Kepolisian Indonesia Ungkap 11 Kasus Dugaan Pelanggaran HAM di Papua

Selasa, 11/05/2021 10:36 WIB
Aksi protes atas penyerbuan dan ucapan rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya (Faja.co.id)

Aksi protes atas penyerbuan dan ucapan rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya (Faja.co.id)

Jakarta, law-justice.co - Kepala Badan Intelijen dan Keamanan (Kabaintelkam) Polri, Komisaris Jenderal Paulus Waterpauw membeberkan setidaknya ada 11 kasus yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua.

Menurut dia, terdapat sejumlah kasus yang telah dibawa ke ranah pidana karena tak memuat unsur-unsur pelanggaran HAM. Kemudian, ada juga beberapa kasus yang tak dapat diselesaikan dengan Undang-undang HAM lantaran perkara terjadi sebelum payung hukum tersebut rampung dibuat.

"Ini hasil kompilasi yang kami akomodir pada saat saya sebagai Kapolda diberikan kesempatan oleh bapak Menko Polhukam untuk mengakomodir ini semua," kata Paulus dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (10/5).

Pertama, dia menuturkan, kasus penyanderaan Mapenduma pada 9 Januari 1996. Kasus ini terjadi sebelum Undang-undang nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM diterbitkan, oleh sebab itu pemerintah tak dapat merujuk pada payung hukum itu untuk menyelesaikan perkara.

Kala itu, kata dia, diperlukan keputusan politik DPR untuk menyelesaikan perkara tersebut. Hal serupa juga terjadi untuk kasus kedua, yakni kerusuhan Biak Numfor yang terjadi pada 2-6 Juli 1998.

"Karena di bawah tahun 2000 belum terkena Undang-undang HAM, oleh karenanya ini diminta ada keputusan DPR RI," ucapnya.

Ketiga, lanjut Waterpauw, yakni kasus penyerangan Mapolsek Abe tanggal 7 Desember 2000. Keempat, kasus hilangnya Aristoteles Masoka pada 10 November 2001 yang kini tengah diselidiki oleh tim gabungan dari Polda Papua dan Kodam Cenderawasih.

Kasus kelima ialah peristiwa Wasior yang terjadi pada 2001. Kasus ini, kata Paulus, tengah diselidiki oleh Komnas HAM dan akan dilakukan gelar perkara dengan Kejaksaan.

Berikutnya kasus keenam, dia menjabarkan terdapat kasus kerusuhan Uncen (Universitas Cenderawasih) yang terjadi pada 16 Maret 2006. Kala itu, perkara ini telah diputuskan bukan merupakan suatu pelanggaran HAM.

Hanya saja, sejumlah pelaku yang berkaitan dengan perkara ini diseret ke pengadilan pidana sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.

"Karena itu pidana sifatnya. Kekerasan yang dilakukan bersama-sama oleh para pelaku terhadap korban-korban itu," jelas Waterpauw dalam materi yang dibawakannya itu.

Kasus ketujuh ialah tewasnya Opinus Tabuni di Kabupaten Jayawijaya pada 9 Agustus 2008. Menurutnya, perkara ini tak dapat rampung dengan mudah lantaran sudah terlampau lama terjadi.

Penanganan perkara baru dimulai sekitar 2017 padahal kejadian sudah berlangsung sembilan tahun sebelumnya.

"Jadi memang sedikit menyulitkan. Sampai hari ini, kasus Opinus Tabuni belum terungkap," ujar mantan Kapolda Papua ini.

Kasus kedelapan, penangkapan Yawan Wayeni di Kabupaten Yapen pada 3 Agustus 2009. Dia mengungkapkan, penyelidikan perkara ini tengah dilakukan secara maksimal oleh kepolisian.

Beberapa anggota dari Korps Brigade Mobil (Brimob) yang terlibat dalam perkara telah diseret ke meja hijau dan dihukum melalui mekanisme internal kepolisian.

Kesembilan, kata dia, ialah kasus Kongres Rakyat Papua III berlangsung pada 19 Oktober 2011. Kala itu, aparat dinilai membubarkan kegiatan kongres dengan cara brutal, beberapa peserta disebutkan mengalami penyiksaan. Kasus ini masih dalam penyelidikan kepolisian.

Kesepuluh, Waterpauw melanjutkan, penangkapan Mako Tabuni di Jayapura pada 14 Juni 2012. Hanya saja, perkara ini diputuskan bukan sebagai suatu pelanggaran HAM.

"Dia (Mako Tabuni) adalah seorang militan KNPB yang melakukan beberapa kali kekerasan di Kota Jayapura," tambahnya.

Terakhir kasus kesebelas, kasus yang dijabarkan oleh Waterpauw ialah peristiwa Paniai yang terjadi pada 8 Desember 2014. Dalam kasus ini, diduga terjadi kekerasan aparat terhadap warga sipil yang mengakibatkan empat orang pemuda meninggal dunia akibat luka tembak.

Kasus ini, kata Waterpauw, telah ditangani oleh tim Ad Hoc yang dibentuk oleh Komnas HAM.

"Jadi ini semua tinggal bagaimana didorong kembali untuk melakukan proses-proses ini," tandas dia.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar