Uni Eropa: China dan Rusia Penghambat Pemulihan Demokrasi di Myanmar

Minggu, 11/04/2021 21:45 WIB
Unjuk Rasa di Myanmar (Foto: Getty Images/The Guardian)

Unjuk Rasa di Myanmar (Foto: Getty Images/The Guardian)

law-justice.co - Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell mengatakan bahwa lembaganya berniat untuk memulihkan kondisi demokrasi di Myanmar. China dan Rusia disebut sebagai penghalang karena dua negara itu punya hubungan dekat dengan militer Myanmar.

Uni Eropa mengklaim bahwa mereka sedang berusaha untuk membujuk junta militer Myanmar agar bersedia menghentikan aksi brutal terhadap warga sipil dan memulihkan demokrasi di negara tersebut. UE menawarkan untuk meningkatkan hubungan ekonominya dengan Myanmar jika demokrasi dipulihkan. Hubungan perdagangan dan investasi akan lebih ditingkatkan.

Menurut seorang Diplomat utama Uni Eropa, rayuan tersebut urung ditanggapi pemerintah Myanmar karena pengaruh China dan Rusia masih sangat kuat. China memiliki investasi langsung ke Myanmar sebesar 19 miliar dolar pada tahun 2019, sementara UE sejauh ini hanya berinvestasi 700 juta dolar.

"Tidak mengherankan jika Rusia dan China memblokir upaya Dewan Keamanan PBB, misalnya untuk memberlakukan embargo senjata," kata Josep Borrell, dilansri dari Reuters, “persaingan geopolitik di Myanmar akan membuat sangat sulit untuk menemukan titik temu.”

Sejak kudeta militer dan penangkapan Aung San Suu Kyi dalam kudeta 1 Februari, lebih dari 700 orang tewas termasuk 46 anak-anak. Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) Myanmar mengatakan, militer melakukan serangkain pembunuhan massal terhadap warga sipil yang melakukan protes. Pada Jumat (10/4), 82 orang tewas di kota Bago.

"Dunia menyaksikan dengan ngeri, karena tentara menggunakan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri," kata Borrell.

China dan Rusia sama-sama memiliki hubungan dengan angkatan bersenjata Myanmar, sebagai pemasok senjata terbesar pertama dan kedua ke negara itu.

UE sedang menyiapkan sanksi baru bagi individu dan perusahaan milik militer Myanmar. Bulan lalu, UE menyetujui serangkaian sanksi pertama terhadap 11 orang yang terkait dengan kudeta, termasuk panglima militer.

(Januardi Husin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar