Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI
Memburu Dana BLBI, Upaya Serius atau Basa Basi Pencitraan?
H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)
law-justice.co - Perkara pidana dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dianggap telah selesai dengan terbitnya Surat Penetapan Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak berselang lama setelah terbit SP3, pemerintah kini sedang berburu dana aset pengemplang BLBI yang masih tersisa.
Untuk kebutuhan tersebut, Presiden Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden nomor 6 tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI guna memastikan pemerintah akan terus mengejar seluruh aset BLBI yang harus dikembalikan ke negara.
Terbentuknya Satgas pemburu dana dan aset BLBI itu mengesankan bahwa Pemerintah begitu serius memburu aset dan dana negara yang telah diselewengkan penggunaanya oleh para bankir yang di restui oleh pejabat negara. Kebijakan ini telah mendapatkan apresiasi dari para pendukung pemerintah karena menunjukkan keberpihakan penguasa pada rakyatnya.
Sungguhpun demikian, pembentukan Satgas pemburu dana dan aset BLBI itu telah memunculkan suara sumbang diantara para pengamat lantaran Keppres itu diterbitkan tak lama setelah SP3 diberikan oleh KPK. Seperti apa tanggapan para pakar terhadap kebijakan pemerintah yang membentuk Satgas BLBI untuk memburu aset dana dan aset yang tersisa ?,
Apakah dibentuknya Satgas pemburu dana dan aset BLBI berarti telah terjadi pergeseran upaya penyelesaian kasus BLBI ke ranah perdata ?. Kendala kendala apa saja yang akan dihadapi pemerintah dalam memburu dana aset BLBI melalui jalur perdata ?. Apakah pembentukan Satgas ini upaya serius atau sekadar basa basi saja ?
Suara Sumbang
Pembentukan Satgas pemburu aset dan dana BLBI dikomentari sumbang oleh sejumlah pihak yang mengkritisinya. Praktisi dan pengamat hukum Bivitri Susanti menyebut bahwa langkah pemerintah membentuk Satgas BLBI ini sebagai cara pandang yang salah dalam menangani tindak pidana korupsi di Indonesia.
"Cara pandang bahwa yang terpenting itu bukan soal pemberantasan atau penegakan hukumnya tapi duitnya balik," ujar Bivitri seperti dilansir Kontan.co.id, Minggu (11/04/21).Lantaran menurutnya pemberantasan korupsi bukan perkara mengembalikan uangnya saja. Tetapi butuh penegakan hukum yang akan memberi efek jera bagi pelakunya.
Pakar hukum lain dari Universitas Indonesia, Ganjar Laksmana menyebutkan bahwa urgensi dari urusan BLBI ini adalah menagih bukan membentuk tim penagih."Urgensinya menagih, bukan membentuk tim tagih. Kalau bentuk tim tagih menurut saya kita tunjuk saja debt collector yang paling jago menagihnya. Tanya tuh sama bank-bank yang suka punya jasa debt collector siapa yang paling jago yang tingkat pencapaiannya, persentasenya yang paling tinggi," katanya.
Sementara itu Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera berpandangan pembentukan Satgas Penanganan Hak Tagih BLBI untuk memburu aset negara senilai Rp110 triliun itu tidak sistematis karena tenggat waktu yang diberikan kepada Satgas BLBI selama 2,5 tahun itu dianggap menghambur-hamburkan anggaran negara.Selain itu, waktu kerja selama 2,5 tahun dinilai sarat kepentingan politik 2024 dan terkesan terkait dengan kepentingan segelintir pihak saja.
"Bagaimanapun, Satgas tidak punya alat untuk mengefektifkan aksi dan targetnya. Sementara KPK dengan sistem yang ada, sumber daya yang ada, jejaring yang ada, pengalaman yang ada akan lebih efektif mestinya," kata Mardani seperti dikutip media Senin, (12/4/2021).
Rocky Gerung dalam Youtubenya berjudul “BENTUK DEBT COLLECTOR BLBI. DI ISTANA SEDANG SALING AMPUTASI”, memberikan pendapatnya.
Menurutnya jika sudah dibentuk satgas, berarti ada hal yang urgensi dalam penanganan kasusnya. Rocky berpendapat bahwa ada hal aneh, karena Sjamsul Nursalim sudah dilepaskan hukum, namun, kenapa ada Satgas yang ditugaskan untuk menagihnya ?.
“Jadi orang menanggap bahwa setelah kasus BLBI Sjamsul Nursalim dilepaskan, kenapa sekarang muncul satgas untuk menagih tuh,” katanya, “Saya menganggap secara politik, Kepres ini sudah disiapkan terlebih dahulu baru peristiwa pembebasan, pasti bukan karena aspek hukumnya, tapi karena aspek kekuasaan yang besar, jadi dari awal memang mau dicari-cari atau diusut ulang kasusnya “,paparnya.
“Cuma kalau semua mau diambil akan terbongkar konglomerat-konglomerat tertentu yang dekat dengan kekuasaan, makanya dicarilah akal gitu, ‘oke kita akan sapu semua, tapi untuk beberapa harus dipastikan tidak akan terjaring’ gitu,” tandasnya.Menurut Rocky untuk kebutuhan tersebut dibuat lah ‘jaring’ besar yang membuat konglomerat besar bisa lolos tapi tidak bagi yang lainnya.
Pergeseran Status Hukum
Selama ini penyelesaian tindak pidana korupsi yang terkait BLBI, belum terselesaikan dengan tuntas, artinya masih banyak kendala yang dihadapi para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya.
Salah satu kendala antara lain karena diduga kasus ini melibatkan para petinggi negara sehingga kalau di usut dengan tuntas dikhawtirkan akan terjadi gejolak yang akan mempengaruhi stabilitas negara. Kekhawatiran ini bisa jadi menghantui aparat penegak hukum kita sehingga kasus BLBI terkatung katung penyelesaiannya.
Dalam menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi seperti kasus BLBI, pemerintah (para penegak hukum) sepertinya dihadapkan kepada dua mata pisau yang sama tajamnya, ketika berhadapan dengan proses penegakan hukumnya.
Satu sisi kejahatan tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang mengarah langsung pada stabilitas keuangan (perekonomian) negara yang harus segera diproses guna pemulihan aset negara, di sisi lain, sebagai kejahatan biasa yang dilakukan oleh para pejabat yang menyalahgunakan kekuasanya.
Pada akhirnya banyak para koruptor (melalui penal) kemudian lolos (SP3), karena cara mereka memanipulasi hukum, atau pandai membuat manufer untuk mengakali hukum bersama dengan penegak hukum yang telah berhasil dijinakkanya.
Dalam kasus BLBI, para penegak hukum sulit untuk membuktikan unsur “kejahatan dan pelanggaran”nya sendiri semata-mata dikarenakan karakteristik para pelaku korupsi untuk memanipulasi asas dan prinsip-prinsip hukum yakni yang bersembunyi dibalik asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), atau bahkan berlindung pada asas legalitas, karena melaksanakan aturan yang dikeluarkan pemerintah, menyalahkan aturan yang ada (multi tafsir).
Protes terhadap aturan yang ada hingga mengajukan proses uji konstitusi, bahkan menuduh balik penegak hukum melakukan kejahatan yang sama dengan pelaku, mencemarkan nama baik, hukum melanggar HAM (Hak Azasi Manusia). Di samping itu juga kasus BLBI sarat dengan muatan politik, serta celakanya uang hasil korupsi banyak disimpan di mancanegara.
Pada hal sistem hukum pidana kita tidak dapat maksimal atau tidak mampu menjangkau upaya pengembalian kerugian negara, terlebih apabila hasil korupsi tersebut telah berpindah atau di tanam di mancanegara.
Karena itu ketika ada putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan bahwa pidana dalam kasus BLBI sudah tak lagi ada maka masyarakat hanya bisa mengelus dada karena berarti tidak ada lagi sisi penegakan hukum yang bisa membuat jera para pelaku korupsi di Indonesia.
Dalam konteks ini Mahfud MD pernah menyatakan untuk mempersilakan masyarakat melapor ke MA jika masih mempersoalkan putusan tersebut."MA sekarang sudah membuat putusan yang itu tidak bisa kita tolak. Itu urusan MA. Bahwa ada masyarakat masih mempersoalkan itu silahkan lapor ke MA," ucapnya.
"Bagi pemerintah kebijakan BLBI tahun 1998 itu sudah selesai, sudah dianggap benar meski negara termasuk rugi karena waktu itu situasinya memang seperti itu”, imbuhnya sebagaimana dikutip media.
Saat ini dengan dibentuknya Satgas panagih dana dan aset BLBI berarti telah terjadi pergeseran fokus perhatian penanganan kasus BLBI dari aspek pidana ke perdata."Sekarang hak perdatanya kita tagih karena semula ini perjanjian perdata, sudah pidananya enggak ada, kata MA, maka kita kembali ke perdata kita tagih sekarang," kata Mahfud dalam video yang dirilis Kemenko Polhukam pada Senin (12/4/2021).
Pergeseran orientasi penanganan kasus BLBI ke perdata ini seolah olah membenarkan pendapat dari Jeremy Bentham dan Niegel, yang mengatakan bahwa hukum pidana janganlah digunakan apabila: tanpa dasar (groundless), tidak menguntungkan. (needless), tidak efisien (inefficient), dan unprofitable alias tidak berguna.
Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman), pada prinsipnya penyelesaian sengketa perdata dapat diselesaikan melalui jalur peradilan (litigasi) atau di luar jalur peradilan (non litigasi).
Ternyata penggunaan mekanisme perdata melalui jalur litigasi masih dirasakan sulit, sehingga pemerintah pernah mencari solusi dalam menyelesaikan kasus BLBI tersebut, yaitu dengan membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) melalui Kepres No. 27 tahun 1998 yang bertugas untuk melakukan penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah, dan mengupayakan pengembalian uang negara.
Namun demikian dari tahun 1998 hingga tahun 2002, upaya BPPN tersebut belum membuahkan hasil yang maksimal, sehingga diperlukan cara lain agar aset negara segera kembali guna memperbaiki stabilitas nasional, maka cara non-litigasi menjadi salah satu pilihannya.
Untuk itu Presiden Megawati pernah mengeluarkan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge sebagai tindak lanjut dari Tap MPR No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002 yang menginstruksikan kepada BPPN untuk segera mengambil langkah bagi penyelesaian kewajiban pemegang saham dalam rangka penyelesaian seluruh kewajibannya.
Saat itu dilakukan negosiasi agar para pemegang saham sepakat memilih bentuk mekanisme penyelesaian kewajiban, antara lain dalam bentuk Master of Settlement and Acquisition Agreement yaitu perjanjian Penyelesaian BLBI dengan jaminan aset (MSAA), Master of Refinancing and not Issuance Agreement suatu perjanjian penyelesaian BLBI dengan jaminan aset dan jaminan pribadi (MIRNA).
Atau dengan menandatangani Akta Pengakuan Utang (APU) tenggang waktu yang ditetapkan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), yang selanjutnya pemerintah akan mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) sebagai alasan penghentian penanganan aspek pidananya, dengan jaminan SP3 dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Pola penyelesaian BPPN yang menggunakan skema Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), yang diistilahkan release and discharge tersebut sebenarnya tidak dikenal dalam pranata hukum Indonesia, tetapi lazim di-gunakan di negara yang menganut sistem hukum common law.
Dalam hal ini Pemerintah saat itu menggulirkan pilihan cara penyelesaian tersebut, semata-mata karena ingin segera adanya penyelesaian terhadap para debitur yang bermasalah karena merugikan keuangan negara.
Kebijakan tersebut saat itu sempat ditentang oleh sebagian kalangan ahli hukum dan NGO, namun demikian mendapat dukungan dari Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dituangkan dalam putusannya tertanggal 30 Desember 2003 No. 06/G/HUM/2003 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada debitur yang bermasalah.
Pola penyelesaian melalui Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang Release and Discharge (atau pelepasan dan penghapusan) pada masa pemerintahan Megawati itu ternyata belum juga berhasil sepenuhnya mengembalikan aset-aset negara.
Upaya untuk memburu dana dan aset pengemplang BLBI terus dilakukan pada masa pemerintah yang sekarang berkuasa. Diantaranya dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 165 Tahun 2017 tentang Pengampunan Pajak atau yang lebih dikenal dengan Tax Amnesty jilid II.
Pada intinya regulasi ini memberikan kesempatan bagi wajib pajak (termasuk pengemplang BLBI) yang belum melaporkan asetnya untuk segera melaporkan kewajibannya. Meskipun demikian upaya pengampunan pajak ini nampaknya belum juga berhasil memancing para pengemplang dana BLBI untuk mengembalikan aset dan dananya ke negara
Kegagalan TaxAmnesti Jilid II tidak menyurutkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk terus memburu sebanyak 20 obligor BLBI dalam rangka menjalankan fungsi dan tugasnya terutama menyelesaikan persoalan kerugian negara agar tidak memberikan beban kepada negara.
Meski sejumlah obligor telah menerima Surat Keterangan Lunas (SKL), Kemenkeu tetap akan melakukan pendataan aset termasuk menagih sisa utang dari pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim sebesar Rp3,75 triliun. Penerbitan SKL itu bermasalah karena ternyata Sjamsul baru melunasi Rp1 triliun dari Rp4,75 triliun utang tersisa.
Secara yuridis, meskipun obligator melakukan pembayaran secara keperdataan dan telah pula dikeluarkan SKL tersebut ternyata menurut Pasal 1381 BW, serta Pasal 1853 KUH Perdata (BW) dan Pasal 4 dan Pasal 18 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) bukan berarti menghilangkan tanggung jawab dalam lapangan hukum pidananya. Adanya keengganan dari obligator BLBI mengembalikan pinjamannya mungkin karena tetap diancam secara pidana sesuai dengan Pasal 4 UUPTPK tersebut.
Serius atau Basa Basi ?
Jika disimpulkan maka kendala hukum yang menyebabkan berlarut-larutnya penyelesaian tindak pidana korupsi dalam kasus BLBI, antara lain: karena cara kerja sistem hukum pidananya bersifat formal-legal-positivistic sehingga sulit aspek pembuktiannya.
Oleh karena itu pemerintah cenderung untuk menggeser permasalahan ini ke ranah perdata, yang penting uang dan aset negara bisa dikembalikannya. Namun begitu menggeser masalah ini ke aspek perdata, masih banyak kendala yang ditemui diantaranya belum diterapkannya pembuktian terbalik secara penuh oleh aparat penegak hukum kita.
Selain itu dana dan aset BLBI sudah banyak yang di bawa ke mancanegara pada hal belum adanya kerjasama (perjanjian ekstradisi) dengan semua negara tempat aset berada. Adanya perbedaan sistem hukum antara Indonesia dengan negara lainnya, sehingga dapat menimbulkan perselisihan penerapan hukumnya juga menjadi kendala.
Terhitung sejak 6 Febuari 2020, 187 negara termasuk Indonesia sebenarnya telah menandatangani Konvensi Anti-Korupsi PBB dengan meratifikasi UNCAC melalui UU nomor 7 tahun 2006. Dengan ratifikasi tersebut, maka Indonesia memiliki kewajiban untuk mengimplementasikan pasal-pasal yang di UNCAC.
UNCAC adalah upaya bersama negara-negara untuk menghapuskan malapetaka bernama korupsi dari muka bumi. Jika diberlakukan sepenuhnya, UNCAC dapat membuat sebuah perbedaan nyata terhadap kualitas hidup jutaan orang di seluruh dunia.
Meskipun Indonesia telah menandatangani Konvensi Antikorupsi PBB 2003 namun hingga kini Indonesia belum memiliki Undang-Undang Perampasan Aset. Padahal, Undang Undang ini merupakan perintah dari Konvensi Antikorupsi PBB 2003 yang telah diratifikasi dengan UU No 7/2006. Hal ini menjadi kendala tersendiri dalam memburu aset dan dana pengemplang BLBI yang ada di mancanegara.
Undang Undang Perampasan Aset merupakan dasar bagi pemanfaatan aspek perdata dalam Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, khususnya dapat dijadikan pijakan dalam percepatan pengembalian aset negara atau pemulihan aset negara, baik yang berada di wilayah korban (Indonesia) atau juga yang dibawa ke mancanegara.
UU Perampasan Aset akan menjadi suplemen penting untuk menunjang aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi di Indonesia termasuk yang dilakukan oleh para pengemplang BLBI yang asetnya sudah banyak berpindah ke mancanegara.Namun sejauh ini RUU Perampasan Aset tak masuk kedalam Prolegnas sebagai RUU Prioritas di tahun 2021.
Fenomena ini tentunya menimbulkan tanda tanya ditengah gencarnya upaya pemerintah memburu aset dan dana BLBI melalui Satgas yang dibentuknya. Kalau memang demikian halnya, apakah Satgas yang dibentuk itu memang serius untuk menyelamatkan aset dan dana negara atau sekadar basa basi belaka ?.
Komentar