Soal Tax Amnesty Jilid II, Peps: Kasihan Jokowi, Salah Dibisiki Lagi!

Kamis, 20/05/2021 10:20 WIB
Presiden Joko Widodo (Foto: CNN)

Presiden Joko Widodo (Foto: CNN)

Jakarta, law-justice.co - Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan ikut buka suara soal rencana pemerintah akan menggelar Tax Amensty jilid II.

Sebelumnya, pemerintah telah menggelar pengampunan pajak jilid I pada 2016 lalu.

Menurut dia, sebagai sebuah kebijakan negara, Tax Amnesty (TA) jilid I telah gagal total.

Pasalnya target rasio pajak menjadi 14,6% pada 2019 ternyata hanya 9,8%.

Selain itu pertumbuhan ekonomi tetap rendah dan yang paling mengkhawatirkan menurut dia Tax Amnesty hanya sukses bagi pemilik uang gelap.

"Kasihan Pak Presiden dibisiki yang salah lagi" ujarnya lewat akun twitter pribadinya, Kamis, 20 Mei 2021.

Selanjutnya kata dia, kebijakan TA bukan kebijakan yang bisa diterapkan untuk setiap 5 tahun sekali.

TA kata dia, adalah pengampunan kepada para ‘kriminal pajak’. Oleh karena itu kata dia, satu kali kebijakan dalam satu generasi sudah lebih dari cukup.

"Karena para ‘kriminal pajak’ akan terus kemplang pajak dan menunggu TA. Para pengumpul uang gelap dan uang kotor akan semakin berani melakukan praktek kriminalnya karena dapat diputihkan. Presiden wajib curiga kepada pembisiknya ini mau menjerumuskan Presiden dan Indonesia," ujarnya lagi.

Dia menambahkan, kebijakan TA mengakibatkan pendapatan pajak turun dan menghancurkan ekonomi karena mempercepat keruntuhan fiskal serta membuat pertumbuhan ekonomi anjlok.

Kata dia, Presiden nantinya yang harus menanggung bisikan yang salah fatal ini.

"Sekarang Presiden mau dijerumuskan untuk kedua kali (TA II). Sebagai kebijakan fiskal, TA gagal. Jadi sepertinya tujuannya hanya untuk memutihkan uang gelap. ‘Legalized money laundering’. Untuk itu memang sukses besar. Tapi Presiden yang pasang badan. Kasihan juga." tutupnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berkirim surat ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi Undang-undang (UU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan tata cara perpajakan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan salah satu yang akan dibahas adalah mengenai pengampunan pajak alias tax amnesty.

"Secara global apa yang akan diatur dalam UU tersebut di dalamnya ada UU PPh, termasuk tarif PPh orang per orang dan pribadi, kemudian pengurangan tarif PPh untuk badan dan juga terkait PPN barang jasa, pajak penjualan atas barang mewah, kemudian UU cukai, karbon tax atau pajak karbon, dan di dalamnya ada terkait pengampunan pajak," katanya dalam halalbihalal virtual, Rabu (19/5/2021).

Tax amnesty merupakan program pengampunan pajak untuk wajib pajak yang selama ini menempatkan uangnya di luar negeri atau yang belum lengkap melaporkan hartanya. Dengan diampuninya kesalahan penghindaran pajak tersebut, diharapkan basis pajak bisa semakin meningkat.

Tax amnesty dilakukan pemerintah pada tahun 2016 lalu melalui tiga tahap. Tahap pertama pada Juli-September 2016 dengan tarif 2%, tahap dua pada Oktober-Desember 2016 dengan tarif 3% dan tahap tiga pada Januari 2017-Maret 2017 dengan tarif 5%.

Kembali ke Airlangga, dia berharap regulasi baru ini bisa dibahas segera oleh DPR. Dengan begitu pemerintah bisa membuat kebijakan turunan untuk mendorong perbaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Jadi ada beberapa hal yang akan dibahas dan tentu hasilnya kita tunggu pembahasan dengan DPR. Bapak Presiden telah berkirim surat kepada DPR untuk membahas ini dan diharapkan dapat segera dilakukan pembahasan," tuturnya.

RUU yang diajukan disebut akan mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional terkini. Aturan juga akan disusun lebih fleksibel dengan memperhatikan situasi perkembangan jaman.

"Kisarannya nanti akan diberlakukan pada waktu yang tepat dan skenarionya dibuat lebih luas, artinya tidak kaku seperti yang selama ini diberlakukan. Detailnya nanti kita mengikuti pembahasan yang ada di parlemen," tuturnya.

"Selain ada PPN juga akan ada terkait dengan pajak penjualan sehingga ada hal-hal yang diatur dan membuat pemerintah lebih fleksibel untuk mengatur sektor manufaktur atau sektor perdagangan dan jasa," tambahnya.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar