Memaksa Otsus Papua Berlanjut, Kolonialisme Baru Rejim Jokowi

Kamis, 08/04/2021 00:00 WIB
Aksi massa menolak Otsus Papua Jilid II di Nabire, Kamis (24/9/2020) Titus Ruban.

Aksi massa menolak Otsus Papua Jilid II di Nabire, Kamis (24/9/2020) Titus Ruban.

law-justice.co - Orang asli Papua (OAP) dipaksa oleh Pemerintah Republik Indonesia dibawah Presiden Jokowi untuk melanjutkan Otonomi Khusus (Otsus) Papua dan ini merupakan bagian dari penindasan Indonesia terhadap penduduk asli Papua.

Hal itu dikatakan Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Gereja Baptis West Papua, Dr. Pdt. Socratez Sofyan Yoman, ketika diwawancarai pers usai wisuda ke I program Sarjana dan Pascasarjana perguruan tinggi yang ia pimpin di Kota Jayapura, Rabu (7/4/2021).

“Yang perlu kita pahami adalah sejarah watak kolonial, mereka (kolonial) tidak pernah mendengar keinginan atau suara dari rakyat yang diduduki dan ditindas. Kita harus tahu kolonial selalu memaksa, dengan sistem penjajahan yang selalu menindas dengan roh rasisme, dan penjajahan di dalam secara sistematis struktural kolonial. Dan itu yang dilakukan oleh kolonial Indonesia untuk mempertahankan atau melanjutkan Otsus di Papua,” katanya.

Menurut Pendeta Yoman, pihaknya selaku Dewan Gereja Papua sejak awal telah menyatakan sikap untuk menolak Otsus lantaran dalam implementasinya tidak memihak kepada OAP. “Kita orang asli Papua memang menolak Otsus yang diberi oleh kolonial Indonesia. Tetapi dia selalu melakukan semaunya dia,” ujar anggota Dewan Gereja Papua ini.

“Kita dalam Otsus terjadi peningkatan infrastruktur demiliterisasi yang luar biasa, (kalau tidak salah) Kodim ada delapan tetapi sekarang sudah banyak, Polres dan Polsek. Ini peningkatan yang signifikan. Sehingga pelanggaran HAM juga semakin meningkat. Ini yang gereja nyatakan Otsus tidak berhasil,” jelasnya.

 

Kegagalan di sisi lain, kata dia, pendidikan dan kesehatan sangat rendah bahkan tidak memihak kepada OAP. Untuk itu perlawanan terhadap Otsus menurutnya harus berasal dari rakyat. Namun menolak tidak harus dengan cara demonstrasi.

“Tetapi dengan cara diskusi dan menulis buku. Kita tidak bisa harap para pemangku kepentingan. Dengan cara menulis buku ini, kita mendidik mereka dengan keluar dari ‘kotak itu’ dengan cara menulis, supaya mereka tahu apa yang sedang terjadi di atas tTnah Papua,” tuturnya.

Anggota Komisi I DPR Papua, Laurenzus Kadepa menegaskan, semua kebijakan Pemerintah Provinsi Papua selama ini tidak ada aturannya walaupun Otsus telah bergulir selama 20 tahun lamanya di Papua.

Namun lebih dominan di Papua adalah Undang-Undang nasional dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang diberlakukan di Tanah Papua, juga ada aturan-aturan sektoral yang lebih dominan di daerah sehingga perdasi dan perdasus itu tidak berkuasa atau tidak dilaksanakan dengan baik.

Oleh karenanya, menurut dia, layaklah jika UU Otsus dinyatakan tidak menunjukkan keberpihakan kepada OAP. Pasalnya, banyak pihak mengukur pelaksanaan Otsus tersebut dari besaran kucuran dana Otsus saja, jika dicermati dengan saksama UU Otsus Papua tidak hanya sebatas soal kucuran dana Otsus.

“Ada banyak kewenangan Pemerintah Provinsi Papua yang bersifat khusus, namun kekhususan bagi orang asli Papua juga tidak terjadi di sini,” kata Kadepa. (Jubi)

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar