Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H, Ahli Hukum Pidana

Adanya Rekayasa Hukum Kasus Prokes IB Habib Rizieq Dkk

Kamis, 08/04/2021 07:07 WIB
Habib Rizieq Syihab hadiri sidang di PN Jaktim (Indozone)

Habib Rizieq Syihab hadiri sidang di PN Jaktim (Indozone)

[INTRO]
Persoalan klasik dalam penegakan hukum adalah menyangkut pemenuhan unsur tindak pidana. Praktik pemenuhan unsur ini cenderung subjektif. Pendekatan subjektif yang dimulai pada tahap penyidikan terus berlanjut sampai tahap perumusan Surat Dakwaan oleh Penuntut Umum.
 
Pemenuhan unsur delik yang potensial berlaku subjektif adalah unsur kesalahan yang dirumuskan dengan kesengajaan (dolus). Padahal unsur kesalahan (subjective onrecht element) berkedudukan sebagai penentu pertanggungjawaban pidana.
 
Perlu dipahami pengertian kesalahan adalah penggunaan pikiran secara salah dan oleh karenanya menggerakkan/mengarahkan diri seseorang pada tindakannya untuk mewujudkan suatu perbuatan dan akibatnya. Untuk adanya kesalahan harus dikontruksikan dua hal yang saling berkaitan.
 
Pertama, adanya keadaan psikis (batin) yang tertentu. Kedua, adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sehingga menimbulkan celaan.
 
Mengenai hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya, keinginan untuk melakukan suatu perbuatan pidana muncul dari keadaan batin si pembuat yang kemudian melalui pikirannya mengarahkan untuk melakukan perbuatan tersebut. Dalam hukum pidana penggunaan pikiran yang kemudian mengarahkan pembuatnya melakukan tindak pidana disebut sebagai bentuk kesalahan, secara teknis disebut dengan kesengajaan.
 
Kesalahan harus diobjektifkan, terutama pada perbuatan yang melahirkan suatu akibat yang terlarang. Dalam hal ini titik tolak kesalahan tidak semata-mata melulu pada sikap batin seseorang, namun penentuannya adalah adanya akibat.
 
Dalam hal adanya suatu ajakan atau undangan untuk menghadiri acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang didalamnya terdapat acara pernikahan, maka pada prinsipnya acara tersebut bukan termasuk perbuatan yang tercela atau dicelakan kepada orangnya. Menjadikan acara Maulid Nabi Muhammad SAW dan/atau pernikahan sebagai peristiwa pidana adalah hal yang tidak mungkin, walaupun di masa pandemi Covid-19.
 
Dikatakan demikian oleh karena acara a quo merupakan bagian dari ibadah agama dan terkait dengan penjaminan Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apa pun. Dengan demikian memformulasikan unsur kesalahan harus dihubungkan dengan sifat melawan hukum suatu perbuatan dan oleh karenanya perbuatan tersebut dicelakan kepada pelaku.
 
Pada perkara yang ‘menjerat’ IB Habib Rizieq Shihab dkk terkait dengan ajakan menghadiri Maulid Nabi Muhammad SAW dan sekaligus pernikahan putrinya tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Berkerumunannya orang dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW dalam masa pandemi Covid-19 bukanlah termasuk perbuatan tercela.
 
Tegasnya tidak ada sifat tercela dari acara dimaksud dan oleh karena itu tidak ada sama sekali kesalahannya. Terlebih lagi tidak ada Fatwa MUI yang menyebutkan larangan (keharaman) peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di masa pandemi Covid-19.
 
Tidak ada penggunaan pikiran secara salah dalam ajakan menghadiri acara dimaksud. Dengan kata lain tidak ada kesengajaan untuk melakukan perbuatan terlarang, sebab acara tersebut bukan perbuatan tercela yang dilarang oleh hukum positif.  Tidak pula ada akibat konkrit dari perbuatan terlarang yang dimaksudkan. Dengan demikian, tidak ada hubungan antara sikap batin (kesalahan) dengan perbuatannya.
 
Sistem hukum pidana Indonesia menganut doktrin monistis yang menggabungkan kesalahan (mens rea) dan perbuatan (actus reus). Terdapat sebuah asas yang berbunyi, “geen straf zonder schuld” (tiada pidana tanpa kesalahan).
 
Pada negara dengan sistem hukum common law dikenal maxim yaitu “actus non facit reum nisi mens sit rea” (suatu perbuatan tidak membuat seseorang bersalah, kecuali dengan sikap batin yang salah).
 
Hal ini menekankan pentingnya kesalahan sebagai syarat dalam penjatuhan pidana terhadap seseorang yang melakukan suatu tindak pidana. Oleh karena itu dipidananya seseorang tidaklah cukup hanya dengan membuktikan perbuatan yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, namun juga harus menunjuk pada perbuatan yang dilakukan tersebut memiliki kesalahan.
 
Mengacu pada doktrin monistis tersebut, maka pada perkara IB HRS dkk tidak dijumpai adanya hubungan antara mens rea dengan actus reus dan oleh karenanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
 
Patut dicatat, proses hukum tersebut telah bertentangan dengan asas “ne bis in idem”. Postulat, “nemo debet bis vexari” menjadi dalil tidak dapatnya dilakukan proses hukum ketika seseorang telah membayar denda administratif. Terkait dengan hal ini, menimbulkan pertanyaan bukankah IB HRS telah memenuhi kewajiban pembayaran denda sebesar limapuluh juta rupiah. Namun, mengapa tetap dilanjutkan sampai ke muka persidangan? Jawabannya hanya satu kata, yakini “politik”.
 
Perkara Prokes yang ‘menjerat’ IB HRS dkk diyakini lebih bermuatan politis ketimbang yuridis. Patut diduga bahwa pemenuhan unsur kesalahan telah direkayasa sedemikian rupa dengan variasi dan kombinasi pasal yang berlapis. Oleh karena itu, menjadi beralasan untuk dikatakan bahwa penggunaan pikiran secara salah justru terjadi dalam proses hukum Prokes tersebut.
 
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, maka Majelis Hakim dituntut untuk menegakkan hukum dengan berpegang teguh pada aksiologi “kepastian hukum yang adil”. Keberlakuan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” harus ditaati.  Asas tersebut tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

(Editor\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar