Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Menyoal Jalan Pintas Penyelesaian Kasus HAM Berat di Masa Lalu

Senin, 19/04/2021 05:44 WIB
Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (ist)

law-justice.co - Presiden boleh datang silih berganti, tetapi penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM ) berat seperti belum juga bisa diselesaikan hingga kini. Mereka yang menjadi kandidat presiden biasanya selalu mengumbar janji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat ini. Tetapi begitu berhasil menduduki kursi yang diingini, janji itu tak juga bisa direalisasi.

Terkatung-katungnya  proses penyelesaian pelanggaran HAM berat itu telah membuat keluarga korban merasa dikhianati  dan tersakiti karena keadilan tak kunjung menghampiri. Ditengah harapan dan kecemasan menanti keadilan itu, tersiar kabar Presiden akan segera membentuk Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat (UKP-PPHB) melalui Mekanisme Non-yudisial seperti banyak diberitakan banyak media saat ini.

Seperti biasanya, pembentukan UKP-PPHB memantik reaksi di masyarakat sehingga banyak yang bereaksi terutama keluarga korban pelanggaran HAM berat yang selama ini merasa di khianati. Seperti apa gambaran reaksi publik menyikapi kebijakan penyelesaian melalui jalur non yudisial ini ?.

Sebenarnya apa yang menjadi kendala sehingga pelanggaran HAM berat di masa lalu tak kunjung bisa  diadili ?.  Apakah penyelesaian kasus HAM berat melalui jalur non yudisial dengan membentuk Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (UKP-PPHB) sudah sesuai dengan harapan publik saat ini ?

Memantik Reaksi

Saat ini sekurang kurangnya masih ada 13 kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang dilaporkan ke Kejagung Republik Indonesia.  Ke-13 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu, yakni Peristiwa 1965-1966, Talangsari 1989, Penembakan Misterius (Petrus), Kerusuhan 13-15 Mei 1998, Penculikan Aktivis 1997-1998, Tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, Tragedi Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA), Tragedi Jambu Keupok, Tragedi Rumah Geudong dan Pos Satis, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998, Peristiwa Wasior, Peristiwa Paniai dan Peristiwa Wamena.

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan pemerintah serius menuntaskan kasus pelanggaran HAM  berat masa lalu yang masih terkatung katung penyelesaiannya. Penyelesaian bakal dilakukan secara hukum dan di luar hukum atau non yudisial.  "Nah, ini semua masih jalan. Kita merencankan penyelesaian itu secara yudisial dan non-yudisial," kata Mahfud di Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta Selatan, Senin, 15 Maret 2021 seperti  dikutip media.

Nampaknya diantara kedua jalan tersebut, penyelesaian secara non yudisial yang lebih ditonjolkan pelaksanannya. Indikasi ini terlihat dengan keinginan pemerintah untuk membentuk Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (UKP-PPHB) yang belakangan memantik reaksi  pro dan kontra.

Dilingkungan DPR sendiri nampaknya banyak yang mendukung upaya penyelesaian secara non yudisial ini dengan segenap pertimbanganya. Seperti dikutip tirto.id, beberapa anggota Komisi III DPR RI mendesak Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyelesaikan kasus secara non-yudisial atau di luar pengadilan. Alasannya, karena banyak terduga pelaku yang telah meninggal dan saling lempar bola berkepanjangan antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung.

“Yang penting ada penyelesaian karena saya tidak bisa membayangkan penyelesaian yudisial terhadap perkara yang terjadi sebelum tahun, katakanlah 1990, seperti kasus `65, petrus, dan Talangsari," kata anggota DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani dalam rapat dengar pendapat dengan Komnas HAM, Selasa (6/4/2021).

Suara serupa disampaikan anggota DPR dari fraksi Gerindra Habiburokhman. Menurutnya, pembuktian pelanggaran HAM masa lalu di pengadilan akan sangat berat. Ia berkaca pada pengadilan HAM Abepura--yang bagi LSM HAM Elsam sekadar "pengadilan pura-pura" --yang membebaskan para terdakwa dan gagal memberikan keadilan bagi korbannya.

Anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat Santoso juga berpendapat sama, dan dia membawa-bawa sentimen nasionalisme.  "Kalau bicara HAM, kita jangan takut dengan negara lain. Komnas HAM harus membela merah putih, membela NKRI. Meskipun Komnas HAM adalah lembaga independen, tapi di sisi lain harus menjaga keutuhan negara ini," katanya.

Sementara eks tahanan politik 1965 Bedjo Untung mendukung penyelesaian non-yudisial sepanjang itu hanya pintu masuk pemenuhan keadilan bagi korban keganasan Orde Baru tahun 1965-1966, dan dilanjutkan dengan penyelesaian di pengadilan HAM. "Saya minta dengan sangat, mekanisme non-yudisial ini adalah pintu masuk untuk menuju penyelesaian secara yudisial," kata Bedjo.

Jika  Bedjo Untung  dan kalangan DPR banyak yang mendukung penyelesaian masalah HAM masa lalu, tidak demikian halnya dengan para aktivis dan keluarga korbannya.  Sebagai contoh Maria Catarina Sumarsih, penyintas dan aktivis Aksi Kamisan yang anaknya, Benardinus Realino Norma Irawan alias Wawan, tewas dalam Tragedi Semanggi I, menurutnya  pendekatan non yudisial hanya menyelamatkan pelakunya saja. "Dengan dibentuknya  UKP-PPHB  maka tanggung jawab atas pelanggaran HAM berat dipaksakan atau dialihkan menjadi tanggung jawab presiden, bukan tanggung jawab pelakunya”, katanya.

Kritik serupa disampaikan Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar. Ia mengatakan upaya penyelesaian HAM secara nonyudisial tidak memenuhi unsur penyelesaian kasus HAM berat seperti pengungkapan kebenaran, reformasi institusional, dan mekanisme pengadilan. Ia khawatir jika peraturan ini terealisasi, para purnawirawan yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu bebas dari penghakiman yang seharusnya dijalaninya.

"Karena di Rancangan Perpres tidak mendorong pengungkapan kebenaran maka upaya untuk membawa pelaku ke mekanisme pengadilan menjadi hilang,," kata Rivanlee seperti dikutip pers, Selasa (23/3/2021). "Lebih lanjut Kontras menilai penyelesaian kasus HAM berat masa lalu melalui jalan non yudisial bakal menjadi sarana `cuci tangan` bagi para pelakunya.

Sementara itu menurut  Dosen Program Studi Ilmu Politik UPN “Veteran" Jakarta, Sri Lestari Wahyuningrum Penyelesaian kasus HAM berat masa lalu melalui jalur non yudisial dinilai tidak akan memberikan keadilan bagi korbannya.

"Saya pikir keseluruhan draf ini adalah kemenangan bagi pelaku pelanggaran HAM," kata Dosen Program Studi Ilmu Politik UPN “Veteran" Jakarta Sri Lestari Wahyuningrum dalam diskusi yang diselenggarakan KontraS pada Kamis (8/4/2021).

Dalam draf Pepres tersebut, Sri menjelaskan pemerintah sangat menekankan aspek reparasi korban pelanggaran HAM berat dan rekonsiliasi, setelah reparasi dilakukan maka masalah dianggap selesai. Sementara, aspek pengungkapan kebenaran sama sekali tidak diungkit dalam draf tersebut, baik sebelum reparasi dilakukan atau sesudahnya.

Apa Kendalanya ?

Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 10 Desember 1948 di Paris yang kemudian mengadopsinya dalam pasal 28  UUD 1945.

Dengan dimasukkannya HAM ke dalam konstitusi melahirkan kewajiban bagi negara (pemerintah) untuk menghormati, melindungi dan menjamin, memenuhi serta memajukan Hak Asasi Manusia seluruh rakyat atau warga negara Indonesia. Negara atau pemerintah harus menjadi  garda terdepan dalam upaya penegakkan hukum demi menjamin pemenuhan HAM seluruh warga negara Republik Indonesia.

Amanat konstitusi di atas mengandung  makna bahwa  sudah menjadi  kewajiban negara (pemerintah) untuk melindungi, menghormati, memenuhi dan memajukan hak asasi seluruh warga negara Indonesia.

Selain itu menjadi  kewajiban pemerintah pula untuk menegakkan hukum atau mengadili  apabila terjadi pelanggaran terhadap  hak azasi manusia. Untuk mengakomodasi dua hal di atas, pemerintah Indonesia telah menelurkan dua undang-undang yaitu Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Dengan adanya dua Undang Undang tersebut sesungguhnya sudah bisa dijadikan landasan bagi negara/ pemerintah untuk mendadili  para pelanggar HAM berat termasuk pelanggaran HAM berat di masa lalu yang belum kelar penyelesaiannya. Karena  dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 telah membuka peluang untuk adanya pengadilan bagi pelaku pelanggar HAM berat  masa lalu yaitu seperti dirumuskan di pasal 43.

Dalam pasal 43 ayat (1)  dinyatakan bahwa : "Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc".

Dasar keberlakuan secara surut UU Pengadilan HAM terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah penjelasan pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa: "Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan."

Berdasarkan bunyi pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dapat dikatakan bahwa secara yuridis, undang-undang telah memberi jalan bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000. Artinya, pasal ini menjadi instrumen hukum (legal frame work) bagi DPR dan Presiden dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM sebelum tahun 2000.

Tetapi meskipun secara yuridis formal Undang Undang tela hmemberikan jalan untuk adanya penyelesaian kasus HAM berat secara  yudisial namun sampai hari ini belum ada langkah konkret dari pemerintah untuk melakanakannya. Banyak pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu khususnya yang terjadi sebelum tahun 2000 (seperti pelaggaran HAM tahun 1965, kasus Tanjung Priuk, Kasus Talang Sari, Kasus Wasior dan Abepura, kasus Trisakti dan Semanggi) tidak atau belum jelas penyelesaiannya.

Para pelaku yang diduga melakukan tindakan pelanggaran HAM tetap hidup bebas dan aman-aman saja. Bukan hanya aman, mereka bahkan bisa menduduki jabatan strategis dan ikut mengendalikan perjalanan pemerintahan sebagai penguasa.

Sebagai contoh Wiranto yang diduga menjadi pelaku pelanggaran HAM berat Timor Timur pernah diangkat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden  dan juga sebagai Menkopolhukam sejak 2016.

Pendukung Jokowi yang juga diduga melanggar HAM adalah Hendropriyono, yang tersandung kasus Talangsari yang menyebabkan puluhan orang meninggal dunia. Ia juga diduga terlibat kasus pembunuhan aktivis HAM Munir karena Munir  diduga kuat meninggal sebagai hasil dari operasi intelijen negara. Hendropriyono adalah Kepala BIN saat itu sehingga dianggap mengetahui segala sesuatunya.

Yang memprihatinkan ketika kasus masa lalu belum terselesaikan, muncul kasus kasus baru pelanggaran HAM yang juga tidak jelas penyelesaiannya mulai kasus demonstrasi menentang hasil pilpres 2019, demo menentang revisi UU KPK, sampai tertembaknya 6 laskar FPI yang hingga kini tak jelas juntrungannya.

Penanganan pelanggaran HAM yang tidak tuntas akan menyulitkan posisi Indonesia, terutama di mata dunia. Ketidakmampuan bangsa Indonesia dalam menangani masalah pelanggaran HAM telah menjadi beban bagi perjalanan bangsa sekaligus menjadi sorotan dunia internasional lebih lebih Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

Pelanggaran HAM di masa lalu yang tidak tuntas merupakan potret buram penanganan pelanggaran HAM di Indonesia. Tidak tuntasnya penanganan pelanggaran HAM di masa lalu cenderung menguras energi, menimbulkan rasa  pesimistis dan apatis sekaligus rasa saling curiga. Padahal kita bisa menempuh berbagai sarana untuk menuntaskannya.

Mengapa kasus kasus pelanggaran HAM berat dimasa lalu begitu sulit penyelesaiannya ?, Pada hal konstitusi dan Undang Undang telah memberikan jalan terang bagi pemerintah yang berkuasa untuk mengadilinya ?, Apakah karena pihak yang akan diadili mempunyai kekuasaan menentukan sehingga dalam hal ini negara/ Pemerintah tidak berani menentukan sikapnya ?.

Apakah karena tidak cukupnya keberanian itu sehingga pemerintah akhirnya menempuh jalan non yudisial  sebagai solusi aman untuk menyelesaikan kasusnya ? Meskipun penyelesaian model ini membuat keluarga korban pelanggar HAM berat merasa tidak terpenuhi rasa keadilannya ?.  Apakah dalam hal ini negara telah kalah dengan para pelanggar HAM berat di masa lalu sehingga tak kuasa menjalankan tugas konstitusionalnya ?.

Serangkaian pertanyaan ini tentu hanya pihak pemerintah yang mampu untuk menjawabnya sementara sebagai rakyat jelata hanya bisa bertanya tanpa mengetahui jawaban pastinya.

Penyelesaian Non Yudisial

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM telah berusia 21 tahun usianya. Namun, masih banyak pelanggaran HAM berat yang belum juga terselesaikan kasusnya. Padahal, banyak pihak berharap UU Pengadilan HAM dapat menjadi pijakan bagi pemerintah dalam menuntaskannya. Sejauh ini baru tiga kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang sudah diadili yakni Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Timor Timur dan Peristiwa Abepura.

Namun upaya pemerintah melakukan  penegakan hukum dengan meminta  pertangungjawaban atas kejahatan  kemanusiaan pelanggaran HAM berat  melalui pengadilan Hak Asasi Manusia  sebagai mana dilakukan terhadap  kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur, Tanjung Priok dan Abepura  ternyata belum memenuhi harapan  rakyat Indonesia khususnya bagi  korban dan keluarganya.

Peradilan  tersebut dinilai masih jauh dari  semangat nilai-nilai keadilan,  ketidakpercayaan pada prosedur  hukum pengadilan HAM menimbulkan  pemikiran dan desakan dari berbagai  pihak agar penyelesaian penegakan  hukum pelanggaran HAM berat masa  lalu dapat ditempuh melalui  pembaruan sistem peradilan pidana pelanggaran HAM berat dengan  melakukan komparasi dan adaptasi  susuai ketentuan Statuta Roma Tahun  1998 dan hukum acara International  Criminal Court (ICC) di Den Haag  serta yang berlaku dibeberapa negara.

Terbentuknya seperangkat peraturan tentang HAM, Komnas HAM dan aparatur penegak dan kelembagaannya peradilan HAM ternyata belum mampu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang diduga terjadi baik secara yudisial maupun non yudisial bahkan telah menjadi sorotan dunia internasional khususnya terkait dengan isu dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat yang bersinggungan pula dengan isu separatis Papua Merdeka.

Alotnya proses penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur yudisial akhirnya mendorong pemerintah untuk mencari jalan penyelesaian non yudisial sebagai alternatifnya. Penyelesaian secara non yudisial ini diwujudkan dalam bentuk pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (UKP-PPHB).

Dalam salinan draf yang beredar di lingkungan wartawan, berdasarkan sumber di Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), draf tersebut terdiri dari sembilan bab dan 23 pasal.Di dalamnya mengatur bagaimana kasus HAM bisa diselesaikan secara non yudisial alias di luar proses hukum. Salah satunya yakni dengan membentuk unit kerja presiden yang berada di bawah naungan Menko Polhukam.

"Penanganan adalah serangkaian upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk pemulihan dan rekonsiliasi dalam rangka penyelesaian dampak peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat melalui mekanisme nonyudisial," demikian bunyi Pasal 1 angka 4 draf Perpres itu.

Saat ini penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur non yudisial menjadi pilihan mungkin didasarkan pada pertimbangan pengalaman penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat  sebelumnya.  

Seperti diketahui, penyelesaian masa lalu untuk kasus Timor Timur Tahun 1999 dan Kasus Tanjung Priok Tahun 1984 diyakini tidak optimal dan tidak efektif terlebih lagi para terdakwa pada ketiga kasus tersebut diputus “bebas”, terlepas dari aspek yuridis dalam pembuktiannya patut dipertimbangkan sulitnya memperoleh dan mengumpulkan alat bukti yang cukup untuk membuat terang terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu dan para terdakwa sebagai pelakunya.

Meskipun pada akhirnya jalan non yudisial yang akan ditempuh namun  jalan non yudisial ini seyogyanya harus  tetap terikat pada prinsip-prinsip dasar penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat bahwa impunitas tidak dibenarkan, dengan empat pilar penting yaitu Hak Atas Keadilan, Hak atas kebenaran, Hak atas reparasi dan Jaminan ketidakberulangan , pengungkapan pelaku dan pilihan yang bertanggungjawab serta kewajiban pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi kepada pihak korban/ahli waris keluarga korban menjadi tanggungan negara.

Mengapa empat pilar penting tersebut harus mendapatkan perhatian karena ada indikasi dan dugaan bahwa penyelesaian kasus HAM berat masa lalu melalui pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (UKP-PPHB) berpotensi menjadi sarana cuci tangan para pelaku kejahatan HAM berat masa lalu saja.

Sebab apabila pelaku tidak pernah diungkap maka mustahil untuk menentukan korbannya. Sehingga  tahapan mengungkap kebenaran adalah dengan memunculkan dan mengadili pelaku terlebih dahulu karena tanpa  mekanisme seperti ini mungkin saja akan terjadi impunitas pelaku. Tanpa mekanisme ini  hanya akan jadi upaya untuk mencari jalan pintas penyelesaian  dengan hanya memberikan ganti rugi pada korbannya saja.  

Saat ini Pemerintah  kelihatannya condong pada memaksakan aspek rekonsiliasi tapi tak pernah membicarakan tentang pengungkapan kebenaran. Pada hal rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran, tanpa pengakuan kesalahan, tanpa pertanggungjawaban pelaku, bukanlah rekonsiliasi yang sesungguhnya.

Sehingga jangan sampai pembentukan UKP-PPHB hanya dijadikan sebagai pintu gerbang menuju pembentukan kembali Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006 yang lalu.

Dengan demikians alah satu esensi dari penyelesaian adalah bagaimana mengungkapkan kebenaran dan memberikan kompensasi terhadap korban dan atau keluarga korban serta membangun rekonsiliasi guna keutuhan bangsa, sesuai prinsip yangdipandang realistis untuk dijadikan pegangan bersama.

Prinsip-prinsip penyelesaian dimaksud adalah: prinsip penyelesaian dilakukan dengan tidak berdasarkan pada kasus per kasus, tetapi melihat akar masalahnya sebagai persoalan rezim politik yang telah melakukan pelanggaran aktif dengan ‘delict by commission’ atau pun passif dengan ‘delict by ommission’ terhadap rakyatnya sendiri.

Motif pengungkapan kebenaran sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya penyelesaian tidak dimaksudkan sebagai eksepresi balas dendam yang dapat memicu sikap defensif dari pihak-pihak terkait sebagai pribadi.

Kejahatan yang dilakukan rezim dilakukan oleh dan atas nama institusi, sehingga penyebutan fakta yang menyangkut pribadi tertentu bukanlah tujuan, melainkan hanya sebatas fakta yang sedapat mungkin dicegah agar tidak menimbulkan efek dendam dan efek sikap defensif yang tidak menyelesaikan masalah.

Proses penyelesaian dilakukan melalui pengungkapan kebenaran secara transparan dan akuntabel dengan diikuti upaya rekonsiliasi dan pemulihan sesuai dengan prinsip ‘restorative justice’.

Proses penyelesaian harus dianggap sama pentingnya dengan hasil yang hendak dicapai, sehingga semangat keterbukaan, keterlibatan masyarakat, dan korban atau para ahli warisnya harus dilihat sebagai proses yang mutlak mesti dilakukan untuk sampai kepada penyelesaian yang benar-benar tuntas sampai akarnya.

Dengan pengungkapan kebenaran maka akan ketahuan siapa pelaku kejahatannya, siapa yang harus bertanggungjawab dan apa konsekuensi moral , politik dan aspek hukum lainnya sebagai akibat perbuatan yang telah dilakukannya. Agar supaya kejahatan pelanggaran HAM berat tidak lagi dilakukan untuk kedepannya.

Setelah pengungkapan kebenaran dapat dilakukan pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi guna membangun moral kolektif baru bagi bangsa. Agar bangsa ini segera terbebas dari beban masa lalu yang terus menjadi ganjalan selama belum ada penyelesaiannya.

 

 

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar