Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

23 Tahun Reformasi, Arus Balik Penegakan Hukum Ala Orba Telah Kembali

Selasa, 25/05/2021 05:22 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J. Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J. Mahesa (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Sudah lebih dari 23 tahun usia gerakan reformasi, tapi pelaksanaan agenda reformasi seperti jalan ditempat karena tiadanya kemajuan berarti. Salah satu agenda reformasi yang paling sial itu adalah penegakan supremasi hukum yang berkeadilan bagi seluruh warga di negeri ini.

Seperti apa gambaran pelaksanaan agenda  penegakan hukum setelah  23 tahun reformasi ?, Variabel apa yang menentukan upaya penegakan hukum yang berkeadilan bagi negeri ini ?. Benarkah akihr-akhir ini telah muncul indikasi terjadinya arus balik penegakan hukum menuju era Orba lagi ?

Wajah Penegakan Hukum

Sebelum terjadinya gerakan reformasi yaitu ketika Orde Baru (Orba) masih berkuasa di negeri ini, wajah penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan sekali.  Penegakan hukum di Indonesia saat itu dapat dikatakan “tumpul ke atas, tajam ke kebawah” karena penegakan hukum hanya menyasar pihak tertentu yang tidak disukai. Tentunya yang tidak disukai oleh penguasa negeri bersama para kroni. 

Praktek-pratek penegakan hukum yang tebang pilih telah membuat keadilan menjadi tercederai karena banyak rakyat yang kemudian merasa terzalimi. Ketidakadilan nampak menjadi jadi karena tidak adanya kontrol dari pihak yang berwenang yang seharusnya mengawasi.

Pada  saat itu teror kepada rakyat sudahbiasa terjadi dan menjadi makanan sehari-hari . Rakyat akhirnya tidak berani bersuara menyikapi ketidakadilan ini karena bisa ditangkap untuk dimasukkan ke balik jeruji besi. Masih untung kalau nyawanya selamat sehingga bisa melihat dunia lagi, sebagian banyak yang kemudian tinggal nama karena sudah dihabisi.

Penegakan hukum yang kacau pada waktu itu telah menodai demokrasi dan mengusik hati nurani . Tercatat oleh berbagai media bahwa  pemerintahan Soeharto memiliki catatan yang buruk dibidang penegakan hukum terutama dibidang penegakan hukum dan hak azasi manusia (HAM) dan penegakan hukum untuk pemberantasan korupsi.

Jatuhnya rezim Orde Baru  (Oba) ditandai dengan pernyataan berhenti dari Presiden Soeharto pada hari Kamis 21 Mei 1998 setelah 32 tahun menjadi presiden RI. Lengsernya Soeharto saat itu  disambut sukacita oleh segenap anak anak bangsa yang ingin menyaksikan adanya perubahan menuju Indonesia yang lebih baik lagi. 

Untuk membuat Indonesia lebih baik lagi, saat itu gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa sepakat untuk menyampaikan  tuntutan yang kemudian dikenal  dengan 6 agenda reformasi. Adapun enam tuntutan itu adalah : adili Soeharto bersama para kroni, Amandemen UUD 1945, otonomi daerah yang seluas luasnya, Pemberantasan Praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), Penegakan Supremasi Hukum dan Penghapusan Dwi-Fungsi ABRI.

Diantara enam agenda reformasi tersebut, agenda Penegakan Supremasi Hukum yang berkeadilan termasuk agenda yang dinilai gagal alias belum terealisasi. Memang harus diakui selama 23 tahun usia reformasi sudah ada kemajuan berarti dalam penegakan hukum sesuai dengan cita cita reformasi namun penegakan hukum yang berkeadilan belum menyentuh aspek substansi.

Ada  beberapa capaian penegakan supremasi hukum yang didapat dalam 23 tahun reformasi. Dari sisi peraturan perundang undangan, capaian tersebut antara lain seperti adanya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun  1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan Hak Asasi Manusia, diratifikasinya berbagai instrumen HAM termasuk Kovenan Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, UU Pemberantasan Korupsi dan masih banyak lagi.

Dari sisi kelembagaan telah terbentuknya beberapa lembaga baru yang tidak ada ketika zaman Orba berkuasa seperti Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Lembaga Perlindungan Saksi, dan Korban, serta Ombudsman RI. 

Lahirnya serangkaian peraturan dan kelembagaanyang berkaitan dengan upaya penegakan hukum tersebut merupakan angin segar untuk penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia di Indonesia di era reformasi. Hal ini menunjukan adanya keinginan untuk menjadikan hukum dan Hak Asasi Manusia [HAM] sebagai dasar atas pengambilan keputusan di Indonesia pasca digulirkannya gerakan reformasi.

Meskipun sudah ada serangkaian peraturan dan kelembagan yang mendukung penegakan hukum di era reformasi namun praktek penegakan hukum secara substansi belum bisa diwujudkan alias baru sebatas mimpi.

Dalam aspek penegakan hukum hak asasi manusia misalnya, janji untuk penuntasan pelanggaran HAM masa lalu tidak pernah secara serius ditindaklanjuti. Baru ada pengadilan HAM Adhoc terkait Kasus Timor-Timur, Tanjung Priok, dan Abepura dengan hasil yang diluar nalar keadilan karena terkesan formalitas, yang penting sudah ada yang diadili. 

Sisanya kasus-kasus pelanggaran HAM nyaris  tidak terusik sama sekali seperti kasus pelangaran HAM Talangsari, Semanggi dan Trisakti, Kerusuhan Mei,kasus terbunuhnya aktifis Munir, dan yang terakhir terbunuhnya enam orang laskar FPI . 

Hingga saat ini, pemerintah masih menyangkal terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 1998 yaitu saat munculnya gerakan reformasi. Tidak ada proses hukum yang berjalan untuk menengakkan keadilan yang sesungguhnya bagi korban pelanggaran HAM terkait perkosaan Mei.

Meski investigasi dan upaya pengungkapan fakta kekerasan seksual Mei 1998 telah diupayakan, salah satunya oleh Komnas Perempuan  namun Negara masih belum menjalankan komitmennya untuk menyelesaikan kasus ini. Kasus kasus pelanggaran HAM lain dimasa lalu juga masih banyak yang terbengkalai .

Dibidang penegakan hukum pemberantasan korupsi, deretan panjang kasus masih belum terselesaikan hinggga saat ini.  Diantara kasus kasus besar yang belum dituntaskan ini antara lain kasus bank century, BLBI, Pelindo II, kasus korupsi KTP elektronik, kasus rekening  “Gendut” oknum Jenderal Polisi, kasus Bakamla, kasus korupsi Jiwasraya dan Asabri, kasus korupsi Bansos corona dan masih banyak lagi.

Selain kasus kasus besar yang menyangkut soal penegakan hukum HAM dan korupsi, dunia penegakan hukum di Indonesia juga di warnai oleh wajah penegakan hukum yang mencederai akal sehat dan nurani.  

Beberapa kasus itu misalnya kasus seorang nenek Minah asal Ajibarang Purwokerto Jawa Tengah yang mencuri Tiga Buah Kakao, harus meringkuk dibalik jeruji besi. Minah didakwa mencuri tiga buah kakao atau coklat di perkebunan milik perusahaan PT Rumpun Sari Antan  tanpa ada penasehat hukum yang mendampingi.

Kisah pilu juga dialami Basar Suyanto dan Kholil, dua warga asal Kediri. Kedua orang tersebut terpaksa meringkuk di kursi terdakwa dengan tuduhan mencuri. Keduanya didakwa mencuri buah semangka sehingga dijerat pasla   363 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menjadi jalan bagi keduanya untuk masuk bui.

Cerita pilu juga dialami empat terdakwa, yakni Manisih, Sri Suratmi, Juwono, dan Rusnono , mereka berempat harus menjalani  hukuman penjara selama 24 hari. Menurut majelis hakim, keempat terdakwa terbukti melakukan pencurian buah kapuk di areal perkebunan kapuk  sehingga harus masuk jeruji  besi. 

Yang paling menggenaskan dari peristiwa yang menimpa orang kecil ini dialami oleh Nenek Asyani . Pada tahun 2015 silam, Nenek Asyani, asal Situbondo, Jawa Timur divonis bersalah bersalah karena terbukti mencuri dua batang pohon jati milik perhutani. Nenek Asyani divonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan dan denda Rp500 juta subsider 1 hari. Namun Nenek Asyani membantah dengan alasan batang pohon jati itu diambil dari lahannya sendiri.

Kasus kasus tersebut seolah menjadi cermin betapa penegakan hukum di Tanah Air masih begitu tidak adil terhadap orang kecil yang tidak berdaya ini. Sementara para  koruptor yang merampok uang rakyat masih bebas berkeliaran, mereka yang lemah secara ekonomi dan status sosial begitu mudahnya diseret ke meja hijau untuk diadili.

Secara yuridis formal, semua orang di Indonesia sama dihadapan hukum tanpa kecuali. Mulai dari petani, buruh, PNS, hingga Presiden pada hakikatnya sama di mata hukum tak boleh ada diskriminasi. 

Tapi semua itu baru sebatas teori, prakteknya lain lagi. Bukan karena hukumnya yang berganti, tapi penegakan hukumnya tidak lagi adil dan kesan tebang pilihnya sangat kelihatan sekali. Kalau mau di urai  tentu kasusnya sangat banyak sekali. 

Kita mulai saja dari kasus penistaan agama yang  pernah dilakukan  oleh Ahok mantan Gubernur DKI.  Dulu, dari seluruh tersangka kasus penistaan agama begitu dinyatakan sebagai tersangka langsung ditahan tak ada ampun lagi. Tapi khusus Ahok meskipun sudah dinyatan sebagai tersangka masih  bebas berkeliaran dan mengeluarkan pernyataan yang kontroversial kembali. Ahok baru benar benar diseleikan kasus hukumnya setelah adanya tekanan yang luar biasa dari jutaan orang yang berdemo berjilid jilid menuntut supaya yang bersangkutan segera diadili. 

Masih terkait dengan soal penistaan ini, Buni Yani ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menyebarkan ujaran kebencian. Tapi Boni Hargen yang menyebarkan fitnah laporannya malah tidak ditindaklanjuti  karena yang bersangkutan menjadi pembela penguasa saat ini. 

Perlakuan  tersebut mirip yang dialami oleh seorang warga yang  bernama Fahmi. Fahmi dijemput petugas untuk diadili karena membawa bendera merah putih yang ditulisi. Sementara ada juga seseorang yang mencoret coret bendera merah putih dengan tulisan grub band dalam negeri dan luar negeri.  Namun dibiarkan saja tanpa ada tindakan aparat sama sekali. Mungkin karena grub band tersebut dikenal dekat atau mendukung penguasa saat ini.

Ada lagi orang dari Banten yang dimasukkan ke bui selama tiga tahun karena  diduga selama proses Pilkada membagikan uang dan mie. Pada hal dii Jakarta ketika berlangsung Pilkada  DKI begitu banyak beredar uang, sembako dan sapi. 

Meski telah beredar video pembagian paket atau uang dengan motif politik, penegak hukum tidak juga melakukan tindakan sama sekali . Pada hal kabarnya sudah dilaporkan berkali kali namun tidak ditindaklanjuti.

Pernah juga terjadi seorang pejabat publik setingkat menteri yang bisa berkelit dan mangkir dari panggilan KPK berkali kali. Sosok yang seharusnya menjadi suri tauladan dalam penegakan hukum, malah mencari-cari alasan untuk tidak memenuhi panggilan komisi pemberantasan korupsi. Jika memang  merasa tidak bersalah dalam kasus e-KTP, seharusnya yang bersangkutan tetap datang memenuhi panggilan jangan  mentang-mentang dari partai berkuasa malah berbuat seenak hati.

Akhir akhir ini pameran ketidakadilan juga marak terjadi lagi. Sebagai contoh dugaan penistaan agama oleh Abu janda dkk yang menyebut islam sebagai agama radikal, kasusnya seperti raib ditelan bumi.  Demikian juga kasus penghinaan agama islam yang dilakukan oleh Paul Zhang di luar negeri sampai sekarang belum ada kabar beritanya lagi.

Kasus penegakan hukum yang sarat nuansa kriminalisasi juga dialami oleh para aktivis yang selama ini mengambil posisi sebagai oposisi. Seperti kasus Gus Nur yang dimasukkan ke bui karena dianggap mencermarkan nama baik pada hal yang nama baiknya merasa dicemarkan tidak melaporkan sendiri dan tidak datang ke Pengadilan ketika diminta untuk klarifikasi. 

Bahkan kasus pencemaran nama baik ini juga menimpa seorang da’i yaitu Ustadz Maher Al Thuwalibi sampai yang bersangkutan harus meninggal dunia dibalik jeruji besi. Pada hal yang dicemarkan nama baiknya juga  tidak melaporkan sendiri sesuai syarat yang diatur dalam ketentuan yang berlaku saat ini.

Nuansa kriminalisasi dalam penegakan hukum juga menimpa Habib Riziek Shihab (HRS) tokoh FPI yang sekarang mendekam dibalik jeruji besi. Yang bersangkutan didakwa melanggar aturan protokok kesehatan (Prokes)  saat baru pulang dari Arab Saudi. Tapi pelanggaran Prokes seperti ini sebenarnya juga dilakukan oleh kalangan artis, pejabat pemerintah bahkan penguasa negeri ini. Tapi yang diproses sampai disidangkan nampaknya hanya mereka yang  tidak sejalan garis perjuangan politiknya dengan penguasa negeri.

Dalam kaitan ini terkesan ada pihak yang kesalahannya berusaha untuk dicari cari sementara ada pihak lain yang terkesan pembenarannya yang dicari. Begitulah sekelumit gambaran mengenai wajah penegakan hukum di negeri ini yang masih sarat dengan ketidakadilan sehingga mencederai hati nurani. 

Variabel Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu proses sosial, yang tdak bersifat tertutup tetapi bersifat terbuka dimana banyak faktor yang akan mempengaruhi. Wajah penegakan hukum yang terjadi setelah 23 tahun reformasi sebagaimana digambarkan diatas tidak terlepas dari faktor faktor yang selama ini ikut mempengaruhi.

Keberhasilan penegakan hukum akan sangat di pengaruhi oleh berbagai faktor, adapun faktor yang mempengaruhi penegakan hukum  itu yang pertama menyangkut substansi hukum atau aspek peraturannya sendiri.

Substansi hukum, hukum diciptakan oleh lembaga-lembaga yang berwenang, sebagai contoh Undang-undang di buat oleh DPR bersama sama dengan Pemerintah sebagai bagian dari fungsi legislasi. Dalam menciptakan substansi atau isi hukum tersebut DPR  bersama Pemeintah sebagai lembaga yang diberi wewenang harus memperhatikan apakah isi undang-undang itu betul-betul akan memberikan keadilan,kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat atau justru di buatnya hukum akan semakin membuat ketidak adilan dan ketidakpastian  bakal terjadi.

Oleh karena itu  substansi hukum sangat penting sekali karena akan mengarahkan kemana wajah penegakan hukum yang akan dijalankan oleh aparatnya nanti. Ibarat kereta api, peraturan adalah landasan atau relnya yang akan menentukan kemana arah gerbong dan lokomotif kereta api.

Variabel kedua adalah Struktur hukum,  yang dapat dimaknai sebagai para pelaku penegak hukum yang akan menjalankan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan yang ada saat ini.

Perlu diketahui bahwa  penegak hukum pada dasarnya  ada dua yaitu penegak hukum yang pro yustitia dan penegak hukum yang non pro yustitia. Penegakan hukum pro yustisia adalah Hakim, Jaksa, dan advokat dan Polisi. Sedangkan yang non pro yustisia  seperti dilingkungan perpajakan, lembaga pemasyarakatan dan bea cukai.

Para penegak hukum ini memegang peranan yang sangat penting karena di tangan merekalah hukum di tegakkan, mereka harus memiliki komitmen moral yang kuat dalam penegakan hukum dinegeri ini. Jangan sampai mereka hanya menjadi corong undang-undang  (atau legal formalistic semata) mengabaikan hukum yang berlaku di masyarkaat demi keadilan sejati. Jangan sampai juga penegakan hukum dijadikan sebagai sarana untuk memperkaya diri. Kalau prakteknya seperti ini  maka yang namanya suap menyuap, korupsi dan penyalahgunaan wewenang akan marak terjadi.

Variabel ketiga yang mempengaruhi penegakan hukum adalah faktor sarana dan prasarana yang menjadi pelengkap bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan amanah sesuai tugas dan fungsi yang dimiliki.

Bagaimanapun penegakan hukum membutuhkan sarana-prasarana  yang memadai, Sebagai contoh bagi  seorang polisi maka dalam menjalankan tugas harus dibekali dengan peralatan yang memadai. Apa jadinya jika dalam penegakan lalu lintas misalnya motor yang digunakan untuk patroli sudah usang, atau dalam penyusunan berkas  masih menggunakan mesin ketik manual pada hal saat ini eranya perkembangan teknologi ?.  Sarana dan prasarana ini tentu berkaitan dengan anggaran, maka anggaran untuk pelaksanaaan tugas kepolisian harus dipenuhi .

Variabel ke empat adalah budaya hukum masyarakat  karena  penegakan hukum bukanlah diruang hampa, melainkan dilakukan di tengah-tengah masyarakat sehingga peran masyarakat sangat mempengaruhi.

Dalam hal ini penegakan hukum tidak akan dapat berjalan dengan baik jika masyarakat tidak mendukung atau ikut berpartisipasi.P artisipasi masyarakat  itu dapat dilakukan dengan aktif untuk mematuhi hukum dan juga jika ada pelanggaran hukum dapat melaporkan kepada yang berwenang untuk ditindaklanjuti.  Dalam hal ini masyarakat juga harus aktif melakukan pengawasan terhadap penegak hukum agar penyimpangan dalam penegakan hukum tidak terjadi.

Variabel kelima dalam penegakan hukum adalah faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup sehari hari. Aspek kebudayaan ini pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi mengenai apa yang dinilai baik dan apa yang dinilai tidak baik sebagai acuan dalam perilaku yang harus dipedomani.

Sebagai contoh penegakan hukum untuk minuman keras akan sulit untuk dilakukan pada suatu masyarakat yang budayanya memang suka meminum minuman keras sebagai  sebuah kebiasaan sehari hari. Sehingga aspek budaya ini dinilai sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi warna penegakan hukum yang akan dijalankan nanti.

Selain kelima variabel tersebut diatas,  ada variabel yang sering disebut yaitu political wiil atau kemauan politik penguasa dalam penegakan hukum yang berkeadilan bagi bagi semua warga di negeri ini. Politicall will ini seringkali justru menjadi faktor penentu wajah penegakan hukum di sebuah negeri. Ini bukan berarti kemudian pemimpin negeri harus melakukan intervensi terhadap penegakan hukum yang terjadi.

Karena yang diinginkan sebenarnya bukan intervensi tetapi menjaga marwah agar penegakan hukum sesuai dengan cita cita bersama sesuai dengan yang tertuang di dalam konstitusi. Manakala penegakan hukum tidak berjalan sesuai dengan yang dikehendaki maka penguasa harus mempunyai kebijakan / kehendak politik untuk mengingatkan atau meluruskan agar kesalahan tidak terjadi lagi.

Adalah sudah menjadi kewajiban bagi para penegak hukum untuk menegakkan hukum secara adil dan manusiawi. Tetapi kalau hal ini tidak terjadi maka seorang penguasa harus mengingatkan  agar aparat penegak hukum harus mengikuti aturan hukum dan bertindak adil sesuai amanah konstitusi. 

Sebagai  wujud pelaksanaan political will  yang baik dalam penegakan hukum adalah adanya keteladanan dari pemimpin negeri. Keteladanan ini sangat penting sekali karena akan menjadi cerminan dari masyarakat yang seringkali melihat gerak gerik pemimpin sebagai acuan dalam bertindak di kehidupan sehari hari.

Indikasi Arus Balik

Sesungguhnya wajah penegakan hukum yang terjadi pada hari ini merupakan hasil dari rentetan panjang praktek penegakan hukum di Indonesia  yang sudah terjadi sejak jaman sebelum reformasi. Praktek penegakan hukum yang tidak berkeadilan itu sudah berlangsung  sejak  lama sekali. Boleh dikata penegakan hukum yang berkadilan itu  sudah lama lenyap sejak tahun 1965, ketika kejahatan kemanusiaan terjadi dan tak satupun yang diadili.

Pada masa Orba berkuasa hukum dibuat oleh penguasa untuk memenuhi  kepentingan dirinya sendiri terutama dalam rangka mempertahankan kursi.Tak aneh kalau penguasa Orba bisa bertahan hingga 32 tahun secara aman dan terkendali.

Saat itu siapapun yang mencoba untuk berbeda pandangan dengan pemerintah  atau beroposisi akan dicap dengan sebutan : kiri, Islam radikal, teroris, sesat, penghambat pembangunandan masih banyak lai . Semua orang yang mendapat label itu bisa dipenjara, dicabut haknya dan dibunuh tanpa peradilan  atau minimal dimusuhi.

Mungkin sebutannya untuk zaman sekarang adalah dikriminalisasi atau dicari cari kesalahannya agar bisa dimasukkan ke bui.  Kejahatan kemanusiaan ini bisa berlangsung  sistematis dan rapi karena adanya dukungandari dilingkaran penguasa sendri. Aparat hukum dan pengadilan telah jadi tumpuan untuk operasi kekejian ini. 

Munculnya gerakan reformasi salah satunya adalah ingin adanya penegakan hukum yang berkeadilan yang bisa dinikmati oleh seluruh anak negeri.Tetapi setelah 23 tahun perjalanan reformasi agenda penegakan hukum itu sepertinya  sudah mulai kembali ke semangat awal yang dimiliki  penguasa Orba yang notabene menjadi target gerakan reformasi. 

Tanda tanda munculnya arus balik penegakan hukum ala Orba ini bisa kita rinci berdasarkan variabel penegakan hukum yang telah kita bahas di atas tadi. Yang pertama dari sisi aspek substansi hukum atau peraturannya sendiri. Ditengah pandemi yang terjadi saat ini, telah terjadi  pemaksaan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibuslaw Cipta kerja yang dilakukan pemerintah bersama DPR adalah persoalan besar yang sangat menyolok di bidang sosial ekonomi. Selain prosedurnya yang minim pelibatan publik, secara substansi dinilai banyak merugikan buruh dan rakyat sendiri.

Selain RUU Omnibus Law, pemerintah dan DPR juga sebelumnya menyetujui Perpu No 1 tahun 2020 menjadi Undang-Undang No 2 tahun 2020 yang menguntungkan oligarki .  Saat ini juga sedang dibahas rencana pembentukan Dewan Moneter yang diketuai Menteri Keuangan  untuk merevisi Undang-Undang BI.

Pemerintah terlihat ngotot agar Dewan Moneter dibentuk dengan kekuasaan dan wewenangnya di atas Bank Indonesia (BI). Ini tentu bertentangam dengan UUD 1945 pasal 23 yang didalamnya memuat tentang bank sentral dan Independensi BI.

Ditengah situasi pandemi, Pememerintah dan DPR juga  telah mengesahkan UU Minerba (Mineral dan Batu Bara) Nomor 3 tahun 2020 dimana UU ini dinilai  merugikan rakyat banyak, mempreteli kewenangan daerah, merusak lingkungan dan hanya menguntungkan oligarki ekonomi .

DPR dan pemerintah secara diam-diam juga  telah mengesahkan RUU Mahkamah Konstitusi menjadi undang-undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) dalam rapat paripurna DPR pada Selasa, 1 September 2020 ditengah situasi pandemi.

Diantara isinya yang dianggap bermasalah adalah soal penghapusan periodesasi jabatan, perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi hingga usia pensiun 70 tahun, serta masa jabatan ketua dan wakil ketua Mahkamah Kontitusi. Ini mirip barter jabatan untuk para hakim MK  yang saat ini menjabat sebagai hakim Mahkamah Konstitusi.

Pengesahan UU MK bisa berdampak pada independensi hakim MK dalam memutus perkara di kemudian hari. Sejumlah UU dan RUU bermasalah dari DPR dan pemerintah seperti UU KPK, UU Keuangan Negara untuk Covid-19, UU Minerba serta RUU Omnibuslaw Cipta Kerja yang berpotensi diujikan ke MK akan dengan mudah diputuskan demi kepentingan oligarki politik dan oligarki ekonomi.

Dari aspek substansi hukum/ peraturan memang masih banyak ketentuan yang dinilai bermasalah karena dinilai hanya menguntungkan penguasa saat ini mulai UU Pemilu dan UU ITE yang urung di revisi 

Sementara itu penegakan hukum kasus korupsi terancam lemah lunglai setelah UU KPK berhasil direvisi yang menyebabkan hilangnya beberapa kewenangan strategis yang dimiliki oleh KPK selama ini. 

Di sisi lain potensi pelanggaran HAM dan pelemahan supremasi hukum makin menjadi jadi  dengan dikeluarkannya Perppu Ormas yang membuat Ormas ormas yang tidak sejalan dengan haluan politik pemerintah akhirnya dibubarkan seperti HTI dan FPI.

Dari aspek kedua yaitu struktur hukum yaitu aparat penegak hukum terlihat masih banyak kasus kasus penegakan hukum yang tidak berkeadilan karena aparat penegak hukumnya “bermain” untuk kepentingan sendiri.

Indikasinya masih berkeliarannya mafia penegakan hukum yang hampir merangsek disegala lini.  Mafia peradilan merupakan kegiatan atau kejahatan terselubung yang sulit untuk di urai. Penampakannya seperti ada dan tiada, ibarat kentut, Ia bisa dicium namun sulit untuk dikenali. 

Dalam pola dan aksinya, para mafioso hukum tersebut bergerak pada hampir semua tahapan peradilan mulai dari penyelidikan hingga putusan di pada Mahkamah Agung  bahkan Mahkamah Konstitusi. Misalnya pada tahap tuntutan dan putusan pidana, tinggi rendahnya bisa dinegosiasi. Proses tersebut bisa dilakukan diantaranya dengan menggunakan jaringan  makelar kasus (markus) atau jalur birokrasi.

Maraknya mafia peradilan saat ini dinilai sudah pada titik nadir dan sangat memprihatinkan sekali. Pengadilan yang seharusnya menjadi tempat  untuk mencari keadilan dari para justiabbelen, dalam realitasnya menjadi tempat transaksi . Rendahnya kualitas khususnya integritas aparat penegak hukum ini merupakan penyebab utama buruknya penegakan hukum dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan saat ini.

Dalam hubungannnya dengan pemberantasan korupsi, keberadaan KPK dan Pengadilan Tipikor merupakan jawaban atau antitesis dari kondisi ini. Kelahirannya tidak dapat dilepaskan dari sebuah ironi yakni aparat penegak hukum (law enforcement agencies) yang seharusnya menegakkan hukum (memberantas korupsi) tetapi terlibat dalam praktek mafia peradilan atau terlibat korupsi. Padahal idealnya penegakan hukum kasus korupsi harus berbanding lurus dengan peradilan yang bersih, jujur dan akuntabel namun ini terjadi. 

Dalam kaitan nasib KPK akhir akhir ini nampaknya suda tidak ada bedanya lagi dengan keberadaan kelembagaan penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan yang personilnya diangkap menjadi pegawai negeri dan kewenangannya sudah di kebiri setelah Undang Undangnya direvisi. Bahkan KPK saat ini diangggap sudah dikuasai oleh polisi. Keberadaaan orang orang yang dinilai berintegritas seperti Novel Baswedan dkk berusaha untuk dig anti.

Dari aspek ketiga yaitu tersedianya  sarana dan prasarana penegakan hukum, maka salah satu parameternya adalah anggaran untuk penegkaan hukum itu sendiri. Sejauh ini anggaran untuk penegakan hukum yang dialokasikan untuk institusi penegakan hukum cenderung naik meskipun dinilai belum sesuai dengan jumlah ideal  sebagaimana harapan para penegak hukum yang ada di institusi.

Sebagai contoh untuk  tahun anggaran 2021 ini, KPK mengajukan anggaran sebesar Rp1,881 triliun tapi hanya  Rp1,305 triliun yang disetujui . Polri telah mengajukan pagu anggaran 2021 sebesar Rp125,959 triliun, sebesar Rp111,9 triliun yang disetujui.  Sementara itu untuk  Kejaksaan Agung RI pagu anggaran untuk tahun 2021 sebesar Rp 9.243.319.486.000, dan  tambahan yang diajukan sebesar Rp 400.000.000.000, guna membangun gedung Kejagung yang terbakar tempo hari.

Pada dasarny apenambahan anggaran untuk penegakan hukum dibeberapa institusi diharapkan akan meningkatkan mampu kinerja penegakan hukum  sesuai dengan peran dan fungsi lembaga  penegak hukum itu dalam mengemban amanat reformasi. Namun seringkali tambahan alokasi dana operasional itu tidak berpengaruh signifikan terhadap kinjerjanya dalam  penegakan hukum di negeri ini.

Selanjutnya aspek keempat variabel penegakan hukum yaitu budaya hukum masyarakat dinilai masih banyak mengandung kontroversi. Pelibatan masyarakat dalam penegakan hukum masih dirasakan minim sehingga masyarakat lebih banyak diposisikan sebagai obyek penegakan hukum dan tidak dilibatkan selama proses penegakan hukum itu sendiri. 

Yang paling terasa adalah saat penyusunan Undang Undang yang seharusnya mengikutsertakan masyarakat untuk  bisa perpartisipasi namun kenyataannya di media sosial banyak keluhan muncul dari unsur unsur masyarakat yang merasa tidak dilibatkan selama proses legislasi. Alasan untuk tidak melibatkan masyarakat seperti nya mendapat basis argumentasi ditengah merebaknya wabah atau pandemi saat ini.

Dalam hal ini sempat muncul Surat Edaran (SE) Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo No. SE/2/II/2021 tertanggal 19 Pebruari 2021 yang berkaitan dengan tindak pidana melalui media sosial (Medsos) guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam masalah ini. Namun surat edaran ini dinilai tidak mewakili rasa keadilan, bahkan berpotensi meningkat kasusnya yang terjadi sehingga akhirnya  dikoreksi kembali.

Variabel kelima yaitu kebudayaan tentang nilai baik dan yang tidak baik dalam mempengaruhi penegakan hukum nampaknya sudah terjadi pembiasan makna  dari nilai nilai ini. Karena yang terjadi kemudian bukan upaya memperjuangkan kebaikan melainkan pertimbangan pragmatisme dan fanatisme sempit  yang seringkali membuat situasi menjadi miris sekali. Dalam konteks ini adanya buzzer buzzer yang sengaja di ongkosi untuk mempengaruhi opini publik membuat upaya penegakan hukum yang berkeadilan menjadi semakin jauh panggang dari api.

Variabel terakhir untuk penegakan hukum yaitu adanya politicall will atau kehendak politik yang kuat dari penguasa sangat berpengaruh sekali. Penguasa ini bisa berarti  pemimpin formal seorang presiden atau aktor aktor intelektual  yang selama ini menentukan jalannya penegakan hukum yang ada dinegeri ini.

Seperti halnya situasi yang terjadi pada saat Orba berkuasa, saat ini mulai muncul kecenderungan indikasi penegakan hukum dijadikan alat untuk membungkam lawan lawan politik yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah  alias kelompok yang menjadi oposisi. Hal ini terlihat di antaranya melalui penggunaan pasal makar ujaran kebencian  terhadap anggota atau tokoh masyarakat yang beroposisi. Mereka bisa dilabeli dengan sebutan radikal, intoleran atau anti NKRI.

 Salah satu contohnya terlihat dalam cara pemerintah menangani radikalisme yang terlihat sangat intensif akhir akhir ini. Hampir semua kebijakan diarahkan pada misi mencegah dan memberantas radikalisme dan intoleransi. Baik kebijakan yang menyangkut tatanan masyarakat, hubungan antarindividu, serta hubungan individu dan negara dikait kaitkan dengan label ini.Sebelas kementerian dan lembaga bahkan telah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang penanganan radikalisme di lingkungan aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai negeri.

Padahal pemerintah saat ini belum memiliki definisi yang konkret ihwal apa itu radikalisme intoleransi. Selain tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan memunculkan kecurigaan bahwa  SKB itu akan digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk membungkam ASN yang kritis terhadap pemerintahan saat ini

Kondisi penegakan hukum era Pemerintahan Jokowi  telah  membuat prihatin karena dinilai sudah mendekati gaya gaya Orba yang seharusnya dijadikan target untuk di reformasi.  Ketua Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menilai selama setahun terakhir proses penegakan hukum digunakan sebagai alat kriminalisasi, diskriminasi, melanggar HAM dan merusak demokrasi. Menurutnya, ini dapat dilihat dari maraknya kriminalisasi yang menjerat pihak yang kritis atau tidak sependapat dengan kebijakan atau pandangan pemerintah saat ini.

Sepertinya pada lima tahun kedepan, dunia penegakan hukum masih akan diwarnai oleh penegakan hukum yang dijadikan sebagai alat untuk mengkriminalkan pihak oposisi, diskriminasi, melanggar HAM, dan merusak iklim  demokrasi . 

Dengan gambaran penegakan hukum yang terjadi pasca 23 tahun reformasi, apakah memang saat ini situasi penegakan hukum sedang terjadi arus balik untuk kembali ke gaya gaya masa Orba kembali ?. Dalam konteks ini para pelakunya saja mugkin berbeda tetapi kelakuan dan caranya bisa mirip sekali. Kalau memang seperti ini yang terjadi,  tidak berlebihan kiranya kalau disebut agenda reformasi dibidang penegakan hukum saat ini baru sebatas mimpi.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar