Sebabkan Pembekuan Darah, Ahli Darah Temukan ini di Vaksin AstraZeneca

Sabtu, 15/05/2021 17:50 WIB
BPOM bicara soal vaksin AstraZeneca yang punya efek samping (detikcom)

BPOM bicara soal vaksin AstraZeneca yang punya efek samping (detikcom)

Jakarta, law-justice.co - Beberapa vaksin COVID-19, termasuk AstraZeneca dan Johnson & Johnson, telah menyebabkan sejumlah efek samping yang mematikan, salah satunya adalah pembekuan darah.


Kendati jumlah kasusnya sangat sedikit, beberapa orang yang mengalami pembekuan darah pasca-menerima vaksin AstraZeneca dan Johnson & Johnson, berakhir meninggal dunia. Kasus yang sama telah ditemukan di Indonesia, menimpa pemuda Trio Fauqi Virdaus berusia 22 tahun di Jakarta, yang meninggal dunia sehari setelah disuntik vaksin AstraZeneca.


Saat ini, Komnas KIPI belum bisa menentukan apakah Trio meninggal berkaitan dengan penyuntikan vaksin atau tidak, yang pasti laporan medis menunjukkan Trio mengalami pembekuan darah (Blood Clot).


Baru-baru ini ahli darah dari Jerman, Andreas Greinacher dan timnya di University of Greifswald, mengeklaim telah menemukan penyebab kenapa ada vaksin COVID-19 yang bisa menyebabkan pembekuan darah. Greinacher percaya, pembekuan darah terjadi karena respons dari autoimun seseorang terhadap vaksin yang disuntikkan.


“Reaksi itu dapat dikaitkan dengan protein yang tersesat dan pengawet yang ditemukan dalam AstraZeneca,” katanya sebagaimana dikutip dari Wall Street Journal.

Prof. Greinacher telah mengidentifikasi lebih dari 1.000 protein dalam vaksin AstraZeneca yang berasal dari sel manusia, serta pengawet yang dikenal sebagai asam ethylenediaminetetraacetic atau EDTA. Hipotesis mereka menyebut, EDTA ini membantu protein tersebut untuk masuk ke aliran darah, di mana mereka mengikat komponen darah yang disebut platelet factor 4 (PF4) sehingga mengaktifkan produksi antibodi.


Peradangan yang disebabkan vaksin dan PF4 dapat mengelabui sistem kekebalan agar percaya bahwa tubuh telah terinfeksi virus dan memicu mekanisme pertahanan yang tidak terkendali hingga menyebabkan pembekuan darah.


Saat ini, Prof Greinacher tengah melakukan serangkaian penelitian untuk mengkonfirmasi hipotesisnya. Ia berharap bisa bekerja sama dengan pihak pembuat vaksin.


“Kami sangat mendukung peningkatan kesadaran akan tanda dan gejala dari peristiwa yang sangat langka ini, dan saat ini kami sedang menjajaki kolaborasi potensial dengan Dr. Greinacher,” kata juru bicara Johnson & Johnson.


Beberapa ilmuwan lain menduga bahwa adenovirus yang terkandung dalam vaksin COVID-19 telah berperan dalam memicu pembekuan darah. Yang lain berspekulasi bahwa orang yang mengalami gejala pembekuan darah cenderung memiliki masalah genetik, atau dengan kata lain sistem kekebalan tubuh pasien telah mengembangkan antibodi bermasalah.


Teori lain yang dikemukakan oleh Prof. Eric van Grop dari Universitas Erasmus di Belanda yang mengepalai sekelompok ilmuwan yang mempelajari kondisi tersebut, mengatakan bahwa gejala mirip flu yang singkat tapi kuat bisa jadi penyebab peradangan dan memicu atau memperburuk reaksi autoimun hingga menyebabkan pembekuan darah.

Sejauh ini, menurut data regulator AS dan Eropa, wanita muda paling rentan mengalami pembekuan darah. Meski begitu, tidak ada korelasi antara mengonsumsi pil kontrasepsi atau punya riwayat penyakit serupa dengan risiko lebih tinggi mengalami gejala pembekuan darah.


Sementara itu, negara seperti Denmark dan Norwegia, telah menghentikan sementara pemberian vaksin AstraZeneca dan memberikan sebagian besar dosis yang tersisa ke negara lain.

 

(Devi Puspitasari\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar