Organisasi HAM Kutuk Militer Myanmar Takuti Warga dengan Vonis Mati

Minggu, 11/04/2021 13:38 WIB
Unjuk Rasa di Myanmar (Foto: Getty Images/The Guardian)

Unjuk Rasa di Myanmar (Foto: Getty Images/The Guardian)

law-justice.co - Organisasi Hak Asasi Manusia, Human Rights Watch, mengutuk tindakan junta Militer Myanmar yang melakukan vonis mati terhadap 19 orang. Deputi Direktur Divisi Asia Human Rights Watch, Phil Robertson, mengatakan hal itu menunjukkan Myanmar ingin mengembalikan masa-masa di mana hukuman mati adalah hal yang biasa untuk dijatuhkan ke terdakwa.

Apalagi, sambung Robertson, menjadi semakin berbahaya kala hukuman mati tersebut dijatuhkan di pengadilan militer. Akibatnya, upaya banding atas peradilan menjadi tidak mungkin karena sifatnya yang tertutup.

"Tidak ada jaminan bakal ada pengadilan yang bebas dan adil dalam bentuk apapun, cara apapun," kata Robertson, seperti dikutip Channel News Asia, Sabtu (10/4/2021).

Diketahui, 19 warga Myanmar divonis mati karena dituduh mencuri dan membunuh personel militer. Media resmi otoritas Myanmar merilis, peristiwa tersebut terjadi di kota Okkalapa, Yangon, di mana hukum militer diberlakukan. Akibatnya, mereka disidangkan di Pengadilan Militer Myanmar.

Dari 19 orang yang divonis, sebanyak 17 di antaranya diadili secara in absentia. Maksudnya, persidangan yang dilakukan berjalan tanpa kehadiran terdakwa. Langkah ini menimbulkan kecurigaan bahwa vonis sudah ditetapkan sejak awal tanpa adanya kesempatan bagi terdakwa untuk membela diri.

Hukuman mati itu sendiri menjadi yang pertama dalam 30 tahun terakhir. Meskipun hukuman mati selalu ada dalam kitab undang-undang hukum pidana, Myanmar jarang memberlakukannya seiring dengan perkembangan zaman. Namun, ketika kudeta meledak dan warga melawan per 1 Februari lalu, mendadak aturan itu dipakai lagi.

Robertson menduga pemberlakuan lagi hukuman mati adalah strategi militer Myanmar untuk menakut-nakuti warga. Militer Myanmar, tutur Robertson, membutuhkan warga untuk berhenti melawan dan kembali bekerja agar perekonomian yang terpukul akibat pandemi, sanksi, serta kudeta bisa kembali pulih. Tapi, seperti diketahui, mayoritas warga memilih untuk mogok kerja demi menekan Militer Myanmar.

"Inti misi mereka adalah menggunakan kekuatan dan kekerasan untuk mengusir semuanya dari jalanan serta mengakhiri gerakan pemberontakan sipil," ujarnya.

Hingga berita ini diterbitkan, jumlah korban meninggal selama kudeta Myanmar sudah melebihi 500 orang. Puluhan di antaranya adalah anak-anak. Mayoritas tewas ditembak oleh Militer Myanmar di tengah unjuk rasa.

Berbagai negara sudah menjatuhkan sanksi ke Myanmar untuk menekan negeri seribu pagoda itu, tapi hasilnya masih sia-sia. Militer Myanmar makin beringas, bahkan terang-terangan menyebut kematian warga adalah salah mereka sendiri. Walau begitu, PBB dikabarkan tetap mengirim utusan khususnya, Christine Schraner Burgener, untuk menegosiasikan jalan keluar atas kudeta Myanmar.

(Muhammad Rio Alfin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar