Hasil Survei SMRC: Warga Muslim Terbelah soal Laskar FPI vs Polisi

Rabu, 07/04/2021 09:16 WIB
Polisi dan FPI (suara.com)

Polisi dan FPI (suara.com)

law-justice.co - Hasil survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) menunjukkan bahwa responden muslim di Indonesia terbelah dalam menilai peristiwa bentrokan antara Laskar Pembela Islam (LPI) dan polisi yang terjadi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek Km 50, beberapa waktu lalu.

Pengumpulan data survei ini dilakukan terhadap 1.064 responden dengan wawancara tatap muka pada 28 Februari-8 Maret 2021. Margin of error plus/minus 3,07 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.

Peneliti dari SMRC Saidiman Ahmad mengatakan dari temuan awal ada 62 persen responden muslim dalam survei itu tahu bentrokan antara anggota laskar FPI pengawal Rizieq Shihab dengan polisi itu.

"Dari yang tahu, ada 34 persen (sekitar 21 persen dari populasi muslim) percaya Anggota FPI yang menyerang polisi dan 31 persen (sekitar 19 persen dari populasi muslim) percaya anggota polisi yang menyerang pihak FPI," kata Saidiman saat memaparkan survei yang ditayangkan YouTube SMRC TV, Selasa (6/4).

Survei juga menemukan ada 36 persen responden yang tidak menjawab pertanyaan soal itu.

"Angkanya cukup imbang ya, sama. Jadi sama sebetulnya antara warga yang menyatakan FPI yang menyerang atau polisi yang melakukan serangan. Lagi-lagi warga terbelah," kata dia.

Saidiman melanjutkan dari yang tahu bentrokan, ada 38 persen warga muslim atau sekitar 24 persen dari populasi muslim, yang menilai tindakan polisi dalam peristiwa itu melanggar prosedur hukum yang bersandar pada prinsip hak asasi manusia.

Selain itu, ada 37 persen atau sekitar 23 persen dari populasi muslim yang menilai tindakan polisi sesuai dengan prosedur hukum yang bersandar pada prinsip hak asasi manusia.

"Warga muslim terbelah dalam menilai peristiwa bentrokan antara anggota FPI dan Polisi," kata dia.

Sebagai informasi, bentrokan terjadi di sekitar wilayah Tol Jakarta-Cikampek KM 50, pada Senin (7/12) dini hari. Dalam insiden tersebut, enam anggota Laskar FPI tewas ditembak aparat kepolisian.

Dua diantaranya meninggal saat terlibat baku tembak, sementara empat lainnya ditembak ketika berada di dalam mobil karena melawan dan mencoba merebut senjata petugas.

Para aktivis pembela HAM kemudian menilai kasus ini sebagai unlawful killing atau pembunuhan di luar proses hukum. Polri meresponsnya dengan melakukan penyidikan kasus tersebut dan menetapkan tiga polisi sebagai tersangka.

Meski begitu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam menyatakan Polri baru menjalankan satu dari empat rekomendasi yang dikeluarkan oleh pihaknya terkait kasus penembakan di Jalan Tol Jakarta-Cikampek itu.

"Dari empat rekomendasi itu, baru satu rekomendasi yang kelihatan jalan," kata Choirul dalam rapat dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa (6/4).

Dia menerangkan, salah satu rekomendasi yang belum dijalankan ialah terkait akuntabilitas. Ia mengaku telah mengingatkan Polri dalam beberapa kesempatan agar proses penegakan hukum terkait kasus penembakan Laskar FPI dilakukan secara akuntabel demi menghasilkan hasil yang bagus.

Sedangkan, lanjutnya, rekomendasi lain pihaknya yang belum dijalankan Polri ialah terkait senjata api dan mobil.

"Proses akuntabel itu beberapa kali kami bilang, tolong manajemen penegakan hukumnya akuntabel sehingga prosesnya menjadi lebih bagus," tutur Choirul.

Untuk diketahui, Komnas HAM mengeluarkan empat rekomendasi terkait kasus penembakan Laskar FPI pada awal Januari 2021.

Rekomendasi pertama, kasus penembakan Laskar FPI dilanjutkan ke pengadilan pidana. Rekomendasi kedua terkait orang-orang yang berada dalam dua mobil yang terlibat serempetan dengan kendaraan ditumpangi mereka saat kejadian.

Komnas HAM meminta agar dilakukan penegakan hukum terhadap orang yang berada di mobil Avanza bernomor polisi B1739PWQ dan Avanza warna silver bernomor polisi B1278KJD.

Rekomendasi ketiga, kasus kepemilikan senjata api diduga digunakan Laskar FPI saat kejadian diusut lebih lanjut. Terakhir, Komnas HAM merekomendasikan proses penegakan hukum, akuntabel, objektif dan transparan sesuai dengan standar HAM.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar