H. Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Derita Petani di Tengah Pandemi, Bahaya Laten Mengintai?

Kamis, 08/04/2021 09:25 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa (Ist)

law-justice.co - Dalam kesempatan melaksanakan kewajiban reses kunjungan ke daerah pemilihan di Kabupaten Serang beberapa waktu yang lalu, banyak kami temukan keluhan dari para petani terkait dengan persoalan hidup yang dilakoninya.

Permasalahan utama adalah kelangkaan dan mahalnya harga pupuk ketika musim tanam tiba. Selanjutnya ketika sudah sampai ketahap panen raya, para petani mengeluhkan anjloknya harga gabah yang diproduksinya

Fenomena tersebut rupanya bukan hanya terjadi di daerah Kabupaten Serang saja tetapi hampir merata di seluruh Indonesia. Alhasil para petani semakin terpuruk saja nasibnya karena jerih payah mereka seolah-olah tidak dihargai sebagaimana mestinya. Di balik itu sebenarnya ada bahaya lebih besar yang sedang mengintai mereka tanpa mereka menyadarinya.

Mengapa pupuk  langka dan mahal harganya ketika musim tanam tiba? Mengapa pula harga gabah petani anjlok ketika terjadi panen raya? Bahaya tersembunyi apa yang sebenarnya sedang mengintai mereka  ketika pupuk mahal dan gabah anjlok harganya ? 

Mengapa Pupuk Mahal dan Langka ?

Sekurang kurangnya ada tiga lokasi di Kabupaten Serang yang warganya mengeluhkan soal pupuk langka dan gabah anjlok harganya. Tiga lokasi itu adalah Desa Desa Pamanuk Kecamatan Cerenang, Desa Sukamanah Kecamatan Baros dan  Desa Tenjo Ayu Kecamatan Tanara.

Permasalahan yang mereka hadapi ini ternyata juga dirasakan oleh para petani di tempat lain di hampir seluruh Indonesia.Sebagai contoh petani di daerah Sumbawa juga mengeluhkan  kelangkaan pupuk hingga persoalan harga. Misalnya, di Kecamatan Orong Telu Sumbawa. Para petani mulai khawatir jagung mereka gagal panen karena belum dipupuk seperti biasa. Sesuai perhitungan mereka, sudah saatnya jagung dipupuk karena memang sudah waktunya.

“Kata penjualnya, pupuk sebenarnya sudah ada beberapa waktu lalu, cuma belum cukup jumlahnya. Kami sudah memberikan  uang duluan kepadanya. Itupun cukup lama kita menunggu dan sampai sekarang kita belum dapat juga barangnya,’’ kata keluh Suhartono, petani asal Orong Telu Sumbawa sebagaimana dikutip media.

Dia mengaku sudah memesan pupuk mulai November 2020 yang lalu namun hingga selasa (5/1/2021), pupuk yang diharapkan tak kunjung tiba. “Pupuk katanya tersedia sampai bulan Desember lalu tahun lalu namun jumlah yang nyampai tidak sesuai dengan jumlah uang yang kita titipkan padanya. Semoga pupuk cepat tersedia,” harapnya.

Kejadian serupa juga menimpa para petani di Sulawesi Selatan yang mengeluhkan hal yang sama. Bahkan puluhan petani di Kabupaten Pinrang, terpaksa harus menggelar unjuk rasa di Kantor Bupati untuk mempertanyakan kelangkaan, serta menolak kenaikan harga pupuk subsidi yang selama ini mereka terima.

Dari Jember Jawa Timur dilaporkan  adanya pengurus kelompok tani maju di Desa Kencong, Kecamatan Kencong Kabupaten Jember yang terpaksa melakukan pengoplosan pupuk non subsidi dengan pupuk organik untuk tanaman padinnya.Selain mensiasati kelangkaan pupuk bersubsidi, mengoplos pupuk non subsidi dengan pupuk organik juga sangat efektif menekan biaya operasionalnya.

Sementara itu di pulau Sumatera kelangkaan dan naiknya harga pupuk juga dirasakan oleh petani yang ada disana. Sebagai contoh kelangkaan berbagai jenis pupuk di sejumlah kecamatan di Simalungun Sumatera Utara sudah berlangsung lebih sebulan lamanya

Anehnya, kelangkaan tidak saja terjadi pada pupuk bersubsidi saja, pupuk non subsidi pun saat ini sudah mulai ikut-ikutan menghilang entah kemana. Kondisi ini membuat para petani mulai resah memikirkannya.

Sementara, pemerintah daerah dan instansi berwenang seperti tidak mau tau akan keluhan petani padahal disejumlah kecamatan seperti Kecamatan Pematangbandar, Bandar dan Bandar Huluan, sangat membutuhkan pupuk untuk merawat tanaman padinya.

Lalu apa yang menyebabkan harga pupuk mahal dan langka ?.Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan), Sarwo Edhy, mengungkapkan penyebab pupuk subsidi langka karena ada pengurangan anggaran pengadaan pupuk subsidi dibanding tahun sebelumnya.

 "Penyebabnya adalah pada tahun 2019 itu kita mendapatkan (alokasi) 8,8 juta ton, itu totalnya ya. Nah di tahun 2020  kita hanya dialokasikan 7,9 juta ton saja. Jadi ada selisih besar kan," kata Sawo seperti dikutip  Kompas.com, Rabu (23/9/2020).

Sementara itudi tahun 2021, kelangkaan dan mahalnya harga pupuk terjadi karena kemampuan pemerintah untuk memberikan subsidi pada petani sudah berkurang kemampuannya. Wakil Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bustanul Arifin, mengatakan tahun 2021 masih  terjadi kelangkaan pupuk yang cukup besar nilainya. Lantaran kemampuan APBN 2021 hanya mampu memenuhi sekitar 9 juta ton ditambah 1,5 juta liter pupuk organik cair.

“ Jadi terjadinya kelangkaan pupuk pada 2021 kembali terjadi  karena, perbedaan kebutuhan dengan kemampuan keuangan negara,” kata Bustanul Arifin seperti dikutip Liputan6.com, Minggu (31/1/2021).

Impor di Tengah Panen Raya ?

Ketika sedang menanam, pupuknya langka dan mahal harganya. Begitu panen raya, harga jual gabahnya anjlok tak sebanding dengan kerja keras petani untuk memproduksinya. Maka lengkaplah sudah derita petani di Indonesia.

Sejak kampanye Pilpres tahun 2014 yang lalu, presiden Jokowi sebenarnya sudah berkomitmen untuk menyetop impor beras karena dianggap menyengsarakan petani Indonesia. Saat masih calon presiden di 2014, Joko Widodo tegas mengaku akan menghentikan kebijakan impor pangan jika ia terpilih menjadi presiden 2014 bersama wakilnya, M Jusuf Kalla.

Menurut Jokowi, Indonesia yang memiliki kekayaan alam berlimpah dengan tanah yang subur ini seharusnya jadi negara pengekspor bukan sebaliknya. "Kita harus berani stop impor pangan, stop impor beras, stop impor daging, stop impor kedelai, stop impor sayur, stop impor buah, stop impor ikan. Kita ini semuanya punya kok," kata Jokowi di Gedung Pertemuan Assakinah, Cianjur, Jawa Barat, seperti diberitakan Kompas.com pada 2 Juli 2014.

Menurut Jokowi, pemerintah harus menghentikan impor untuk memicu agar para petani lebih semangat meningkatkan produksinya. Jokowi pun memuji beras Cianjur yang wangi, pulen dan enak rasanya. "Bayangkan, petani sudah capek berproduksi, eh malah impor. Kejadian itu yang membuat kita malas berproduksi. Oleh sebab itu, petani harus dimuliakan," ucap dia.

Menurut Jokowi, jika pemerintah memiliki niat, maka langkah untuk menghentikan impor bisa terlaksana. Ia pun kembali menegaskan akan menghentikan kebijakan impor jika terpilih untuk memimpin bangsa Indonesia bersama Jusuf Kalla.

Janji memang tinggal janji, setelah benar benar terpilih sebagai Presiden bersama Jusuf Kalla akhirnya tinggal cerita. Faktanya pemerintah Jokowi –JK tetap melakukan impor beras sebagaimana dilakukan oleh pemerintah sebelumnya

Sebagai contoh pada tahun 2018 silam, pemerintahan Presiden Jokowi memutuskan untuk mengimpor beras 1,8 juta ton untuk stok pangan nasional katanya. Impor itu dilakukan dalam beberapa tahap dimana  tahap I dan II telah keluar pada Februari dan Mei 2018.

Alasan impor karena dikhawatirkan beras akan terus melonjak harganya. Saat itu Menteri Menko Ekonomi dijabat oleh Darmin Nasution, Menteri Pertanian yakni Amran Sulaiman. sementara Menteri Perdagnaan dijabat oleh Enggartiato Lukita,

Impor beras saat itu bahkan sempat jadi polemik nasional karena impor beras dilakukan saat Kementan mengklaim data produksi beras nasional dianggap masih surplus jumlahnya. Sempat ada penolakan impor beras oleh AB2TI (Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia)  karena dinilai tahun 2018 produksi gabah meningkat dari tahun sebelumnya.

Selanjutnya pada kampanye Pilpres 2019, Jokowi berjanji akan meningkatkan produktifitas dan kesejahteraan petani dan nelayan beserta keluarnya.Tetapi baru setahun janji itu diucapkan, pemerintah lagi lagi berencana akan impor beras lagi di tahun 2021 seperti dilakukan pada tahun tahun sebelumnya.

Pemerintah akan membuka keran impor beras sebanyak 1 juta ton di tahun 2021 ditengah panen raya. Beras impor akan digunakan untuk menambah cadangan atau pemerintah menyebutnya dengan istilah iron stock. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, rencana impor ini telah disepakati dalam rapat koordinasi terbatas, Kementerian Perdagangan bahkan telah mengantongi jadwal impor beras tersebut.

 "Iron stock itu barang yang memang ditaruh untuk Bulog sebagai cadangan, dia mesti memastikan barang itu selalu ada. Jadi tidak bisa dipengaruhi oleh panen atau apapun karena memang dipakai sebagai iron stock," jelas Lutfi dalam keterangannya, Sabtu (6/3/2021).

Sementara itu Dirut Bulog Budi Waseso mengaku  kewalahan untuk menyalurkan beras yang kini disimpan di gudang, apabila pemerintah tetap mengimpor beras sebanyak  1 juta ton lagi seperti santer diberitakan media. Budi Waseso bahkan menyatakan hasil impor beras tahun 2018 masih tersimpan di gudang Bulog tanpa ada yang menyentuhnya.

Bahkan Budi Waseso menyatakan keputusan impor beras sebanyak 1 juta ton merupakan instruksi dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Keputusan kontroversial itu diambil saat Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) beberapa waktu lalu.

Kalau benar nantinya rencana impor beras itu direalisasikan ditengah panen raya maka tentu perlu dipertanyakan urgensinya. Apalagi kalau nanti presiden Jokowi tidak melarang atau menegur Menteri yang berwenang mendatangkan beras dari mancanegara. Ini artinya Presiden setuju untuk impor beras dan berarti pula ia kembali mengingkari komitmennya.

Maka untuk yang kesekian kalinya petani kembali harus mengelus dada akibat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepadanya. Mungkin semua itu dilakukan karena pertimbangan pragmatis belaka. Karena sudah menjadi rahasia umum kalau impor dilakukan maka pejabat yang terkait akan mendapatkan “fee” yang tidak sedikit jumlahnya.

Fenomena tersebut sebenarnya sudah lama di ungkap oleh mantan Menteri Koordinator Perekonomian pemerintahan Presiden KH Aburrahman Wahid, Rizal Ramli namanya. Sampai sampai ia pernah mendorong KPK untuk mengungkap persoalan yang disinyalir adanya dugaan korupsi di balik impor pangan. "Saya mensinyalir adanya permainan fee kepada pejabat negara di balik impor pangan, terutama beras,"  ujarnya di Jakarta, Rabu, (5/2/2014) seperti dikutip Antara.

Menurut hitung hitungan Faisal Basri, para pemburu rente pengimpor beras itu bisa untung sampai dengan Rp 2 triliun dari satu juta ton beras yang mereka datangkan dari mancanegara. Keuntungan yang sungguh sangat menggiurkan tentunya meskipun harus membuat petani jadi sengsara.

Kiranya sudah waktunya KPK bergerak untuk menyelidiki dugaan mafia impor beras yang telah menyebabkan harga gabah petani anjlok ditengah panen raya. Sebab kebijakan impor beras ditengah panen raya itu begitu janggal terasa.

Bahaya Mengintai

Fernomena mahal dan langkanya pupuk ketika musim tanam tiba membuat petani menderita. Penderitaan itu bertambah lagi ketika panen tiba, harga produksinya anjlok karena adanya kebijakan impor beras dari mancanegara.

Kondisi diatas akhirnya menyebabkan petani enggan untuk mengolah tanah pertaniannya karena merasa rugi alias tidak ada untungnya. Bahkan anak anak petani banyak yang enggan untuk terjun ke dunia pertanian karena merasa tidak akan menjamin masa depannya.

Akibat lebih lanjut dari kondisi ini banyak tanah tanah pertanian yang dibiarkan tidak digarap oleh pemiliknya. Dibiarkan menganggur karena kalau ditanam padi toh akhirnya rugi juga. Mereka akhirnya mulai berpikir untuk menjual tanah pertaniannya.

Ketua Bidang Kajian Strategis dan Advokasi Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia, Yeka Hendra Fatika, sebagaimana dikutip Tempo.co mengatakan bahwa pendapatan petani yang rendah membuat laju konversi lahan pertanian meningkat setiap tahunnya.

Berdasarkan penelitiannya, rata-rata pendapatan petani paling besar hanya Rp 750 ribu per bulannya. Sedangkan bagi petani gurem (memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare) pendapatannya hanya Rp 250 ribu per bulannya. Pendapatan tersebut, kata dia, dinilai sangat rendah dan membuat sektor pertanian tak lagi menarik bagi mereka.

"Saya pernah bertemu 100 petani. Saya tanya apakah mereka mau melepaskan lahannya kalau ada yang menawar harga tinggi. Semua menjawab akan mau melepasnya. Ini menunjukkan petani dalam posisi tidak menguntungkan," kata Yeka dalam sebuah diskusi "Ancaman Perberasan Nasional" di Gedung DPR, Jakarta, Selasa, 19/11.

Dia menjelaskan bahwa dari aspek produksi, ketersediaan beras nasional salah satunya dipengaruhi oleh ketersediaan lahan dan sumber daya manusia. Dalam kurun waktu 20 tahun, kata dia, Indonesia telah kehilangan lahan sawah sekitar 2,5 juta hektare tanpa ada penggantian yang setara.

Jika kondisi tidak menguntungkan bagi petani dimana pupuk mahal dan langka sementara ketika panen tiba harganya anjlok ini terus bertahan dalam waktu lama maka tidak menutup kemungkinan akan semakin banyak lahan lahan pertanian yang dijual oleh pemiliknya.

Kalau lahan pertanian itu dijual kepada tetatangga atau kerabat sendiri tentu tidak masalah karena aset masih beredar dikalangan mereka. Tetapi yang mengkhawatirkan kalau  lahan pertanian itu akhirnya  jatuh ketangan kaum kapitalis/ para cukong yang banyak uangnya. Apalagi kalau cukong cukong itu dari mancanegara yang memanfaatkan orang lokal untuk membelinya.

Mereka yang membeli tanah itu sebagian memang  para pemodal yang tinggal di ibukota atau kota besar lainnya. Mereka memanfaatkan situasi pandemi virus corona dimana banyak petani yang menjual asetnya karena lahan pertanian yang dimilikinya dinilai  tak lagi menjanjikan masa depannya.

Sebenarnya ditengah tengah kesulitan ekonomi, para petani masih banyak juga yang bertahan untuk tidak menjual tanah miliknya. Namun godaan selalu datang menghampiri mereka dengan iming iming harga tinggi yang membuat goyah imannya.

Rayuan agar petani mau menjual tanahnya biasanya terjadi di daerah daerah yang strategis posisinya. Mereka yang awalnya tidak berniat menjual tanahnya akhirnya bisa luluh juga oleh rayuan mautnya.

Salah satu modus yang saya dengar dilakukan oleh para pemburu tanah yang berlokasi strategis itu adalah dengan mendatangi pemilik tanah yang di incarnya. Ia biasanya datang bersama beberapa orang sambil membawa serta uang banyak untuk diperlihatkan kepada calon korbannya.

Kepada calon korban biasanya yang bersangkutan berpura pura bertanya kepada pemilik tanah; apakah tanah miliknya akan dijual, kalau memang dijual ia siap untuk membelinya.

Sebagai tanda keseriusan akan niatnya untuk membeli tanah maka calon pembeli itu akan memperlihatkan uang untuk membelinya. Kalau memang si petani belum berminat menjual tanahnya maka para pemburu tanah ini akan meninggalkan nomor hand phone yang bisa dihubungi oleh calon korbannya. Siapa tahu kemudian si pemilik tanah berubah pikiran untuk menjual tanahnya.

Dengan modus seperti ini, para petani yang awalnya tidak akan menjual tanah bisa berubah pikirannya. Apalagi kalau tanah itu digarap ujung ujungnya akan membutuhkan tenaga dan biaya yang hasilnya tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukannya. Daripada tanahnya menganggur tidak digarap, maka alangkah untungnya kalau dijual kepada orang yang telah bersedia membelinya.

Alhasil disinilah letak bahaya tersembunyi yang sekarang sedang mengintai petani Indonesia. Ketika pupuk mahal dan panen raya harganya anjlok, maka potensi bagi para petani untuk menjual tanah pertaniannya sangat terbuka. Kalau tanah yang merupakan harta satu satunya yang sangat berharga sudah berpindah tangan tak lagi menjadi miliknya maka akan hilanglah kedaulatannya.

Identitasnya sebagai petani penggarap akan punah berubah menjadi seorang buruh tani atau mungkin beralih profesi misalnya pergi ke kota untuk mengadu nasibnya disana. Kalau ini yang terjadi maka semakin menyempurnakan kondisi petani kita dimana air dibeli, tanah hasil menyewa. Hidup ditanah airnya sendiri tapi serasa menjadi penumpang saja. Menjadi tamu dinegerinya yang katanya sangat kaya raya tapi bukan mereka pemiliknya.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar