Dicky Eko Prasetio, Pusat Kajian Hukum dan Pembangunan Universitas Negeri Surabaya 

Urgensi Penerapan Ide Etik Konstitusi pada Constitutional Review di MK

Sabtu, 08/05/2021 11:22 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi (Detik)

Gedung Mahkamah Konstitusi (Detik)

[INTRO]
 
Konstitusi sebagai dokumen social contract antara rakyat dan penguasa sejatinya berisi mengenai jaminan hak konstitusonal warga negara serta mekanisme pengelolaan negara yang dilaksanakan melalui badan-badan/institusi kenegaraan.
 
Dalam hal ini, John Locke bahkan menegaskan dalam argumentasinya bahwa “….right first, government second…” yang mengindikasikan bahwa karena merupakan kontrak sosial antara penguasa dan warga negara maka konstitusi harus mendudukkan superioritas hak konstitusional warga negara dibandingkan hanya sekadar prosedur menjalankan institusi kenegaraan. 
 
Dalam UUD NRI 1945, jaminan hak konstitusional warga negara termasuk juga jaminan hak asasi manusia secarra eksplisit tercantum dalam Pasal 28A-28J UUD NRI 1945 sebagai hasil dari amandemen kedua konstitusi tahun 2000.
 
Penegasan akan jaminan hak konstitusional warga negara tersebut sejatinya merupakan langkah progresif sebagaimana amanat reformasi tahun 1998 yang mana salah satu spirit reformasi adalah adanya jaminan serta perlindungan atas hak konstitusional warga negara. Salah satu jaminan hak konstitusional warga negara adalah hak atas pengakuan, jaminan, serta perlindungan hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. 
 
Bentuk implementasi dari  Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 adalah adanya jaminan bagi warga negara untuk mengggugat dan/atau menyatakan pendapat bahwa suatu Undang-Undang baik secara formil maupun materil telah tidak sejalan lagi dengan nilai serta cita-cita konstitusi. Oleh karena itu, pada era pascareformasi didirikan Mahkamah Konstitusi yang dimaksudkan untuk secara seimbang menjaga antara majority rules dan minority rights dalam naungan nilai dan norma konstitusi. 
 
Pada perkembangannya, pengakuan, jaminan, serta perlindungan hukum yang terdapat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 tidak hanya mendudukkan konstitusi hanya sebatas hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land).
 
Pada perkembangan ketatanegaraan modern, konstitusi perlu didudukkan secara lebih komprehensif termasuk juga meliputi aspek etika konstitusional (constitutional ethics). Dengan demikian, meminjam istilah dari Jimly Asshidiqie bahwa, konstitusi di era modern harus didudukkan sebagai norma tertinggi. 
 
Pengertian norma tertinggi inilah yang harus dimaknai secara ekstensif yang tidak hanya terbatas pada norma hukum saja, melainkan juga menjadi dasar norma etika tertinggi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa di era modern, konstitusi harus didudukkan sebagai norma hukum serta norma etika tertinggi. Hal ini dimaksudkan supaya ‘kapal negara hukum’ dapat berlayar dengan lancar ‘di dalam samudera etika’ menuju pada ‘pulau keadilan’ yang dicita-citakan. 
 
Praktik di Indonesia saat ini, gagasan constitutional ethics sejatinnya telah diimplementasikan di beberapa aspek seperti adanya kode etik (code of ethics) dan kode perilaku (code of conduct) yang telah diterapkan di berbagai institusi negara, institusi bisnis, hingga institusi sosial-kemasyarakatan (non-state institution).
 
Terlebih lagi, di ranah pemilihan umum, selain terdapat adanya kode etik (code of ethics) dan kode perilaku (code of conduct) juga terdapat pelembagaan peradilan etika tersendiri (court of ethics) yaitu Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) yang berfungsi menjaga martabat serta integritas penyelenggara pemilihan umum. 
 
Dalam UUD NRI 1945 sejatinya terdapat aturan yang memerlukan pertanggungjawaban secara etika salah satunya adalah Pasal 20 ayat (5) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa, “Dalam  hal  rancangan  undang-undang  yang  telah  disetujui  bersama  tersebut  tidak  disahkan  oleh  Presiden   dalam   waktu   tiga   puluh  hari   semenjak   rancangan   undang-undang   tersebut   disetujui,   rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”. 
 
Dilihat dari original intend perumusan Pasal 20 ayat (5) UUD NRI 1945 sejatinya untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat terkait suatu undang-undang yang telah dibahas serta mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, tetapi terdapat kendala tertentu yang membuat Presiden tidak dapat menandatangani suatu undang-undang yang telah mendapatkan persetujuan bersama.
 
Meski secara original intend Pasal 20 ayat (5) UUD NRI 1945 memberikan solusi terkait keberlakuan suatu undang-undang yang dengan alasan tertentu tidak ditandatangani oleh Presiden, namun dalam praktiknya Pasal 20 ayat (5) UUD NRI 1945 justru seringkali disalahgunakan oleh Presiden untuk melakukan ‘manuver’ politik dengan sengaja tidak mau menandatangani suuatu undang-undang yang telah disetujui bersama. 
 
‘Manuver’ politik Presiden tersebut celakanya hanya demi kepentingan politik praktis sesaat terutama dalam memberikan citra positif kepada Presiden dengan tidak mau memberikan tanda tangan terhadap undang-undang yang telah disetujui bersama, maka Presiden dipersepsikan masyarakat sebagai pihak yang tidak tahu apa-apa terkait penyusunan dan perumusan suatu undang-undang.
 
Dengan tidak ditandatangani oleh Presiden, ada kesan bahwa ketika suatu undang-undang menjadi isu sensitif di masyarakat baik dalam proses penyusunan maupun saat pengesahan maka Presiden dianggap lepas tangan dan tidak mau tahu. Celakanya, citra negatif suatu undang-undang tersebut oleh masyarakat kemudian dialamatkan kepada DPR yang dianggap ‘tidak becus’ membuat undang-undang oleh masyarakat.
 
Padahal, proses pembuatan undang-undang adalah proses pembahasan, penyusunan, serta pengesahan bersama antara Presiden dan DPR sebagaimana amanat Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945. 
 
Dalam sejarahnya, fenomena Presiden yang tidak menandatangani suatu undang-undang hasil persetujuan bersama contohnya pernah dilakukan Presiden Megawati yang selama masa kepemimpinannya tercatat pernah tidak menandatangani lima undang-undang hasil kesepakatannya dengan DPR. Meski begitu, secara yuridis uu yang tidak ditandatangani oleh Presiden tetap dianggap sah dan berlaku sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 ayat (5) UUD NRI 1945. 
 
Di era Presiden Joko Widodo, undang-undang yang tidak ditandatangani oleh Presiden adalah UU No. 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang pada menuai kecaman keras dari masyarakat karena dianggap ‘melemahkan dan menjinakkan’ Komisi Pemberantasan Korupsi. Sehingga, menimbulkan reaksi keras masyarakat dan akhirnya diuji konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi baik secara formil maupun materil. 
 
Tepat pada Hari Selasa, 4 Mei 2021 Mahkamah Konstitusi akhirnya menyampaikan putusan terkait konstitusionalitas UU No. 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik secara formil maupun materil. Salah satu putusan yang menjadi perhatian bersama adalah terkait Putusan MK No. 79/PUU-XVII/2019 terkait uji formil UU No. 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi meskipun dalam amar putusan permohonan pemohon ditolak.
 
Namun adanya dissenting opinion dari hakim konstitusi Dr. Wahiduddin Adams yang menegaskan bahwa dari sekian alasan mengapa seharusnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon salah satunya adanya persoalan etik yang mana UU No. 19 tahun 2019 tidak ditandatangani oleh Presiden. Meski secara hukum dan konstitusi suatu undang-undang tetap sah tanpa tanda tangan Presiden, namun di tengah kemelut serta reaksi negatif masyarakat terhadap UU No. 19 tahun 2019 tanpa alasan yang jelas, justru Presiden tidak menandatangani undang-undang a quo. 
 
Dalam perspektif constitutional ethics sejatinya apa yang dilakukan oleh Presiden tersebut harus dijelaskan serta diumumkan kepada masyarakat umum apa alasannya mengapa tidak menandatangani suatu undang-undang yang telah disetujui bersama dengan DPR. Hal ini dikarenakan sebagaimana yang dinyatakan oleh Thomas Hobbes bahwa, “The law is the public conscience”.
 
Dalam hal ini, argumentasi Thomas Hobbes tersebut sejatinya memberikan pesan bahwa sebagai nurani publik, tentunya hukum juga harus mengadopsi serta meniti nilai-nilai etika konstitusi sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi suatu negara. Hal ini berarti bahwa, suatu undang-undang yang semata-mata didasarkan pada hukum belumlah dapat dikatakan sebagai undang-undang yang mencerminkan keadilan. 
 
Untuk mencapai dan menuntun kearah cita-cita keadilan, suatu undang-undang harus memancarkan kebenaran hukum dan kepatutan etika secara bersamaan. Hal ini tentu selaras dengan apa yang dinyatakan oleh Jeremy Bentham bahwa, “Where there is no justice, publicity is the very soul of justice”. Dengan demikian, ke depan perlu adanya suatu formulasi pertanggungjawaban etika Presiden ketika tidak menandatangani undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama antara Presiden dan DPR.
 
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, perlu adanya pengaturan terutama mengenai constitutional review di Mahkamah Konstitusi terhadap undang-undang yang tidak ditandatangani oleh Presiden supaya ada keharusan bagi Presiden dan/atau yang mewakili untuk memberikan pertanggungjawaban etika dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, harus diuraikan atas dasar dan alasan apa sehingga menyebabkan Presiden tidak menandatangani suatu undang-undang yang telah mendapat persetujuan bersama dengan DPR. 
 
Semoga saja, gagasan ini menjadi setitik curah gagas supaya UUD NRI 1945 dapat dipahami secara komprehensif bukan hanya sebagai norma hukum, tetapi juga sebagai norma etika sekaligus.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar