LP3HI Ajukan Praperadilan Dugaan Penyelundupan Brompton Sri Mulyani

Selasa, 18/05/2021 11:22 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati didampingi Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (kiri) bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 4 November 2019. Rapat tersebut membahas evaluasi kinerja APBN 2019 dan rencana kerja APBN tahun anggaran 2020. TEMPO/Tony Hartawan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati didampingi Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (kiri) bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 4 November 2019. Rapat tersebut membahas evaluasi kinerja APBN 2019 dan rencana kerja APBN tahun anggaran 2020. TEMPO/Tony Hartawan

Jakarta, law-justice.co - Lembaga Pengawalan Pengawasan dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) mempermasalahkan barang bawaan rombongan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, berupa dua sepeda lipat Brompton, saat pulang dari perjalanan dinas pertemuan Investor di Amerika Serikat pada 11 November 2019 silam.

Lembaga Pengawalan Pengawasan dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) mengajukan gugatan hukum ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terkait dugaan tindak pidana kepabeanan pada pengiriman sepeda Brompton dalam rombongan Sri Mulyani tersebut.

Wakil Ketua LP3HI, Kurniawan Adi Nugroho dalam hal ini bertindak sebagai pihak ketiga atau pemohon Praperadilan ke PN Jakarta Selatan.

Dia menduga tindak pidana penyelundupan sepeda Brompton dalam rombongan Sri Mulyani itu tidak diajukan oleh Direktur Jendral Bea dan Cukai (DJBC) selaku Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) maupun Jaksa Agung sebagai penuntut umum.

Kurniawan menyatakan, dirinya mengajukan sebagai pemohon Praperadilan dengan mengacu pada Pasal 80 UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana yang berbunyi: "Praperadilan terhadap tidak sahnya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan dapat diajukan oleh Penyidik/Penuntut dan Pihak Ketiga Berkepentingan".

"Bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, maka Pemohon memiliki kualifikasi secara hukum untuk bertindak sebagai pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan Permohonan Praperadilan a quo," ujar Kurniawan dalam dokumen tertulis LP3HI yang diterima redaksi.

Kurniawan menjelaskan, keududukan hukum para termohon dalam Praperadilan yang dia ajukan, yaitu termohon pertama adalah DJBC. Di mana memiliki wewenang sebagai PPNS untuk dugaan tindak pidana di bidang kepabeanan yang diatur di dalam UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana.

"Bahwa dengan demikian, Pemohon tidak salah dalam menarik Termohon I sebagai pihak dalam permohonan praperadilan a quo," tegas Kurniawan.

Sedangkan untuk termohon kedua adalah Jaksa Agung. Di mana bertindak sebagai pihak yang dimintakan persetujuan jika akan dilakukan penghentian penyidikan.

Kurniawan menyebutkan, dalam Pasal 113 ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan dikatakan; "Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di Bidang Kepabeanan".

"Bahwa dengan demikian, Pemohon tidak salah dalam menarik Termohon II sebagai pihak dalam permohonan praperadilan a quo,"sambung Kuriawan.

Lebih lanjut, Kurniawan memaparkan materi Praperadilan yang dia ajukan terkait penghentian penyidikan atas kasus dugaan penyelundupan Sepeda Lipat Brompton dalam rombongan Sri Mulyani, yang di angkut menggunakan pesawat Qatar Airways kode penerbangan QR0958 dari Doha menuju Jakarta pada 2019 lalu.

Kurniawan memaparkan kronologi penindakan DJBC terhadap kejadian tersebut yang dia nilai aneh. Karena menurutnya, pihak kepabeanan dalam hal ini Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga DJBC Kementerian Keuangan, Syarif Hidayat menyatakan bahwa dua sepeda Brompton itu sudah dikuasai negara pada September 2020. Tapi, tanggal 11 Februari 2021 baru dinyatakan dimiliki negara.

Sedangkan dalam Pasal 77 ayat (2) UU Kepabeanan disebutkan ketentuan kewajiban PPNS Kepabeanan memberitahu secara tertulis suatu barang yang diimpor ternyata dinyatakan tidak benar, dan diumumkan selama 30 (tiga puluh) hari sejak disimpan di Tempat Penimbunan Pabean

"Dengan demikian, patut diduga kedua unit sepeda Brompton tersebut sempat dikuasai pemiliknya selama 10 (sepuluh) bulan sejak tanggal 11 Nopember 2019 sampai dengan bulan September 2020," tutur Kurniawan.

"Maka patut diduga kedua unit sepeda tersebut bukan ditegah (dilarang) oleh Termohon I, namun disita oleh Termohon I dari pemiliknya. Bahwa dengan demikian, Termohon I mengetahui siapa pemilik barang tersebut, namun tidak menetapkannya sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana kepabeanan," ungkapnya.

Dengan mendasarkan pada ketentuan pasal 113 ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan, Kurniawan menilai Direktur Jendral Bea dan Cukai Kemenkeu dan Jaksa Agung secara bersama-sama telah menghentikan penyidikan atas tindak pidana penyelundupan dua unit sepeda Brompton secara tidak sah dan melawan hukum oleh Sri Mulyani.

Kemudian, berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, diatur bahwa jika penyidik menghentikan penyidikan, maka wajib memberitahu penuntut umum dan tersangka atau keluarganya. Namun, dalam perkara a quo, kewajiban tersebut tidak dilakukan baik oleh DJBC selaku penyidik Pegawai Negeri Sipil maupun Jaksa Agung selaku pihak yang dimintakan persetujuan penghentian penyidikan.

"Dikarenakan Para Termohon telah menghentikan penyidikan perkara a quo secara tidak sah dan melawan hukum, maka Para Termohon harus dihukum untuk melanjutkan penyidikan atas laporan dalam perkara a quo, berupa pelimpahan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum (Termohon II) dan selanjutnya Termohon II segera melimpahkan perkaranya untuk diperiksa di Pengadilan," demikian Kurniawan.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar