Tri Mumpuni Wiyatno Founder Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan IBEKA

Si Penerang dan Kemandirian Ekonomi Masyarakat Desa

Rabu, 02/06/2021 19:34 WIB
Tri Mumpuni yang aktif membangun ekonomi desa dan membangun listrik mikro hidro di pedesaan (Sumber : IBEKA)

Tri Mumpuni yang aktif membangun ekonomi desa dan membangun listrik mikro hidro di pedesaan (Sumber : IBEKA)

Jakarta, law-justice.co - Banyak rumah di pedesaan dan pedalaman Indonesia kesulitan untuk mendapatkan akses listrik dan penerangan. Anak-anak pun kesulitan untuk belajar di waktu malam. Hal itulah yang melecutnya untuk terus mengabdi kepada masyarakat dengan mengembangkan penerangan berbasis kemandirian masyarakat dengan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH). Ada lebih 61 desa terpencil yang dulu gelap dan belum memiliki akses listrik dan penerangan, kini menjadi benderang dan kualitas kehidupan masyarakat desa semakin bertambah.

Sosok yang ramah ini ternyata memiliki segudang prestasi pengabdian yang diakui nasional dan internasional. Tri Mumpuni bersama suaminya membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) sebagai sumber energi listrik bagi wilayah yang belum terjangkau atau sulit dijangkau oleh PLN dengan memanfaatkan potensi energi air di wilayah setempat untuk menggerakkan turbin.

Dengan membentuk Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA), Tri Mumpuni yang sering dijuluki `wanita listrik` ini diganjar banyak penghargaan di dunia internasional. Salah satunya, Tri berhasil mendapatkan Nobel atau award Ashden Awards 2012. Asdhen adalah lembaga swadaya masyarakat Inggris yang terlibat dalam energi ramah lingkungan. Sang Pangeran Charles-lah menjadi salah seorang penaung Ashden Awards. Ashden Award adalah penghargaan bergengsi di Inggris.

Bahkan, dalam pertemuan para wirausaha dari negara-negara muslim yang bertajuk Presidential Summit on Entrepreneurship pada 27 April 2010 lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama menyebut dengan lantang nama seorang wirausahawati sosial dari Indonesia yang sukses mengembangkan pembangkit-pembangkit listrik di daerah terpencil.


Tri Mumpuni yang banyak membangun listrik mikrohidro di pedalaman (Foto : Kompas)

Wanita yang lahir di Semarang, 6 Agustus 1964 itu tidak pernah menyangka namanya akan disebut secara langsung oleh Obama. Namun berdasarkan penuturan staf Gedung Putih, Obama kagum dengan konsep wirausaha sosial yang diusung Tri Mumpuni selama ini.

Karena jasanya, kini puluhan ribu orang di puluhan desa di Indonesia memiliki kualitas hidup yang makin membaik. Karena penerangan yang menjadi modal kemajuan bisa termanfaatkan.

Perjuangan Kemandirian Desa
Dengan ramah dan cekatan, Tri Mumpuni bercerita salah satu pengalamannya dalam mengembangkan salah satu desa yang berhasil terang benderang.Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Puluhan tahun warga desa itu harus mengalami penderitaan hidup tanpa listrik. Hal itu diperparah dengan kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari yang bisa menghabiskan waktu 7 jam.

Rumah-rumah warganya banyak berada di atas bukit, sementara ketersediaan air ada di bawah bukit. Setiap harinya Ibu-Ibu harus menghabiskan waktu 7 jam lamanya untuk mengumpulkan air untuk kebutuhan sehari-hari.

Kata dia, kondisi sulit seperti itu tidak boleh dibiarkan. Melalui lembaga Ibeka yang diasuhnya, Tri berusaha keras membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang terletak di Bakuhau, Desa Kamanggih itu.

Dengan adanya listrik, bisa dimanfaatkan untuk menyedot air dari bawah bukit ke atas, jadi para Ibu tidak perlu menghabiskan waktu 7 jam lamanya untuk angkut air dari bawah.

Dengan adanya pembangunan fasilitas listrik tenaga mikro hidro itu, waktu 7 jam bisa dihemat para ibu di desa itu, karena tidak lagi ambil air di bawah bukit, dimanfaatkan para ibu untuk menenun kain, sehingga menambah pendapatan keluarga.

Dia pun banyak bercerita soal kecintaanya terhadap masyarakat desa. Kata dia, Indonesia memiliki potensi air yang berlimpah sehingga bisa dimanfaatkan untuk membangun pembangkit listrik tenaga air. Di tahun 1990, dia melihat listrik menjadi pintu masuk berkembangnya masyarakat desa. Dengan adanya listrik maka pembangunan roda ekonomi bisa semakin berkembang.

"Waktu itu diawal tahun 1990-an saya masih mengerjakan rumah murah untuk penduduk miskin perkotaan. Melihat bahwa listrik itu menjadi pembuka pintu peradaban bagi masyarakat desa dan mampu untuk menjadi pendorong pembangunan ekonomi, maka saya memutuskan untuk mengurus desa saja, lebih jelas hasilnya dan interest politiknya membangun desa agak kurang dibanding harus membuat perubahan di kota," ungkapnya.


Tri Mumpuni bersama dengan anak-anak dan masyarakat desa (Foto:IBEKA)

"Awal saya tertarik untuk masuk ke desa ngurusi listrik adalah pada saat saya diajak sama suami melihat potensi air di Indonesia yang luar biasa melimpah, dan dia membangun satu pembangkit kecil 13 KW di desa Subang untuk melistriki penduduk desa yang jumlahnya 144 KK," tambah dia.

Dia cerita, banyak kendala saat menjalankan program untuk kemandirian masyarakat desa. Kata dia, musuh utama pembangunan kota adalah uang, money driven development, siapa yang punya uang itulah yang bisa merubah wajah kota seperti yang mereka inginkan.Namun berbeda dengan masyarakat desa yang akan menerima perubahan dengan pendekatan yang berbasis kemandirian.

"Namun di desa, kita datang dengan niat baik untuk membuat perubahan, misalnya dengan pintu masuk memberi akses listrik, dengan pendekatan yang benar, kita akan dianggap sebagai `pahlawan`. Itu saya rasakan benar pada saat kita melakukan comissioning, uji coba listrik pertama kali menyala selama 72 jam non stop," jelasnya.

"Pas listrik menyala mereka akan berteriak `Allahu Akbar` saya sering merinding di tengah tengah penduduk di daerah terpencil bahkan kadang ditengah hutan pada waktu itu yang gelap gulita tiba tiba terang oleh listrik yang kita bangun," tambah dia.

Filosofi Hidup
Berbuat baik dengan kaum dhuafa akan mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Filosofi hidup itu yang kini terus pegangnya. Benar saja, selama belasa tahun bergelut untuk menerangi masyarakat dan kemandirian desa, membuat Tri Mumpuni ketagihan. Bahkan, ketika wajah-wajah orang desa bahagia karena lingkungannya sudah dialiri listrik.

"Dalam bukunya Doktor Ali Syariati, seorang ulama Iran, beliau mengatakan bahwa kalau kamu ingin mendekat kepada Tuhan, dekatlah dengan kaum dhuafa. Sejak saat itu, saya tidak pernah berhenti keluar masuk desa dan daerah terpencil, namun saat ini tidak sesering dulu waktu masih muda," ungkapnya.

Dia cerita juga soal pengalamannya diculik dan tidur di bawah pohon atau bedeng dengan kondisi seadanya. Bahkan di tengah belantara hutan pedalaman dengan kondisi angin gunung yang kencang, membuat dirinya ikut merasakan kesusahan hidup masyarakat desa.

"Namun ada yang tidak bisa saya lupakan adalah pada saat saya diculik di Aceh, karena ada kesalahpahaman teman-teman yang kita latih membuat turbin. Di situlah pertama kali saya merasa bahwa pilihan hidup saya berada di hutan bersama masyarakat adalah pilihan yang berat," jelasnya.

"Namun karena akhirnya semua itu bisa teratasi dengan baik, saya merasa bahwa saat kejadian itu mungkin ujian dari Tuhan, apakah benar saya memilih jalan yang `mendaki` ini, berada selalu dengan rakyat yang memerlukan saya atau memilih kehidupan kota dengan zona nikmat yang bisa saya peroleh selama ini. Akhirnya saya tetap pada pilihan saya bahwa saya ingin menjadi orang yang bermanfaat buat sesama," tambah dia.

Listrik dan Masyarakat Desa
Kunci keberhasilan listrik di daerah terpencil, dan daerah-daerah lainnya pada menurutnya adalah pengabdian kepada masyarakat dan menjadikan listrik menjadi modal sosial masyarakat. Karena kata dia, selama 20 tahun mengurusi listrik untuk rakyat banyak lika liku yang dihadapinya dalam mengembangkan kemandirian listrik di tengah masyarkat.

"Selama lebih dari 20 tahun ngurusi listrik untuk rakyat, karena saya dan tim IBEKA menganggap listrik adalah modal sosial bangsa, bukan infrastruktur atau bukan komoditi. Khusus mikrohidro adalah alat untuk pemberdayaan masyarakat, bukan jalan orang mencari uang. Kenyataannya, kalau sekarang banyak mikrohidro dan proyek-proyek PLTS yang mangkrak, itu karena pemerintah menganggap listrik adalah infrastruktur buat rakyat, jadi rakyat dibangunkan fasilitas listrik, top down, project base, dan tidak melibatkan rakyat dalam proses pembangunannya," jelasnya yang memiliki basis IBEKA di Panaruban, Subang, Jawa Barat.

Dia juga mengkritisi soal sistem pembiayan negara yang tidak berpihak kepada program pemberdayaan masyarakat. Sehingga, banyak proyek elektrifikasi yang seharusnya bisa berhasil malah mangkrak.


Tri Mumpuni saat menerima penghargaan Ramon Magsaysay tahun 2011 (Foto : IBEKA)

"Memang sistem pembiayaan negara kita tidak memungkinkan adanya proses pemberdayaan masyarakat. Masyarakat adalah objek, harus disuapi dan saya melihat ini seperti keadaan yang tidak bisa atau tidak mau diperbaiki. Jadi kalau pemerintah sudah mengeluarkan uang triliunan tetapi rasio elektrifikasi tidak tambah dan kemiskinan tidak berkurang, saya sering berpikir bahwa kemiskinan itu by design," bebernya.

"Saya sih belum lelah untuk menyurakan hal ini, karena waktu saya membantu pak Sudirman Said di ESDM, saya berusaha untuk membuat agar birokrat hanya mengurusi regulasi saja, dan yang membangun biarkan masyarakat langsung yang sudah didampingi oleh sarjana profesional sekaligus sarjana rakyat, atau kalau swasta berminat biarkanlah swasta,"pungkasnya.

Kesejahteraan dan Menjaga Lingkungan
Setelah berhasil mengembangkan listrik, kini Tri Mumpuni fokus untuk berusaha menjaga kelestarian lingkungan hidup sekitarnya. Dia cerita, dengan deru pembangunan yang didegungkan pemerintah akan memiliki dampak kepada lingkungan. Sehingga perlu kesadaran seluruh elemen masyarakat dari pemerintah hingga masyarakat desa untuk menjaga kelestraian alam.

Kata dia, dengan menjaga kelestarian alam maka akan memberikan nilai manfaat bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya. Dia memberikan contoh, apabila kelestarian alam terganggu maka akan mengurangi kualitas mata air yang berdampak pada terbatasnya kebutuhan air bersih bagi masyarakat dan banyak masalah yang akan terjadi.

"Kalau lingkungan dan alam rusak, maka akan berdampak bagi masyarakat sekitar. Air menjadi susah, semua akan terganggu," jelasnya.

Dia juga mengajak masyarakat berkomitmen menjaga lingkungan dan alam yang tergerus dengan maraknya pembukaan lokasi wisata baru di kawasan sabuk hijau Subang Selatan. Karena dampak pembangunan akan membuat kawasan yang selama ini hijau bisa berubah menjadi pemukiman mewah dan juga lokasi wisata yang makin menjamur.

"Jangan sampai rusak Subang Selatan, kita harus jaga lingkungan dan alam agar kelestariannya bisa terus terjaga dan memberikan manfaat baik bagi masyarakat," ungkapnya.

(Tim Liputan News\Yudi Rachman)

Share:




Berita Terkait

Komentar