaruhi seluruh dunia.

Taper tantrum kali terakhir terjadi pada 2013-2015. Saat itu, ekonomi AS yang mulai pulih dari krisis akibat sub-prime mortgage membuat The Fed membuka wacana untuk mulai melakukan pengetatan (tapering off).

Baru sebatas wacana saja dunia sudah kalang-kabut. Arus modal berbondong-bondong menyerbu pasar keuangan AS, karena ada harapan cuan dari kenaikan suku bunga. Akibatnya, dolar AS menguat luar biasa dan mata uang dunia anjlok.

Dollar Index, yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia, melesat 13,57% secara point-to-point pada awal 2013 hingga akhir 2015. Akibatnya, rupiah melemah 47,37% dalam periode tersebut. Rupiah yang awalnya masih di bawah Rp 10.000/US$ terdepresiasi hingga ke atas Rp 14.000/US$.

Besarnya dampak taper tantrum ke Indonesia membuat para pengambil kebijakan mulai waspada. Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, hingga Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mulai bicara soal ancaman taper tantrum.

"Tahun depan, kami memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan bahwa The Fed akan mulai mengubah kebijakan moneternya. Mulai mengurangi intervensi likuiditas bahkan melakukan lakukan pengetatan dan kenaikan suku bunga," kata Perry.

"Inflasi di akan jadi penentu stance monetary policy tahun ini dan tahun depan," tambah Sri Mulyani.

Kalau melihat data ekonomi AS yang kinclong dan para pejabat The Fed yang mulai membuka wacana soal pengetatan, maka kecemasan Perry dan Sri Mulyani itu adalah ancaman yang sangat nyata. Indonesia tidak boleh lengah, harus selalu waspada.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar