Dr. Abraham Samad, S.H., M.H. Mantan Ketua KPK

Pernah Incar Cawapres Jokowi Hingga Kritik Keras SP3 BLBI

Sabtu, 10/04/2021 17:20 WIB
Mantan Ketua KPK Abraham Samad (Foto: Istimewa)

Mantan Ketua KPK Abraham Samad (Foto: Istimewa)

law-justice.co - Nama Abraham Samad sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Abraham pernah menjabat sebagai Ketua KPK Periode 2011 hingga 2015. Abraham mempunyai latar belakang sebagai advokat sejak tahun 1996, tidak hanya itu sejak muda ia juga dikenal sebagai aktivis anti korupsi. Salah satunya mendirikan sebuah lembaga swadaya masyarakat anti korupsi yang diberi nama Anti Coruption Committee (ACC).

Abraham mengatakan kalau ACC ini memiliki tujuan untuk menciptakan sistem pemerintahan yang baik dan memerangi praktik korupsi. Pandangan Abraham mengenai upaya pemberantasan korupsi yang terpenting adalah tidak boleh tunduk pada pihak pihak yang melakukan intervensi.

"Saya rasa modal utama dalam memberantas korupsi itu ada tiga, mempunyai nyali besar, keberanian, dan kejujuran," kata Abraham kepada Law Justice. Pria kelahiran Makasar 27 November 1966 ini menyatakan dalam pemberantasn korupsi tidak ada kata menyerah dan berhenti melakukan perjuangan dalam memberantas korupsi.

"Saya akan terus berjuang hingga titik darah penghabisan dan jangan takut kalau kita ingin memberantas korupsi, segala ketakutan harus dihilangkan. Ketakutan itu jadi momok kita sendiri. Oleh karena itu, jangan pernah takut," ujarnya.

Abraham menceritakan bila sejak kecil ia sudah ditinggal ayahnya Andi Samad. Sebagai anak yatim, ia dididik oleh ibunya untuk hidup mandiri, tidak minder, dan kuat.

Saat sekolah, Abraham Samad adalah sosok pemberani, kritis, dan peduli sesama teman sekolahnya. Bahkan saat dibangku SMA, ia sering dijadikan tempat curhat dan tempat perlindungan dari anak-anak nakal.

Lulus SMA pada usia 17 tahun, Abraham langsung melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Makassar. Ia menggondol gelar sarjana hukum pada usia 26 tahun. Keseriusannya dalam persoalan hukum dia teruskan dalam menekuni pendidikan magister dan doktor hukum dari universitas yang sama.

Abraham juga menyatakan banyak sekali persoalan hukum yang belum berjalan semestinya dan banyak terjadi ketidak adilan terhadap kaum lemah. "Sistem kita masih memproduksi kejahatan korupsi," imbuhnya.

Ketua KPK Periode 2011-2015

Sebelum menjadi Ketua KPK Periode 2011-2015, sebelumnya Abraham pernah juga mendaftar sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Komisi Yudisial. Namun, semua gagal hingga ia memutuskan mengikuti seleksi calon pimpinan KPK.

Abraham mengatakan pada saat Seleksi capim KPK 2011 sebenarnya bukanlah hal baru bagi Abraham karena ia sebelumnya sudah pernah mendaftar sebanyak dua kali. Pada ketiga kalinya inilah Abraham bisa melewati seleksi hingga tingkat akhir (uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR).

Abraham bersama 8 calon (sebelumnya 10 calon) diajukan oleh Pansel KPK yang diketuai oleh Menkumham Patrialis Akbar di mana Abraham menempati peringkat kelima dari seluruh calon yang diajukan.

Pada tanggal 3 Desember 2011, melalui voting pemilihan Ketua KPK oleh 56 orang dari unsur pimpinan dan anggota Komisi III asal sembilan fraksi DPR, Abraham memperoleh suara terbanyak.

Saat itu, Abraham memperoleh 43 suara, Busyro Muqoddas 5 suara, Bambang Widjojanto 4 suara, Zulkarnain 4 suara, sedangkan Adnan 1 suara. Ia dan jajaran pimpinan KPK yang baru saja terpilih, resmi dilantik di Istana Negara oleh Presiden SBY pada tanggal 16 Desember 2011.

Abraham juga mendapatkan banyak dukungan saat dia maju sebagai Capim KPK. Bagi dia, menjadi Ketua KPK merupakan suatu tantangan yang tidak biasa karena dirinya menjadi garda terdepan dalam memerangi praktik korupsi.

"Macam-macam tekanannya, kerja sebagai Ketua KPK ini banyak sekali menggangu para koruptor sehingga pasti banyak sekali tekanan," katanya. Abraham mengakui saat menjadi Ketua KPK seringkali mendapatkan ancaman. Bukan hanya pada dirinya saja tetapi pada keluarganya dan orang terdekatnya.

Meski begitu, ia menuturkan kalau tugasnya ini merupakan amanah bagi bangsa untuk memerangi praktik korupsi di Indonesia yang masih merajalela. Baginya, bekerja di KPK merupakan salah satu bagian dari ibadah untuk itu totalitas dan integritas sudha menjadi harga mati untuk bekerja di KPK.

"Bekerja di KPK ini jadi tugas yang mahasuci, saya wakafkan diri saya untuk menjadi Ketua KPK saat itu, tentu banyak sekali tantangan yang harus dihadapi," ungkapnya.

Selama menjadi Ketua KPK, Abraham juga telah berhasil menangkap banyak pejabat yang melakukan Korupsi. Tidak tanggung tanggung nama nama besar seperti Anas Urbaningrum, Nazarudin, Andi Malaranggeng, Angelina Sondakh, Suryadharma Ali, Luthfi Hasan Isak hingga Jero Wacik berhasil diamankan oleh KPK.

Ia juga dikenal sebagai sosok yang pemberani karena pernah menolak Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri Tunggal pada Tahun 2015. Hal tersebut karena Budi Gunawan memiliki rekening gendut.

Keberanian tersebut berujung pada ditetapkanya dirinya sebagai tersangka kasus pemalsuan dokumen. Kasus pemalsuan dokumen berupa KTP, paspor, dan kartu keluarga tersebut mulai mencuat pada 29 Januari 2015 setelah Feriyani Lim dilapor oleh lelaki bernama Chairil Chaidar Said ke Bareskrim Mabes Polri.

Meski begitu, publik menganggap kasus ini hanya pembalasan dendam dari Polri akibat menghambat Budi Gunawan menjadi Kapolri.

Pascaditetapkan sebagai tersangka, Abraham Samad diberhentikan sementara oleh Presiden Jokowi dari posisi Ketua KPK. Selain dirinya, turut diberhentikan pula Bambang Widjojanto.

Posisi dirinya digantikan sementara oleh Taufiequrachman Ruki, mantan Ketua KPK pertama. Selain Taufieq, Indriyanto Seno Adji dan Johan Budi turut ditunjuk Presiden Jokowi menjadi pimpinan sementara KPK.

Incar Cawapres Jokowi

Pada tahun 2018 lalu, Aktivis HMI tersebut juga pernah mengincar menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres) Jokowi untuk maju di kontestasi Pilpres 2019.

Hal tersebut, diakui oleh Abraham kalau saat itu ia pernah mengincar posisi untuk menjadi Cawapres Jokowi untuk maju di Pilpres 2019. Iapun saat itu pernah menemui Ketua Partai Nasdem Surya Paloh untuk mendapatkan posisi tersebut.

"Ya saat itu kita berbicara ke arah sana (menjadi bakal cawapres Jokowi seperti Pilpres 2014 lalu), tapi saat itu memang belum terlalu mengerucut," papar Abraham.

Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tersebut menolak disebut meminta bantuan Paloh agar bisa menjadi pendamping Jokowi pada Pilpres tahun depan.

Meskipun, saat itu ia tak mempermasalahkan bila kedatangannya ke Paloh dipersepsikan sebagai upaya dirinya meminta untuk dikomunikasikan ke Jokowi.

"Enggak apa-apa kalau kesan itu, wajar saja. Kalau anda menganggap itu ya enggak ada masalah," tukasnya.

Saat bertemu dengan Surya Paloh, Abraham menawarkan gagasan besar untuk bisa ikut dalam kontestasi Pilpres 2019 lalu. Saat itu, ia mengakui kalau hal tersebut berat karena ia bukan orang partai dan tidak memiliki uang.

Pada saat itu, Samad mengakui kalau Surya paloh menanyakan dirinya apakah dirinya ingin maju sebagai Capres atau Cawapres untuk kontestasi tersebut.

"Saat itu, Pak Surya bilang, `Waduh gimana adinda ini mau jadi capres atau cawapres, harus jelas nih?` Jawaban saya, terserah NasDem, memposisikan saya cocok jadi capres atau cawapres," tuturnya.

Kritik Keras SP3 BLBI

Belum lama ini Abraham juga melontarkan kritik keras kepada KPK karena memberikan SP3 pada kasus korupsi BLBI. Ia akui curiga ada sesuatu di balik terbitnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus dugaan korupsi surat keterangan lunas bantuan likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI).

Dia menilai terbitnya SP3 kasus BLBI terburu-buru, pada awalnya bicara soal UU KPK hasil revisi. Dia menyebut salah satu efek buruk dari UU tersebut adalah kewenangan KPK untuk memberi SP3 kasus korupsi.

"Dulu kita tolak karena kita melihat banyak pasal-pasal di dalam yang bukan justru menguatkan, bahkan melumpuhkan, salah satunya ini, pemberian SP3," urainya.

Seperti diketahui kalau SP3 kasus BLBI dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih itu sendiri terbit pada Kamis (01/04/2021) dan Kasus ini disetop meski kedua tersangka diduga merugikan negara Rp 4,58 triliun.

Samad mengatakan kalaupun SP3 ingin diterbitkan sesuai kewenangan pada UU 19/2019. Maka KPK harus membuat kajian mendalam soal alasan hukum terbitnya SP3.

Dia menyebut SP3 kasus BLBI tak didasari kajian hukum mendalam dan alasan vonis lepas dari Mahkamah Agung terhadap Eks Ketua BPPN, Syafruddin Arsyad Tumenggung, di kasus BLBI tak cukup menjadi dasar terbitnya SP3 untuk Sjamsul Nursalim dan Itjih.

"Itu tidak terlalu tepat jadi alasan SP3 BLBI. Harus ada analisis mendalam, analisis hukum kalau cuma itu, tidak terlalu tepat," ujarnya.

Abraham mencurigai kalau KPK diburu waktu untuk menerbitkan SP3 kasus BLBI dan hal tersebut tentu menimbulkan kecurigaan publik terhadap KPK.

"Ini kesannya terburu-buru, seperti diburu waktu. Padahal seharusnya kita butuh waktu kaji lebih dalam. Kajiannya harus kajian hukum. Kayak teburu-buru sehingga timbulkan tanda tanya ada apa?" pungkasnya.

(Givary Apriman Z\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar