Politik Rasisme Pada Orang Papua Terjadi Sistemik,Pemerintah Diam Saja

Minggu, 11/04/2021 10:23 WIB
Ilustrasi Rasisme (ist)

Ilustrasi Rasisme (ist)

law-justice.co - Dewan Gereja di Tanah Papua menilai Pemerintah Indonesia belum belajar soal perlawanan aksi protes terbuka orang Papua atas ujaran rasisme pada mahasiswa Papua di Surabaya yang terjadi pada 16 Agustus 2019. Hal itu disampaikan Dewan Gereja Papua saat menggelar keterangan pers di Kota Jayapura, Jumat (9/4/2021).

Ketua Sinode Gereja Kingmi Papua, Pdt Benny Giay menyatakan rasisme terhadap orang asli Papua telah terjadi secara sistemik selama puluhan tahun, sehingga kasus rasisme terhadap orang Papua selalu berulang. Giay mencontohkan kasus ujaran rasisme yang ditujukan kepada mantan komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigay beberapa waktu lalu.

“Pelakunya adalah pendukung Presiden Joko Widodo, Ambronsius Nababan. Ia sudah dilaporkan ke polisi dan sedang dalam tahanan. Ungkapan rasisme terhadap Natalius Pigay juga disampaikan oleh Abu Janda, buzzer Jokowi,” kata Giay.

Giay menilai rasisme terhadap orang asli Papua memang terjadi secara sistemik, sehingga justru dilakukan oleh tokoh, pejabat, ataupun mantan pejabat Indonesia. Sebagai rasisme sistemik, bentuk rasisme terhadap orang asli Papua pun bermacam-macam, dari mulai tindakan atau ujaran kasar yang menghina, ataupun bias rasis dalam berfikir dan berbicara tentang masalah Papua.

Giay mencontohkan pandangan yang disampaikan mantan Kepala BIN, Hendropriyono yang ingin menyelesaikan masalah di Papua dengan memindahkan secara paksa 2 juta orang Papua ke Menado, agar mereka bisa menjadi orang Indonesia. Pernyataan tokoh seperti itu dapat membuat warga biasa juga memiliki pandangan yang rasis, atau terjebak dalam bias rasisme.

Hal itu terlihat dalam kasus viralnya ungkapan rasisme dari suporter pemain Persija Jakarta di Stadiun Kanjuruan Malang, Jawa Timur, kepada Patrick Wanggai. Wanggai adalah Pemain asal Papua yang bermain di PSM Makasar dan mencetak gol ke gawang Persija Jakarta.

Sebelumnya, ujaran rasisme telah sering dialami pemain Persipura, dan telah dilaporkan manajamen Persipura kepada Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Namun pengaduan itu tidak pernah ditindaklanjutinya.
 
Dewan Gereja Papua juga menyatakan telah menyaksikan ribuan ujaran rasisme terhadap orang Papua yang disampaikan aparat maupun warga biasa melalui media sosial. Ujaran itu umumnya berupa makian dan stigma bahwa orang Papua adalah separatis, monyet, gorila, makar, kriminal, tidak dapat dipercaya, malas, mabuk, bodoh, dan ungkapan lain yang merendahkan martabat orang Papua.

Giay menyatakan rasisme yang terjadi secara sistemik dan dalam waktu lama membuat para pengambil kebijakan di Indonesia merasa mempunyai wewenang untuk membuat kebijakan apapun yang disukainya. Watak rasisme itu terlihat dari para penguasa di Indonesia yang merasa bisa dan boleh mengabaikan keberatan orang Papua, yang seolah dianggap sebagai warga negara kelas 2.

“Pengiriman pasukan TNI/Polri ke Papua tanpa persetujuan DPR RI. POemaksaan pemekaran kabupaten dan provinsi di Tanah Papua, upaya memaksakan memperpanjang Dana Otonomi Khusus Papua oleh Pemerintah Indonesia, [itu] merupakan bukti watak rasisme penguasa Indonesia pada orang Papua. Intinya pemerintah pusat diam saja, pura-pura tidak tahu.

Penguasa dan rakyat Indonesia masih memandang orang Papua [sebagai warga negara] kelas 2 di Indonesia, dan [bisa] disamakan dengan hewan tertentu. Orang Papua di semua level dan tingkatan telah mengalami politik rasial Indonesia selama 58 tahun,” ujar Giay.

Dalam keterangan pers yang sama, President Gereja Injili di Indonesia (GID), Pdt Dorman Wandikbo mengatakan  Dewan Gereja di Tanah Papua menilai penerapan Otonomi Khusus (Otsus) Papua tidak memperbaiki berbagai masalah Papua. Penerapan Otsus Papua justru memberi ruang besar bagi pemerintah sipil dan aparat keamanan untuk mengepung Papua dari semua arah, darat, laut, dan udara.

Wandikbo menyebut TNI terus memekarkan komando teritorial di Papua dan bentuk batalion baru. Selain itu, TNI juga mengaktifkan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) III di Papua.

“Instansi itu sekarang ini menentukan segala pengoperasian militer di Papua, dan mendatangkan ribuan pasukan. Panglima Kogabwilhan III berpangkat jenderal bintang tiga, lebih tinggi dari kedua Panglima Komando Daerah Militer di [Tanah] Papua yang berpangkat Mayor Jenderal. Dengan demikian, pengendalian dan pengamanan pasukan di Papua dikendalikan oleh Panglima Kogabwilhan III,” tegasnya.

Menurut Wandikbo, selama 20 tahun pelaksanaan Otsus Papua, Polri juga terus menambah satuan teritorial dan jumlah personilnya di Papua. Penambahan itu antara lain dilakuan dengan menambah jumlah Kepolisian Daerah (Polda), Kepolisian Resor Kota (Polresta), Kepolisian Resor  (Polres), Kepolisian Sektor (Polsek), hingga Pos Polisi di Tanah Papua. (Jubi)

(Farid Fathur\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar