Analisis Hukum Kasus BLBI, SP3 KPK dan Satgas Penagih Dana BLBI

Kamis, 22/04/2021 07:28 WIB
Aksi Unjuk Rasa Menuntut Tuntaskan Kasus BLBI (net)

Aksi Unjuk Rasa Menuntut Tuntaskan Kasus BLBI (net)

law-justice.co - Skema  kucuran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh bank penerima dana didasarkan atas kebijakan pemerintah akibat adanya krisis moneter tahun 1997/1998 dengan tujuan untuk memulihkan atau menyelamatkan stabilitas perekonomian negara. Ternyata BLBI tidak dipergunakan sesuai dengan tujuan dan tidak dikembalikan dalam tempo yang  telah ditentukan. 

Kucuran dana BLBI digunakan bukan untuk menyehatkan manajemen dan kinerja perbankan sebagaimana peruntukan dana BLBI, melainkan disalahgunakan untuk keperluan pribadi pemilik bank atau Pemegang Saharn Pengendali (PSP) bank penerima BLBI, sehingga penyalahgunaan dana BLBI menjadi perbuatan yang melanggar hukurn. 

Kejahatan perbankan penyalahgunaan BLBI dapat mengarah sebagai tindak pidana korupsi (Pasal 1,2,3 dan 4 UU. No.31 tahun 1999 jo UU.No.20 Tahun 2001) atau setidak-tidaknya tindak pidana penggelapan (Pasal372KUI-IP), dan perbuatan melawan hukurn (onrechmatigedaad) sebagaimana diatur-dalam Pasal 1365 KUI-IPerdata. 

Sedangkan pelanggaran terhadap Batas MaksimumPemberian Kredit (BMPK) berkenaan dengan Pasal49 ayat (2), Pasal 50 dan Pasal 50 A Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU. No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Dengan adanya pelanggaran tersebut, berbagai pola penyelesaian utang BLBI telah dilakukan namun  berlangsung mulus. Sebagian pengusaha  penerima dana BLBI terpaksa dibawa ke pengadilan, termasuk Samadikun Hartono (Bank Modern) yang diadili di Pengadilan Negeri Jalarta Selatan. Utangnya ke BPPN sebesar Rp 6.5 triliun dan Samadikun baru  melunasi Rp 68,5 miliar dari penjualan asetnya. 

Dia tak mau menyerahkan aset yang lain. Pengadilan negeri membebaskannya, tapi Mahkamah Agung memvonisnya empat tahun penjara. Samadikun Hartono lalu menghilang. Beberapa koruptor BLBI lainnya juga kabur. Misalnva Bambang Sutrisno dan Andrian Kili Ariawan (Bank Surya), juga Agus Anwar (Bank Pelita dan Bank Istimarat).

Upaya menyeret para pelaku korupsi dana BLBI secara pidana selalu terbentur kendala penegakan hukum. Seolah hukum bungkam dan tidak bertaring menghadapi para ‘konglomerat hitam’. Untuk penanganan kasus ini, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.

Kesulitan menyelesaikan kasus BLBI melalui jalur ligitasi pada akhirnya Pemerintah mulai mencari solusi dalam menyelesaikan kasus BLBI  dengan membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melalui Kepres No. 27 tahun 1998 yang bertugas untuk melakukan penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah, dan mengupayakan pengembalian uang negara.

Namun demikian dari tahun 1998 hingga tahun 2002, upaya BPPN tersebut belum membuahkan hasil yang maksimal, sehingga diperlukan cara lain agar aset negara segera kembali guna memperbaiki stabilitas nasional, maka cara non-litigasi menjadi salah satu pilihannya.

Untuk itu Presiden Megawati pernah mengeluarkan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge sebagai tindak lanjut dari Tap MPR No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002 yang menginstruksikan kepada BPPN untuk segera mengambil langkah bagi penyelesaian kewajiban pemegang saham dalam rangka penyelesaian seluruh kewajibannya. 

Namun kebijakan Release and Discharge dengan membebaskan debitor BLBI dari tuntutan pidana karena dianggap sudah mengembalikan uang negara, ini adalah bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 UU. No. 31  tahun 1999. 

Penyelesaian utang BLBI dalam perspektif keperdataan yang dituangkan dalam MSAA (Penyelesaian BLBI dengan Jaminan Aset)  dengan klausul Release & Discharge adalah merupakan suatu perjanjian yang nyata-nyata isinya telah bertentangan atau melanggar ketentuan undang-undang, padahal menurut Pasal 1337 KUHPerdata isi perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban urnurn.

Isi perjanjian MSAA yang disertai klausul Release and Discharge adalah bertentangan dengan kausa hukum sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, yang mensyaratkan bahwa suatu perjanjian harus didasarkan pada kausa hukum yang dibenarkan hukum atau kausa yang halal. 

Jika isi perjanjian bertentangan dengan persyaratan tersebut, maka perjanjian harus dinyatakan batal demi  hukum. Pelaksanaan pemberian Release and Discharge kepada para obligor telah melanggar atau bertentangan dari isi MSAA itu sendiri, karena para obligor atau PSP tersebut pada waktu itu belum melunasi pembayaran kepada BPPN, akan tetapi BPPN langsung memberikan release and discharge dengan membebaskan para obligor.

Pemberian Release and Discharge oleh Ketua BPPN Syafrudin Tumenggung ini akhirnya dinilai bermasalah sehingga yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.KPK menyangka Syafruddin dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Proses hukum untuk Syafruddin berlangsung hingga akhirnya  divonis 13 tahun penjara dan denda Rp 700 juta serta subsider 3 kurungan bulan. Syafruddin dinyatakan terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Syafruddin tidak terima akan putusan itu, dia kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Namun PT DKI malah menambah Syafruddin menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan.

Tidak terima dengan putusan Pengadilan DKI Jakarta, Syafrudin kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). MA kemudian memutuskan  Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung menghirup udara bebas. MA memutus bebas Syafruddin dalam amar putusan Nomor 1555K/PID.SUS-TPK/2019, Selasa (9/7/2019). 

Majelis hakim menyatakan, Syafruddin terbukti terlibat dalam menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Namun, majelis hakim menilai tidak ada tindak pidana yang dilakukan Syafruddin dalam menerbitkan SKL BLBI.

Keputusan MA yang membebaskan Syafrudin Tumenggung ini dinilai kontroversial namun keputusan MA tetap berjalan sehingga pada akhirnya berimbas pada perjalanan penyelesaian kasus hukum BLBI.

Buntut adanya keputusan MA yang membebaskan Syafrudin ini pada akhirnya berujung  pada lahirnya kebijakan KPK untuk menerbitkan surat perintah penyidikan (SP3) dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim yang merupakan salah satu pentolan penerima dana BLBI. 

Lahirnya kebijakan SP3 oleh KPK juga menyulut kontroversi sehingga sebagian pihak meminta supaya SP3 itu dibatalkan karena dianggap mencederai rasa keadilan karena nyata nyata BLBI telah merugikan keuangan negara yang luar biasa besarnya.

Seolah olah sebagai penutup rasa bersalah atau mungkin untuk menutup malu karena telah keluarnya SP3 kasus korupsi BLBI, Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan untuk membentuk Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memastikan pemerintah akan mengejar seluruh aset atas sisa piutang negara dari dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Total kerugian negara akibat kasus BLBI mencapai lebih dari Rp 108 triliun. 

Pembentukan Satgas dilakukan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021. Di dalam Keppres ini ada lima menteri ditambah Jaksa Agung dan Kapolri ditugasi mengarahkan Satgas untuk melakukan penagihan dan memproses semua jaminan agar segera jadi aset negara.  

Analisis Hukum 

Terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI telah menandai adanya pergeseran penanganan kasus BLBI dari ranah pidana ke hukum perdata.

Dalam hal ini Pemerintah sepertinya sudah tutup buku dan menyerah untuk mengejar pelaku pengemplang BLBI melalui jalur pidana. Pertimbangannya mungkin yang penting bagaimana uang negara yang telah dikucurkan lewat kebijakan BLBI bisa kembali dengan mengabaikan unsur pidananya.

Jika penekanan pada aspek perdata ini mau dikedepankan maka perlu diperhatikan beberapa ketentuan sebagai dasar bagi pemanfaatan aspek perdata dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, khususnya dapat dijadikan pijakan dalam percepatan pengembalian aset negara atau pemulihan aset negara, baik yang berada di wilayah korban (Indonesia) atau juga yang dibawa ke luar negeri oleh para koruptor. 

Beberapa ketentuan tersebut seperti Pasal 4, 18, 32, 33, 34 dan Pasal 38 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), serta dalam Article 31 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003 tentang pembekuan, perampasan dan penyitaan (freezing  seizure and confiscation), Article 40 UNCAC 2003 ini sebagai landasan menembus kerahasiaan Bank (Bank Secrecy).

Juga Article 43 UNCAC 2003 dalam Chapter IV yang mengatur tentang kerjasama internasional, dan ketentuan da-lam Chapter V tentang pengembalian aset (Asset Recovery) dan Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 (UU No. 7 Tahun 2006) tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003.

Adalah suatu fakta bahwasanya dana dan aset BLBI sudah banyak yang di bawa ke mancanegara pada hal belum adanya kerjasama (perjanjian ekstradisi) dengan semua negara tempat aset berada. Adanya perbedaan sistem hukum antara Indonesia dengan negara lainnya, sehingga dapat menimbulkan perselisihan penerapan hukumnya juga menjadi kendala.

Terhitung sejak 6 Febuari 2020, 187 negara termasuk Indonesia sebenarnya telah menandatangani Konvensi Anti-Korupsi PBB dengan meratifikasi UNCAC melalui UU nomor 7 tahun 2006. Dengan ratifikasi tersebut, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan pasal-pasal yang di UNCAC. 

UNCAC adalah upaya bersama negara-negara untuk menghapuskan malapetaka bernama korupsi dari muka bumi. Jika diberlakukan sepenuhnya, UNCAC dapat membuat sebuah perbedaan nyata terhadap kualitas hidup jutaan orang di seluruh dunia.

Meskipun Indonesia telah menandatangani Konvensi Antikorupsi PBB 2003 namun hingga kini Indonesia belum memiliki Undang-Undang Perampasan Aset. Padahal, Undang Undang  ini merupakan perintah dari Konvensi Antikorupsi PBB 2003 yang telah diratifikasi dengan UU No 7/2006. Hal ini menjadi kendala tersendiri dalam memburu aset dan dana pengemplang BLBI yang ada di mancanegara.

Undang Undang Perampasan Aset merupakan dasar bagi pemanfaatan aspek perdata dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, khususnya dapat dijadikan pijakan dalam percepatan pengembalian aset negara atau pemulihan aset negara, baik yang berada di wilayah korban (Indonesia) atau juga yang dibawa ke mancanegara. 

UU Perampasan Aset akan menjadi suplemen penting untuk menunjang aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi di Indonesia termasuk yang dilakukan oleh para pengemplang BLBI yang asetnya sudah banyak berpindah ke mancanegara.Namun sejauh ini RUU Perampasan Aset tak masuk kedalam Prolegnas sebagai RUU Prioritas di tahun 2021.

Jika Pemerintah serius untuk mengejar aset dan dana pengemplang BLBI secara perdata maka pengesahan RUU Perampasan Aset kiranya harus menjadi prioritas untuk segera diselesaikan.

Selain itu agar dapat segera bisa mengembalikan uang negara, maka aspek hukum perdata  melalui restorative justice, ADR dan tindakan perampasan terhadap barang atau aset (NCB) dengan memaksimalkan hubungan antar negara (G to G) menjadi penting untuk segera dilakukan.

Meskipun dalam hal ini akan segera di temukan kendala yakni adanya kesulitan untuk menentukan asset para koruptor yang pada umumnya telah berpindah tangan atau bahkan berasimilasi melalui tindakan money laundering, sehingga sulit dalam pembuktiannya. 

Kemudian hingga saat ini, pemerintah belum pula memaksimalkan prinsip litigasi multiyurisdiksi, artinya gugatan perdata dapat dilakukan oleh suatu negara yang menjadi korban (victim countries) dari tindak pidana korupsi yang diajukan melalui negara lain dengan alasan biayanya mahal, belum adanya perjanjian ekstradisi, dengan demikian penerapan UNCAC di Indonesia belum maksimal. 

Sekalipun hukum yang mengatur tentang korupsi telah ada (internasional/nasional), namun oleh karena pengetahuan dan keberanian para penegak hukum masih kurang untuk menerapkan aturan hukum tersebut secara elastis, artinya sesuai dengan asas manfaat dan asas keadilan masyarakat, maka hingga saat ini penegak hukum tetap menjadi corong undang-undang.

Pada sisi lain meskipun pemerintah telah memproklamirkan keinginan untuk mengejar para pengemplang dana BLBI melalui ranah perdata tapi jangan dilupakan juga aspek pidananya. Karena secara yuridis, meskipun obligator melakukan pembayaran secara keperdataan dan telah pula dikeluarkan SKL (Surat Keterangan Lunas) tapi ternyata menurut Pasal 1381 BW, serta Pasal 1853 KUH Perdata (BW) dan Pasal 4 dan Pasal 18 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) bukan berarti menghilangkan tanggung jawab dalam lapangan hukum pidananya. 

Mengapa persoalan pidana ini tidak boleh dilupakan karena jika diakui secara jujur sesungguhnya BLBI itu termasuk kejahatan korupsi, bukan kejahatan perbankan biasa karena terdapat unsur-unsur yang mendukungnya.

Salah satunya adalah pernah disuapnya Ketua Tim Jaksa Kasus BLBI, Urip Tri Gunawan oleh Syamsul Nursalim di kediamannya. Padahal, Syamsul Nursalim merupakan obligor dari BDNI terkait BLBI. Terlihat bahwa Syamsul menyuap Urip sebagai syarat agar kasusnya “dilepas”. Jadi, disini unsur korupsinya yaitu penyuapan.

Unsur korupsi lainnya terpenuhi, yaitu memperkaya diri sendiri. Hal ini menyebabkan negara merugi karena dana BLBI yang seharusnya dikembalikan namun digunakan untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya.

Seperti tercantum dalam pasal 1 ayat (1) angka {a} yang berbunyi, “Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah: barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara .”

Jelaslah, ternyata kasus aliran dana BLBI itu adalah masuk ke dalam ranah pidana, yaitu kejahatan korupsi. Unsur-unsur tindak pidana korupsi pun terpenuhi (meskipun tidak semuanya). Oleh karena itu kasus ini seharusnya tidak dapat dihentikan hanya dengan membayar/mengembalikan dana BLBI oleh para obligor. Hal ini dikarenakan, pengembalian uang negara itu tidak akan menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi.

Sesuai dengan pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa: “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidanya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal Pasal 2 dan Pasal 3.”

Lebih lanjut di dalam penjelasan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut, pasal 4 menyebut bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.Oleh karena itu, kasus BLBI tidak bisa selesai hanya dengan mengembalikan dana BLBI kepada pemerintah melalu Bank Indonesia oleh bankir-bankir bank yang bermasalah.

Berangkat dari konstruksi hukum sebagaimana disebutkan diatas maka sekiranya nanti Satgas pemburu aset dan dana BLBI yang dibentuk pemerintah telah berhasil mengembalikan dana yang telah mereka selewengkan kepada negara maka seyognyanya pelakunya tetap diproses secara pidana. Hal ini untuk menumbuhkan efek jera sekaligus sebagai sebuah pesan kepada yang lainnya supaya perbuatan serupa tidak terulang ke depannya. 

Yang perlu diproses hukum tentunya bukan hanya sebatas para bankir nakal penerima dana BLBI saja tetapi juga para pejabat yang diduga terkait dalam pengucuran dana BLBI yang telah merugikan negara triliunan jumlahnya. Karena dalam hukum pidana dikenal dengan kejahatan berjamaah yang pelakunya bukan hanya satu tetapi bersama sama. Ada pelakunya sendiri, yang turut melakukan, yang membantu melakukan dan sebagainya.

Kita tentunya mendukung pembentukan Satgas pemburu aset dan dana BLBI sepanjang bisa bekerja serius untuk mengembalikan aset dan dana BLBI kepada negara. Bukan Satgas yang dibentuk tapi justru menggerogoti uang negara karena keharusan negara untuk membayar upah dan gaji mereka. 

Selain itu pembentukan Satgas jangan dimaknai sebagai sinyal tutup buku untuk menyeret para pelaku pengemplang BLBI (pejabat maupun pihak swasta yang terlibat) didalamnya. Sebab kalau ini terjadi akan mencederai rasa keadilan di masyarakat dan berpotensi kejadian serupa akan berulang karena tidak ada efek jera. Maling ayam saja kalau ketangkap digebuki meskipun ayamnya telah dikembalikan, masak maling triliunan akan dimaafkan hanya karena uang hasil malingnya telah dikembalikan, dimana letak rasa keadilannya?

Kalau SP3 dari KPK sudah diberikan kepada para pengemplang dana BLBI, justru semakin memudahkan mereka untuk menyembunyikan, mengalihkan dan memanfaatkan aset yang masih mereka milliki. SP3 justru menjadi dasar hukum mereka untuk menyatakan bahwa kasus pidananya sudah selesai dan konsekwensinya aset yang dulu dianggap status quo, sekarang menjadi aset likuid yang bisa dimanfaatkan.

Kesimpulannya, adanya SP3 KPK dan secara bersamaan terbentuk Satgas pemburu aset dana BLBI adalah suatu yang kontradiktif dan justru menambah ktidakpastian hukum. Apalagi dalam struktur keanggotaan Satgas, tim KPK justru tidak dilibatkan. Padahal KPK adalah ujung tombak penyelesaian hukum kasus BLBI ini. Menjadi tanda tanya publik, kok dengan mudahnya pemerintah menyelesaikan kasus hukum dengan simplifikasi dan justru berpotensi menimbulkan masalah hukum baru. Ironi keadilan di negara yang semboyannya berdasarkan hukum bukan kekuasaan.

 

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar