Legislator Sebut Keuangan RI Terancam Kolaps Akibat Gunungan Utang

Kamis, 29/04/2021 14:39 WIB
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Demokrat, Marwan Cik Asan (Kanan). (Foto: Dok. Demokrat).

Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Demokrat, Marwan Cik Asan (Kanan). (Foto: Dok. Demokrat).

[INTRO]
Anggota Komisi Keuangan (Komisi XI) DPR RI, Marwan Cik Asan mengungkapkan total utang Indonesia sampai akhir 2020 telah menyentuh angka Rp6 triliun lebih. Ia mewanti-wanti pemerintah untuk mencegah utang yang menggunung karena khawatir bila terus dibiarkan bakal membuat keuangan negara kolaps.
 
Marwan berujar, dengan kondisi utang lebih dari Rp6 trilun serta 85,90 persen merupakan SBN dan 14,10 persen berupa pinjaman, kondisi keuangan negara saat ini layak dikhawatirkan.
 
"Kondisi yang mengerikan. Karena rasio utang telah mencapai 39,46 persen. Jika utang pemerintah digabungkan dengan utang BUMN maka total utang mencapai Rp12.269,63 triliun, dengan rasio utang mencapai 79,5 persen dari PDB. Ini bisa membuat keuangan negara kolaps,’’ kata Marwan dalam keterangannya Kamis, (29/4/2021).
 
Memang, secara umum, posisi utang pemerintah masih dapat dikatakan aman jika merujuk pada batas 60 persen yang ditetapkan UU. Namun jika digabungkan dengan utang BUMN, rasionya telah melampaui ketentuan UU.
 
Politikus Partai Demokrat ini menekankan sejumlah hal perlu menjadi perhatian. Antara lain porsi beban bunga utang dalam APBN yang semakin besar. Begitu juga defisit keseimbangan primer yang sampai saat ini terus meningkat.
 
"Ini menunjukkan pemerintah sudah tidak mempunyai dana yang cukup untuk membayar bunga utang, sehingga pembayarannya dilakukan melalui penarikan utang baru,’’ jelasnya.
 
Marwan mengimbuhkan, faktor lain yang perlu diwaspadai adalah biaya utang yang semakin mahal. Dari sisi imbal hasil, biaya utang Indonesia tergolong mahal. Untuk utang jangka waktu 10 tahun mencapai 6,72 persen, lebih tinggi dibandingkan imbal hasil Jepang hanya 0,03 persen, China 2,99 perseb, Thailand 1,29 persen, dan Malaysia 2,5 persen.
 
Aspek krusial lain yang perlu dicatat adalah, rasio pendapatan pemerintah terhadap PDB juga semakin menurun. 
 
‘’Rasio pendapatan pemerintah terhadap PDB mencapai 19,8 persen tahun 2008, tertinggi sejak tahun 2000. Tapi terus menurun menjadi 15,4 persen tahun 2014, 12,4 persen pada 2019, dan 10,6 persen di tahun 2020. Rasio yang rendah tersebut menunjukkan bahwa kondisi fiskal dan keuangan pemerintah sulit untuk dipertahankan,’’ katanya.
 
Dua aspek lain yang harus diwaspadai kata Marwan adalah porsi kepemilikan asing dalam SBN semakin besar dan peningkatan jumlah utang BUMN serta potensi gagal bayar.
 
‘’Karena itu, kami berharap pemerintah dapat lebih selektif dalam melakukan penarikan utang untuk mewujudkan pemanfaatannya secara optimal. Harus benar-benar untuk kegiatan produktif dan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional,’’ ujar dia.
 
Legislator asal Lampung inj juga mengingatkan penarikan utang dalam jumlah besar saat ini akan menjadi beban bagi pemerintah di masa yang akan datang. Hasil pemeriksaan BPK dalam IHPS II 2019 menemukan bahwa pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak memiliki parameter dan indikator pencapaian. Ini berpotensi mempengaruhi kemampuan membayar kembali utang pemerintah pada masa mendatang.

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar