Jual Data Pribadi Warga Amerika & Buat Situs Palsu Demi Dana Covid

Kamis, 15/04/2021 20:28 WIB
Ilustrasi Situs Palsu dengan Motif Meretas Data Pribadi (kompas).

Ilustrasi Situs Palsu dengan Motif Meretas Data Pribadi (kompas).

law-justice.co - Polda Jawa Timur (Jatim) bekerja sama dengan Amerika Federal Bureau of Investigation (FBI) mengungkap aksi kejahatan pemalsuan situs resmi pemerintah Amerika Serikat. Pemalsuan situs tersebut dilakukan untuk menggelapkan dana bantuan Covid-19 bagi warga Amerika.

Tindakan itu dilakukan dua warga negara Indonesia (WNI) berinisial SF dan MZ. Keduanya bekerja atas perintah warga India berinisial S yang masih menjadi buronan. "MZ ditangkap di sekitar Stasiun Pasar Turi Surabaya awal Maret 2021 lalu," kata Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta di Mapolda Jatim, Kamis (15/4/2021).

Tersangka SF dan MZ membuat akun situs pemerintah Amerika Serikat palsu. Mereka mengirimkan link yang dikirim ke ribuan nomor ponsel warga Amerika yang dicari melalui fitur Grab Phone Number.

Link URL yang disebar mengarahkan para penerima SMS blast untuk mengeklik link tersebut dan masuk ke situs palsu yang dibuat. "Dari situ korban mengisi data pribadi untuk mendapatkan bantuan Covid-19 dari pemerintah Amerika Serikat sebesar USD 2.000," terangnya.

Adapun sms blast disebar ke 20.000.000 nomor telepon warga negara Amerika Serikat. Dari situ, tersangka mengumpulkan sekitar 30.000 data dari warga 14 Negara Bagian di Amerika Serikat. Dari S, tersangka SF dan MZ menerima imbalan berupa mata uang crypto bitcoin yang bisa dikonversikan ke mata uang Rupiah.

Sejak beraksi, SF sudah meraup Rp 420 juta dan tersangka MZ Rp 60 juta. Data pribadi tersebut digunakan oleh S untuk mencairkan dana PUA (Pandemic Unemployment Assistance) atau dana bantuan untuk pengangguran warga negara Amerika senilai USD 2.000 setiap satu data orang.

Data itu juga dijual dengan harga USD 100 untuk satu data. "Tindak pidana yang dilakukan kedua tersangka ada tiga. Pertama, pelaku membuat website palsu, kedua menyebarkan website palsu ini, dan yang ketiga mengambil data orang lain secara ilegal," ujar Nico.

Para tersangka dijerat pasal berlapis dari Pasal 35 Jo Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 12 milliar.

Selanjutnya Pasal 32 ayat (2) Jo Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan ancaman hukuman maksimal 9 tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 3 miliar. (PR)

(Farid Fathur\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar