H. Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Arti Dibalik Pencabutan Larangan Media Siarkan Kekerasan Aparat Negara

Jum'at, 09/04/2021 10:19 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

law-justice.co - Sebagaimana banyak diberitakan oleh media, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat telegram yang mengatur soal pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan yang dilakukan polisi/dan atau kejahatan dalam program siaran media.

Telegram dengan nomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 itu diteken Listyo Sigit pada 5 April 2021 itu berisi 11 poin salah satunya media dilarang menyiarkan tindakan kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan dalam liputannya.

Polri mengklaim penerbitan Surat Telegram Kapolri yang mengatur tentang pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan/dan atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik sudah melalui kajian akademis sehingga bisa dipertanggungjawabkan sisi ilmiahnya.

Keluarnya telegram Kapolri tersebut akhirnya memunculkan berbagai tanggapan baik dari masayarakat, ormas maupun awak media. Seperti apa kritik kritik yang disampaikan terkait dengan telegram tersebut ? Apa yang mendasari pertimbangan sehingga media dilarang menyiarkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara ?, Apa kira kira makna dibalik larangan pemberitaan kekerasan aparat oleh media ?

Panen Kritikan

Keluarnya telegram Kapolri terkait dengan  soal pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan yang dilakukan polisi/dan atau kejahatan dalam program siaran media telah memunculkan banyak kritik dari berbagai elemen masyarakat termasuk para aktifis, netizen dan awak media.

Kritik antara lain disampaikan oleh YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). YLBHI menyoroti beberapa bagian yang bermasalah dalam surat tersebut. Salah satunya terdapat perintah adanya larangan media untuk menyiarkan kekerasan yang dilakukan aparat negara.

"Bagian satu ini menghalangi publik untuk mengetahui fakta sesungguhnya dan menunjukkan Reformasi Polri yang diangkat oleh Kapolri saat fit & proper test di DPR tidak sungguh-sungguh hendak dijalankannya. Hal ini juga berpotensi menghalangi kerja-kerja jurnalistik yang dilindungi oleh UU Pers dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945.”kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhamad Isnur dalam keterangan tertulisnya sebagaimana dikutip media, Selasa 6 April 2021.

Sementara itu Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS menganggap keseluruhan isi telegram itu keliru kalau hanya demi memperbaiki citra serta meningkatkan kepuasan publik saja.

Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar mengatakan, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Polri cenderung menurun."Tingkat kepuasan publik atas Polri menurun, namun cara mengembalikannya bukan dengan menutup akses dari media," kata Rivanlee kepada wartawan, Selasa (6/4/2021).

Menurutnya, justru strategi menutup akses bagi media untuk memberitakan arogansi polisi malah memperburuk citra. "Terutama hal itu mengganggu tugas-tugas awak media."Rivanlee menuturkan, Polri seharusnya melakukan pembenahan institusi secara struktural, bahkan hingga ke tingkat lapangan.

"Kalau melarang-larang media memberitakan arogansi polisi, justru membuat publik semakin tak puas. Itu mengingat polisi semakin sentralistik dalam kerja-kerjanya," tuturnya.

Dari lingkungan awak media sendiri muncul kritik yang disampaikan oleh Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Agung Dharmajaya mengatakan bahwa Surat Telegram Kapolri itu bersifat dokumen penting yang mesti dibuat secara bijak terutama berkaitan dengan media. Apalagi instruksi terkait dengan pers yang diatur dalam undang-undang.

"Ini kan dokumen penting tidak dalam posisi dipublish kemudian karena ada bertentangan dengan aturan yang kebetulan menyangkut pers, ditarik, dimunculkan lagi, ditarik lagi misalnya ini kan menjadi persoalan serius," kata Agung saat dihubungi Suara.com, Selasa (6/4/2021).

Dijagad sosial media, kritik terhadap telegram Kapolri juga tak kalah nyaringnya. Para netizen umumnya merasa khawatir telegram ini akan membuat polisi menjadi antikritik.Salah satu lini yang cukup ramai menyuarakan hal ini adalah media sosial Twitter. Satu-persatu warganet semakin masif menyuarakan opini mereka."Berarti mengakui tindakan aparat main pukul dan tendang jurnalis dong klo ngeluarin surat kayak gini?" tulis @/eldi****derkid.

 Dalam upaya penangkapan pelaku kejahatan agar tidak membawa media, tidak boleh disiarkan secara live, dokumentasi dilakukan oleh personel Polri yang berkompeten." Dokumentasi oleh Polri sendiri? Ini agak nganu, lho. Apalagi rawan penyalahgunaan wewenang pas penangkapan," tulis warganet lainnya.

Setelah panen kritikan akhirnya dalam waktu kira kira enam jam, telegram itu ditarik kembali oleh pihak Polri sendiri sebagai pembuatnya.Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Rusdi Hartono sebagaimana dikutip media mengatakansetelah telegram itu muncul, banyak masyarakat multitafsir. "Dengan adanya tafsir-tafsir  itu, Polri sangat menghargai dan sangat memahami," katanya.

Rusdi pun menegaskan, pada intinya telegram itu dikeluarkan untuk internal dan tidak menyinggung eksternal, yakni jurnalis."Polri sangat menghargai tugas-tugas yang dilakukan oleh rekan-rekan di bidang jurnalistik. Akan tetapi dalam prosesnya ternyata menimbulkan penafsiran yang berbeda," tambahnya.

Mengapa Dilarang?

Meskipun akhirnya telegram kontroversial tersebut telah dicabut namun kebijakan ini masih memunculkan tanda tanya mengapa sampai muncul telegram yang melarang pers menyiarkan kekerasanyang dilakukan oleh aparat negara.

Bisa jadi larangan itu dibuat karena citra Polri akhir akhir ini memang babak belur sebagai akibat ulah jajarannya yang sering melakukan kekerasan dalam menjalankan tugasnya. Citra kekerasan Polri ini hampir setiap hari menghiasi media massa sehingga membuat masyarakat menjadi anti pati kepada aparat yang semestinya menjaga dan melindunginya.

Menurut catatran Kontras, Polri diduga terlibat dalam 921 kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sepanjang Juli 2019 sampai Juni 2020. Dari peristiwa itu, 1.627 orang luka-luka dan 304 orang  meninggal dunia

"Selama satu tahun periode Juli 2019 sampai Juni 2020, tercatat ada 921 peristiwa kekerasan oleh pihak kepolisian," kata peneliti KontraS, Rivanlee Anandar dalam konferensi pers yang digelar secara daring, Selasa (30/6).

Jumlah tersebut menurutnya berasal dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh pihaknya melalui media massa, pendampingan kasus, serta informasi jaringan-jaringan Kontras yang telah terverifikasi sebagai bentuk pelanggaran HAM oleh aparat negara.

Dalam laporan itu, Rivan menyoroti dugaan pembungkaman kebebasan sipil sepanjang Juli 2019-Juni 2020. Terdapat 281 peristiwa dengan 669 korban luka-luka, 3 orang tewas, serta ribuan orang ditangkap saat hendak menyuarakan pendapatnya ke publik lewat sosial media.

Dugaan pembungkaman kebebasan sipil ini antara lain berupa pelarangan aksi sebanyak 24 peristiwa, pembubaran paksa dan bentrokan sebanyak 125 peristiwa, penembakan gas air mata 11 peristiwa, dan penangkapan sewenang-wenang 121 peristiwa.

"Itu tinggi sekali pada 2019 sebelum memasuki masa pandemi Covid-19. Kami bisa ingat, bulan September 2019 ada aksi Reformasi Dikorupsi, juga di Agustus ada aksi menentang rasisme oleh orang asli Papua," ujarnya.

Kekeresan yang dilakukan oleh pihak kepolisian bukan hanya ditujukan kepada masyarat sipil saja tetapi juga terhadap awak media. Berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers,tahun 2020 yang lalu menjadi tahun yang kelam bagi demokrasi di Indonesia. Banyak pekerja pers, yang disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi, mengalami tindak kekerasan dalam menjalankan tugasnya.

Jumlah korban mencapai 99, 12 jurnalis pers mahasiswa, dan 6 instansi media. Bentuk kekerasan yang paling sering dialami oleh jurnalis adalah intimidasi/kekerasan verbal sebanyak 51 kasus; penganiayaan 24 kasus; perampasan/perusakan alat kerja 23 kasus, hingga serangan digital 12 kasus.

Sementara itu berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independent (AJI) per Januari 2019-Desember 2019, ada 50 kasus kekerasan terhadap jurnalis; 29 kasus di antaranya dilakukan oleh polisi dan 25 kasus terjadi saat peliputan aksi demonstrasi di Indonesia.

Aktor utama pelaku kekerasan adalah pihak kepolisian sebagai aparatr negara. Data yang dihimpun dari monitoring pemberitaan media, aduan langsung, hingga konfirmasi kepada korban menemukan angka kekerasan mencapai 117, naik 32 persen dibandingkan tahun 2019 dengan 79 kasus. Dari jumlah tersebut, Polri menjadi aktor kekerasan terbanyak, jumlahnya 76. “Institusi yang mestinya hadir untuk menjamin pemenuhan hak asasi manusia dan penegakan hukum ini justru tampil sebagai aktor utama kekerasan,” kata Direktur LBH Pers Ade Wahyudin, Selasa (12/1/2020).

Atas terjadinya beberapa kekeraswan itu, AJI  Jakarta mengutuk keras segala bentuk kekerasan terhadap wartawan, baik yang dilakukan aparat keamanan Indonesia maupun massa. Kekerasan itu merupakan tindakan pidana sebagaimana diatur UU 40/1999 tentang Pers.

Dalam peraturan itu, menghalang-halangi kerja jurnalis bisa diancam penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.  Dalam kaitan ini Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung pernah mendesak polisi menangkap pelaku kekerasan terhadap jurnalis, sekalipun itu anggota mereka sendiri. "Semua pelaku kekerasan terhadap jurnalis harus diproses hukum untuk diadili hingga ke pengadilan," kata Erick.

Selama ini menurutnya  belum ada tindakan tegas dari pihak kepolisian. Pelaku kekerasan terhadap jurnalis selalu lepas dari jerat hukum. Lembaga Bantuan Hukum Pers juga menuntut Dewan Pers melaksanakan tanggung jawabnya dalam Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan, yang disepakati 6 Desember 2012.

Berkaitan dengan adanya rangkaian aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara tersebut maka wajar kalau kemudian muncul telegram Kapolri yang melarang awak media menyiarkan aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara.  Sebab dengan terus dibeitakannya aksi aksi kerasan yang dilakukan oleh aparat negara bisa semakin memperburuk citranya.

Tujuan ini nampaknya secara jujur diakui oleh pihak Polri sendiri dalam pernyataannya.Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono menjelaskan dikeluarkannya Surat Telegram (ST) Kapolri bernomor ST/750/IV/HUM.3.4.5./2021 tanggal 5 April 2021 terkait larangan menyiarkan tindakan arogansi aparat kepolisian dimana salah satu tujuannya  untuk merubah citra Kepolisian yang profesional dan humanis.

Yang menjadi pertanyaan dalam hal adalah apakah upaya untuk mewujudkan citra polisi yang profesional dan humanis itu harus diupayakan dengan melarang insane pers menyiarkan pemberitaan yang berkaitan dengan kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara ?

Makna Dibalik Larangan

Larangan bagi pers untuk menyiarkan kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara termasuk pihak kepolosian sesungguhnya bertentangan dengan  Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers s yang menyatakan  "Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran."

Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan, "Penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran tidak berlaku pada media cetak dan media elektronik. Siaran yang bukan merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik diatur dalam ketentuan undang-undang yang berlaku."

Oleh karena itu sudah wajar dan sepantasnya kalau telegram Polri terkait dengan larangan penyiaran tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparatnya itu kemudian dicabut berlakunya. Kapolri tersebut sudah meminta maaf mengenai hal tersebut dan tentunya kita semua patut memberikan apresiasinya karena merupakan wujud sensitifitas dari seorang pejabat negara ketika kebijakannya ternyata mendapatkan reaksi penolakan publik yang bakal terkena imbasnya.

Dibalik keluarnya telegram yang berisi larangan yang kemudian dicabut kembali tersebut kiranya ada beberapa catatan yang perlu mendapatkan perhatian ke depannya. Catatan tersebut berkaitan dengan beberapa pertanyaan antara lain :

  1. Isi telegram yang memuat himbauan agar media mempublikasi konten dengan muatan positif guna memberikan kesan baik bagi kepolisian Republik Indonesia dalam konteks  jurnalistik bersinggungan dengan prinsip jurnalis dimana mengumpulkan, menulis, dan menyiarkan informasi secara akurat dan faktual.  Seingga himbauan seperti itu tidak sesuai dengan perintah UU pers bagi awak media dalam menjalankan tugasnya.Lagi pula kalau salah satu tujuannya untuk memberikan kesan baik bagi aparat negara, kiranya kurang tepat kalau kemudian yang muncul adalah kebijakan berupa larangan atau himbauan pada awak media.Karena fenomena ini bisa membahayakan kebebasan pers dan seolah memaksa publik untuk "percaya pada narasi tunggal yang dikeluarkan oleh aparat negara
  2. Untuk memperbaiki citra Polri yang babak belur sebagai akibat tindakan aparatnya maka tidak ada cara lain bagi Polri untuk menghindari dan menjauhkan diri dari praktek praktek kekerasan yang selama ini sudah sering berulang kejadiannya. Masyarakat tentu mendambakan sosok Polri yang berkomitemen menjaga,mengayomi  dan melindungi  dan bukan sebaliknya. Sosok polisi yang tegas dan berwibawa adalah dambaan masyarakat bukan sosok polisi yang ditakuti karena kekerasan kekerasan yang dilakukannya.
  3. Penindakan tegas terhadap oknum-oknum kepolisian yang indispliner (misalnya sering melakukan tindak kekerasan dalam menjalankan tugasnya)  secara transparan dan akuntabel  akan jauh lebih urgen ketimbang melarang pers menyiarkan tindakannya. Hal  ini yang akan menumbuhkan kepercayaan publik terhadap aparat negara.  Selama ini sering muncul kesan penyelesaian pelanggaran hukum yang dilakukan oleh internal kepolisian tidak jelas penyelesaiannya. Terkesan ditutup ditutupi sehingga memunculkan kecurigaan masyarakat pada umumnya
  4. Pada waktu fit and proper test di Komisi III, Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo sudah berkomitmen untuk mewujudkan Polri Presisi  yang merupakan konsep pemolisian yang prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan.  Kiranya sudah saatnya bagi Kapolri untuk mewujudkan komitmen tersebut melalui penegakan hukum yang berkeadilan bagi semua pihak termasuk pelanggaran hukum yang dilakukan oleh jajarannya sendiri yang diduga melanggar ketentuan yang ada.

Diluar empat catatan tersebut, publik sepertinya membaca keluarnya  telegram Kapolri tentang pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan yang dilakukan polisi/dan atau kejahatan dalam program siaran media sebagai sebuah kebijakan yang bersifat coba coba.  Dalam istilah yang sering kita dengar adalah “test the water”  yaitu ujicoba sebelum memulai misi yang sesungguhnya.

Jika kebijakan yang bersifat kontroversial itu ternyata tidak mendapatkan reaksi yang keras dari publik maka bisa saja kebijakan itu berjalan sesuai dengan misi yang ingin dicapainya. Namun kalau kebijakan itu ternyata mendapatkan reaksi keras maka bisa dicabutnya. Apakah kebijakan Kapolri tentang pelaksanaan peliputan bermuatan kekerasan yang dilakukan polisi/dan atau kejahatan dalam program siaran media ini memang  ada nuansa “test the water” nya ?

 

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar